Tumgik
fatikhadinda-blog · 5 years
Text
Job Hopper; Passion vs Tuntutan
Selamat pagi menjelang siang, Tumblers!
Bagaimana kabar sahabat sosyel semuanyaaaaaah? (salam ala Blackpink in your areaaaqh)
Semoga hari ini pun akan selalu menjadi hari yang bahagia bagi kita semua.
Aamiin.
Tulisan kali ini di dedikasikan untuk merespon banyaknya diskusi tentang Quarter Life Crisis dan para pengikutnya yang seringkali dibahas di akun-akun Human Resource dan orang-orang dengan kedudukan Human Resources.
Siapakah pengikutnya tersebut?
Tumblr media
YHAAAAAAAAA.
BUKAAAAAAN (ini kenapa jadi ada pak Nurhadi-Aldo??)
Back to the topic.
Pengikut yang seringkali dibicarakan adalah para job hopper atau yang sering dikenal sebagai kutu loncat perusahaan. Sedangkan fenomenanya disebut-sebut dengan job hopping. Disebut sebagai kutu loncat perusahaan dikarenakan karyawan atau anggota perusahaan ini sering berpindah pekerjaan dengan berbagai alasan dan faktor yang mendasari. Biasanya, fenomena ini dilakukan oleh karyawan yang masih bekerja kurang dari 1 detik.
SALAH WOY.
Satu tahun maksudnya, beb.
Jadi, para job hopper ini akan pindah pekerjaan jika dirasa pekerjaan tersebut kurang memberikan gaji yang cukup sesuai dengan hidupnya, tidak sesuai dengan passion dan berbagai faktor lainnya dalam waktu kurang dari 1 tahun.
Sehingga, dari pelaku dan fenomenanya. job hopper atau job hopping haruslah dihindari dan “dibenci”. Seringkali saya mendapati artikel, ocehan sampai status dari beragam kasta sosyel media yang mengatakan bahwa seharusnya para job hopper tidak diterima dan diabaikan saja.
Memang, secara profesional (biar keliatan udah kerja profesional-KELIATANNYA) fenomena ini dapat merugikan baik pihak karyawannya sendiri dan pihak perusahaannya.
Dari pihak karyawan, ketika akan “meloncat” menuju pekerjaan berikutnya, akan kesulitan untuk mendapatkan penilaian terutama aspek komitmen dan ketahanan kerja dari perusahaan yang dituju. Atau, bisa jadi perusahaan yang dituju justru akan menanyakan alasan mengapa berpindah pekerjaan. Jika alasan yang menjadi faktor berpindahnya pekerjaan tersebut masuk akal maka sah-sah saja jika ingin berpindah. Apabila tidak masuk akal inilah yang akan menjadi boomerang bagi karyawan yang berpindah pekerjaan tersebut.
Dari pihak perusahaan, tentu saja kerugiannya juga banyak. Selain waktu (yang disediakan untuk mewawancara karyawan, melakukan psikotest dan screening dokumen karyawan-belum lagi me-review proposal yang akhirnya berujung pada jumlah gaji karyawan yang akan diterima, dan lain lain), juga biaya. Ya. Biaya yang harus dikeluarkan untuk membayar baik para tester, skorer untuk psikotest calon karyawan, transportasi calon karyawan (beberapa perusahaan besar ada yang menyediakan transpotasi dan akomodasi bagi para calon karyawan yang terpilih melalui seleksi tes dan berkas sebelumnya), belum lagi biaya untuk operasional karyawan daaaaaaaaaaan banyak lagi yang bilamana saya sebutkan disini akan menjadi kuliah industri organisasi beb~
Intinya, memang banyak sekali kerugian yang didapatkan dari fenomena ini.
Lalu, apakah hari ini saya akan menambahkan derita si job hopper dengan menjelek-jelekkannya?
Oh.
Tentu saja.
(auto digrebek job hopper sekomplek)
Tidak.
Saya hanya ingin membahas faktor yang melandasi fenomena ini. Berdasarkan pengamatan hasil observasi kecil-kecilan saya. Ada dua hal yang melatarbelakangi job hopper , alasan passion dan alasan tuntutan. 
Kenapa bisa?
Mari kita mulai membedah satu persatu faktor ini..
Passion.
Gairah.
Panas.
Membakar tubuh.
#PLAKKKK
Oke, fokus.
