Sebelas huruf itu tidak bisa menggambarkan secara pasti apa yang aku rasakan
Tapi itu tetap perlu disampaikan
Caraku menebus makna-makna yang hilang dari kata-kata itu, melalui bekal nasi dan rendang lokan yang kau suka, menggoreng batagor di pagi hari, mengantri donat yang kau dambakan, menjemputmu dari latihan tari yang sangat kau cinta, dan semua yang aku lakukan bersamamu.
Kontemplasi bersama dua kawan menyadarkanku bahwa aku sedang berada di fase yang berat. Aku memikirkan dunia sekaligus akhirat di waktu bersamaan, untukku-untukmu-untuk orangtuaku-untuk orangtuamu-untuk anak kita kelak. Aku harus memikirkan bahagia lahir batin yang aku saja belum tentu dapat memenuhi untuk diriku sendiri.
Tapi aku sadar, bahwa aku nyaman di fase ini. Fase dimana aku mengenal diri sendiri. Fase dimana aku mampu menghadirkan suatu kebun yang banyak macam bunganya. Fase dimana sangat mencintaimu. Fase yang menyenangkan.
Tapi jika aku nyaman di fase ini, apakah pantas ini disebut mencinta?
Cinta macam apa yang tak diperjuangkan?
Mencintai ide-ide tentang cinta dan kamu menjadi tautannya?
Mencintai ide-ide tentang kamu dan aku tenggelam dalam naskahku sendiri?
Ketakutanku saat mencinta adalah kamu dan aku menemukan ketidaksempurnaan dari satu sama lain. Apakah aku dan kamu bisa lebih mencintai satu sama lain ketika menemukan ketidaksempurnaan itu?
Terkesan tidak mungkin jika kita mendengar tuan dan nyonya di luar sana.
Karena asumsi yang dilekatkan pada entitas kita,
Karena cerita dan interpretasi atas cerita yang mereka lihat dari kita,
Hingga membuatku ragu setiap kali berdoa.
Tapi doa itu tetap terucap, bibir ini tetap basah, mendoakan kita bersama.
Hati ini tetap merintih, mengiba kita menjadi satu.
Ya Allah jika rasa ini kehendakMu, takdirkan kami bersama dengan ikatan yang kau ridhoi.
Allah menggerakkanku untuk tidak berputus dariNya dengan memperjuangkanmu.
"Sungguh Janji Allah pasti benar, maka janganlah sekali-kali kamu teperdaya oleh kehidupan dunia, dan jangan sampai kamu teperdaya oleh penipu dalam (menaati) Allah"
Sungguh ayat yang menamparku malam ini.
Hubbudunya apakah telah merasuk pada jiwaku yang ketakutan membayangkan menjalani kehidupan tanpa kegemilangan duniawi?
Apakah aku menggunakan namaMu untuk mendapatkan biasnya keindahan dunia?
Allah menegur aku dalam ayat tersebut, namun bukan berasa seperti pihak yang tertipu dalam menaati Allah, namun merasa di pihak yang menipu dalam menaatiNya. Menggunakan namaNya untuk kepentingan dunia.
Apakah aku mengeksploitasi iman ini hanya untuk mendapatkan cinta seorang insan?
Apakah aku benar-benar mencintaimu karena Allah?
Jika taatku dan taatmu meningkat, aku harap kita di jalan yang benar dan diridhoi-Nya.
Aku tidak mau kehilanganmu, tapi lebih takut kehilanganNya.
Karena kau milikNya, aku milikNya, rasa ini titipanNya, yang menggerakan aku pun kehendakNya, tapi pemaknaan atas hak-hak yang diberikanNya padaku adalah ranah dan ruangku - bagimu juga.
Semoga kita dilindungi oleh Allah dari buruknya setan menyelinap dalam obrolan kita, merusak kemurnian cinta kita, yang seharusnya karenaNya.
Bukan karena paras, kedekatan dengan Tuhan, ataupun hal duniawi
Kau menunjukkan sudut-sudut keegoisanku yang ternyata memakan nyamanmu
Aku kira egoku habis terlahap oleh hadirmu, namun ego itu ternyata tetap ada - hanya bersembunyi, dan kau yang menemukannya.
Kau seret ego ke ruang adil, memberikan pledoi yang tak bisa kubantah.
Benar-benar manusia yang lahir dan tumbuh dari cakrawala yang tak terbatas.
Ternyata aku yang banal, aku yang tak dalam.
Ternyata aku, sikap sifat dan perilakuku.
Kau tersinggung, dan sakit hati karena itu. Aku yang salah karena merasa paling bisa memahami hati orang lain. Ternyata terlalu kenyal hatiku selama ini dan aku merasa itu senjata terkuatku. Bodoh.
Terimakasih nona, sudah hadir. Semoga terus dan tetap hadir. Hingga hadir menihilkan diri dalam bentuk ragawi.
Salah satu hal yang paling kusyukuri adalah bertemu 10 orang dengan latar beragam, dipaksa menjadi 1 kepala di 4 kasur terpisah tiap kamarnya selama 2 tahun.
Mungkin tidak semua yang dalam tergali
Tidak semua yang penting terpublikasi
Tapi mereka selalu ada, di saat lalai, di saat abai, di saat terpuruk, di saat merasa tidak ada satu pun yang peduli.
Walau aku belum bisa dititik iman seperti mereka, di langkah istiqomah seperti mereka, di tahap sebertaqwa mereka, aku merasa aman.
Tulus, diksi yang tepat untuk mereka
Bromance atau brotherhood yang dipuja-puja orang modern kini itu belum ada apa-apanya dibanding ikhwan fiillah yang kurasakan tumbuh dari sepercik iman bersama mereka.
Pernahkah berpikir mencintai entitas melalui perantara atau mencintai perantara karena entitas tersebut?
Ya itulah yang aku rasa dari mereka, aku bisa mencintai Allah karena mereka. Aku cinta mereka karena Allah.
Ada rasa hormat dari rasa cinta kami, terhadap pilihan yang berbeda, pemikiran yang lian, jalan yang ditempuh, batasan intervensi.
Walau sporadis di 10 mata angin, tetap mudah digapai. Seperjuangan sepenanggungan.
Jika aku diberikan waktu oleh Tuhan bercerita kepada anak gadisku di teras di waktu senjaku sambil menggandeng tangan istriku, akan kuceritakan kalian dengan rasa bangga.
Semoga diakhirkan dengan Iman, dihidupi dengan Islam, dipenuhi dengan ihsan sepanjang hayat.
Setidaknya aku hari ini tidak mencintaimu diam-diam,
Aku ingin kamu tahu bahwa kamu sangat layak dicinta dan diperjuangkan
Mungkin aku memang sedang menggebu, tapi ketika Tuhan yang menjadi alasan, apakah tak ada kesempatan untuk bersama?
Aku menemukan 'saling' dalam rasa ini
Itu yang terus menghidupi kita kelak
Saling peduli, marah, mengobati, ingin dimengerti, menguliti, mencintai, memberi, dan menerima.
Bukan tugas kita untuk mengubah satu sama lain, berat sekali tugas manusia.
Tugas kita hanya menerimaNya. PutusanNya, PerintahNya, KehadiranNya. Bersama.
Aku punya luka sebagaimana kamu punya luka, kita manusia, salah adalah laku hidup kita, keniscayaan. Dalam setiap saat, kepastian. Tugas kita hanya memohon pengampunan dan hidayahNya.
Tidak adil rasanya jika harus mengadili masa lalu dari kita berdua karena yang kita hadapi adalah masa depan, di mana karakter, perasaan, pemikiran dan keimanan kita terus berkembang. Ketika Allah saja menempatkan diriNya sebagai pemaaf, mengapa kita sulit memaafkan diri kita sendiri?
Jika tak ada ruang untuk pengampunan diri, bagaimana kita bisa saling mengagregasi menuju hal yang lebih baik dan menenangkan?
Sampai kapan kamu ingin mengikat diri dengan dogma-dogma yang datangnya bukan dari Tuhan?