Passion atau secara kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar adalah sebuah gairah, gairah bisa dikatakan sebagai kecenderungan  kuat terhadap aktivitas    yang    disukai,    dimana mereka  memberikan  waktu  dan  tenaga yang dimiliki   untuk   aktivitas   tersebut.   Seseorang akan menjadi passionate terhadap   aktivitas tertentu   melalui   dua   proses   penting   yaitu penilaian terhadap  aktivitas  dan  internalisasi pada  representasi aktivitas  dalam aspek inti dari  diri  seseorang  yaitu  identitas  seseorang (Vallerand and Houlford, 2003). Kecenderungan kuat ini apabila dikaitkan dengan bidang pekerjaan, maka seseorang akan merasa terikat dan menikmati dalam setiap proses pekerjaannya. Seseorang akan memberikan seluruh tenaga dan waktunya untuk sebuah pekerjaan yang menjadi passionnya. Output yang dikeluarkan oleh seseorang yang bergairah (?) akan lebih mantap daripada yang hanya sekadarnya.
Passion yang dimiliki orang pun berbeda-beda. Cara untuk mengethaui passion diri sendiri juga sebenarnya tidak pernah ada patennya, dikarenakan passion ibarat jiwa, dimana yang mengetahuinya hanyalah diri masing-masing berikut juga dengan cara menemukannya. Ada yang dengan melalui diskusi singkat sudah menemukan passionnya sendiri, ada pula yang harus membutuhkan bertapa tambahkan hijrah selama 40 hari 40 malam hanya untuk mendapatkan jawaban “aku nih suka apa sih!!?“
Begitu pula dengan fenomena job hopper ini. Mereka yang berpindah pekerjaan bisa jadi seang dalam proses menemukan apa yang menjadi passionnya dan dalam bidang apa.
Secara perkembangan, tidak bisa disalahkan juga untuk hal tersebut. Bisa kita bayangkan seorang anak kecil yang tersesat di sebuah kebun binatang super besar tanpa ada peta ataupun petunjuk arah. Begitu kira-kira penggambaran para job hopper dalam menjalani proses perpindahan pekerjaan ini.
Tidak. Bukan berarti saya mendukung gerakan seribu karyawan pindah seribu karyawan tumbuh semalam.. Tidak tidak. Saya hanya mencoba memposisikan bagaimana mereka (dan saya pun pernah) di posisi job hopper.
Next!
Faktor kedua adalah tuntutan.
What?
Ya. Anda tidak salah baca.
Kenapa bisa tuntutan menajdi salah satu faktor?
Let me tell you a story.
Di sebuah perusahaan besar Jakarta, tersebutlah rekan saya yang usianya sangat terpaut jauh dengan saya bekerja disana. Perusahaan ini merupakan perusahaan IT dan telekomunikasi terbesar nomor sekian di Indonesia. Dari sini sudah dapat diketahui proses untuk masuk dalam perusahaan tersebut sangat sulit. Ya, memang. Psikotestnya saja harus berlapis-lapis dan wawancaranya berasa seperti antrian bulog masuk gudang. Lamaaaaaa banget, Belum lagi si pewawancara layaknya penonton sidang Ahmad Dhani atau pendukung (untuk menyinyiri) Habieb Riziq. Banyak tcuuuyyyy!
Singkat cerita,
Teman saya ini diterima. Uwuwuwuwu. Saya tidak tahu persisnya posisi apa dia, namun jobdesknya adalah ikut andil dalam perancangan dan inovasi pembuatan chip yang digunakan dalam handphone pintar dan PC. Gaji yang ditawarkan perusahaan adalah sebesar 5 Juta rupiah dengan berbagai tunjangan lainnya. Jumlah yang besar, bukan?
Akan tetapi, teman saya bimbang. Dengan gaji sebesar itu, dia pulang ke rumah. Menceritakan pada istrinya (bukan saya tolong), besaran gaji dan jobdesk yang diterimanya.
Bagaimana respon si istri?
Menyiramnya dengan air keras.
ENGGAAAK ENGGAAAAK ALAY BAT DAH~
(semoga dia gak baca)
Sang istri menolak untuk dia bekerja disana dengan segala perjuangan dan besaran gaji tersebut. Alasan utama istrinya adalah hidup di Jakarta harus memiliki besaran gaji minimal 10 Juta ke atas dan urusan kebutuhan anak haruslah banyak biayanya. Singkat cerita, teman saya pun hanya bertahan 3 bulan dan mencoba perusahaan lainnya. Tiga bulan tersebut dijalaninya sebagai “tanda jadi” saja.