Bisa jadi aku bergerak ke arahmu karena doamu di kala kamu terpuruk? Indah sekali jika aku adalah bagian dari jawaban ratapan, ibaan dan pengharapanmu.
Sungguh indah mencari tenang dengan mencintai secara ikhlas, karena Allah yang membersamai.
Keputusan apapun, aku harap mendekatkan aku dan kamu padaNya. Kamu pantas mencapai surgaNya, dan tolong ingat namaku dan keluhkan pada Tuhan jika kamu tak melihatku di sana.
Cinta itu Tuhan yang titipkan. Kita hanya mencari rasa damai dalam hidup. Hanya dihadapanmu dan Dia aku menjadi sebetul-betulnya aku, menjadi sejadi-jadinya aku. Ekstraksi dari akumulasi pengalaman, ilmu, informasi, kebiasaan, sudut pandang dan lainnya itu hanya berani kutampakkan denganmu.
Aku bukan Bawor yang berani berterus terang pada dunia. Mungkin aku seperti Kamandaka yang berganti watak menyesuaikan keinginan manusia di hadapan dunia demi inginnya. Tapi aku bisa menjadi diriku sendiri, di hadapanmu. Dengan seluruh kebodohan, pertanyaan, ketengilan. Aku bisa menjadi diriku sendiri. Aku pun berharap kau dapat menjadi diri sendiri, nona. Itulah esensi kedamaian yang kita butuhkan, seperti yang dituliskan pada Rum: 21.
"Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir." (QS. Ar-Rum: 21)
Aku bersabar bukan berarti diam,
Aku merencanakan dan menyerahkan semuanya pada Tuhan.
Pencarian damai ini sakral, nona. Aku tak bisa hanya takluk pada aqliyah, ini melibatkan hati dan jiwa, perangkat lain yang Allah titipkan juga pada kita untuk kita gunakan.
Mamah pernah bilang bahwa tinggalkan sedikit ruang kosong yang tak ada jawabannya kan?
Karena akal kita terbatas mencapai kehendak dan sifat-sifat Allah, titik hikmah dan kebijaksanaan itu melampaui pemahaman kita.
Aku menitipkan damai ini padaNya, yang lebih meta, yang maha, yang paling memahami kita sebagai ciptaanNya. Ini bukan alibi ketidakmauan atau ketidakmampuan kita menerjemahkan realita, ini adalah bentuk tawakal - berserah diri dari seluruh usaha yang telah dilakukan. Aku sebagai hambanya diperintahkan untuk merencanakan dan berusaha, jangan rebut ruang keputusan - cinta - kasih sayang karena itu hakNya.
Suatu malam kau bertanya, mengapa Tuhan suka sekali dengan konsep pengorbanan?
Ketika kita berdua tersinggung dan merasa ada yang memudahkan dan melecehkan Tuhan jika ada yang menggunakan analogi transaksional denganNya, seharusnya kita menempatkan asumsi "suka sekali" pun pada level tersebut. Apa yang membuat kita yakin bahwa suka yang kita maksud berada pada level yang sama dengan makhlukNya?
Suka disini bukan membutuhkan, tapi ujian untuk mengetahui di level mana komitmen kita memercayai seluruh keputusanNya. Ini bentuk pengakuan bahwa kita kerdil dibanding sifat dan kuasaNya, semua yang kita miliki adalah amanah. Termasuk rasa ini, nona.
Ketika hubungan ini telah coba diperjuangkan, korbankanlah ruang keputusan itu padaNya.
Hati kita yang kini mungkin bertaburan bunga-bunga dengan kita sebagai benihnya itu, aku berusaha menumbuhkan bunga-bunganya, nona. Kau pun turut menyuburkan dan menumbuhkannya, nona.
Aku tak menganggap karena sudah berada di kebun, maka bunga akan mudah tumbuh.
Aku tak memudahkan tumbuh bunga itu, aku tak membiarkannya saja kuberikan pada Tuhan, tidak nona. Bunga-bunga ini diperjuangkan, dan aku ingin kau tahu tentang itu. Kau layak diperjuangkan.
0 notes
Statistics
We looked inside some of the posts by
fawwazrifasya
and here's what we found interesting.