Kisah kedua.
Berasal dari kawan saya yang berprofesi sebagai pelayar dan telah menamatkan studi double degreenya (dulu makan apa dah elu pinter banget). Singkat cerita, dia akhirnya harus mencari pekerjaan lain dikarenakan keluarga besarnya menuntut gaji darinya yang lebih besar untuk menghidupi seluruh keluiarga besarnya.
Well.
Saya tidak menyalahkan istri teman saya atau siapapun yang mencoba meluruskan tentang gaji dan tanggung jawab teman-teman saya untuk bekerja.
Akan tetapi, dari sini saja sudah dapat ditarik kesimpulan kadang tuntutan bukan hanya dari gaya hidup, tapi juga dari lingkungan sosialnya yang akhirnya membentuk sebuah fenomena job hopper dengan alasan gaji minimalis. Inilah yang menjadi buah pemikiran saya, sebagai penulis.
Apakah job hopper adalah sebuah fenomena untuk pencarian jati diri seseorang atau “korban“ dari tuntutan sosialnya?
Sehingga, Tumblers~ Apapun pekerjaan saat ini, berapapun gaji yang anda diterima hendaknya disyukuri. Karena kadang kita lupa, bahwa diluar sana banyak sekali yang mendambakan pekerjaan dan kehidupan seperti kita. Banyak yang nasibnya pun tidak berkecukupan. Jangankan memikirkan gaji 10 Juta, beb~
Memikirkan makan sehari-hari saja kudu banget puasa 40 malam..
What’s on your mind, people?
Komen aja dibawah..
Salam,
Milenialis sejati yang suka makan miii~
Fatikha Dinda
Dari berbagai sumber
Gambar : https://t.co/uIEsWvYGQR
1 note · View note
fatikhadinda-blog · 5 years
Text
KALEIDOSKOP 2018 - WELCOMING 2019
"Mereka diremehkan, dimarahi, dijatuhkan, dihina, dituding, disisihkan, dikucilkan, diabaikan, diusir, dibuang, terkilir, tergencet, tertungging, terjerembap, terempas, terkapar, tertusuk, terpukul, bengkak, benjol, bengkok, patah, cedera, terluka, berdarah, meringis, mengaduh, menangis, tapi mereka tak berhenti sampai berhasil. Mereka adalah para penakluk rasa sakit, yang selalu dicekam hukum pertama bumi: gravitasi, selalu menjatuhkan! Namun, mereka memegang teguh hukum pertama manusia: elevasi, selalu bangkit kembali!" - Sirkus Pohon, Andrea Hirata
Ulangi sampai 3 kali membaca kalimat di atas di penghujung 2018 ini, you will see how is work to your motivation!
Tahun baru. Adalah sebuah momentum pergantian tahun yang memiliki banyak makna. Ganti tahun, ganti pekerjaan, ganti visi misi, ganti jenjang pendidikan, ganti presiden, ganti rumah, ganti status sampai ganti pasangan (oke ini mulai goyah). Tahun baru. Juga momentum dimana orang berbondong-bondong untuk bereksistensi melalui segala media, mulai dari menampilkan apa yang telah dicapai, apa yang telah dilakukan, apa yang telah diselesaikan, dan lain-lain. Saya tidak akan membicarakan apa yang telah dilakukan oleh orang lain mengenai apa yang telah mereka selesaikan. Kali ini saya akan mencoba memaknai dan merefleksikan apa makna tahun baru menurut saya. Saya yakin tidak ada yang sia-sia dalam setiap potongan hidup yang walaupun tercampur antara potongan rasa asin, manis, pahit, dan lembek (?), potongan-potongan tersebut akan membentuk diri kita ke depannya. Tanpa melupakan backsound kembang api, mercon dan para saudaranya, mari kita mulai untuk mengingat kembali lembaran 2018 (auto buka kalender-salfok ke catatan kecil bertuliskan HUTANG BULAN INI)
Let's begin with Januari 2018. Dimana saya masih berstatus mahasiswa akhir dengan tugas (sok) seabreknya. Januari adalah bulan manis-pahit bagi saya, saya baru memasuki the hell of university, atau sebuah istilah yang merujuk pada tingkat depresif dan kecenderungan emosi tinggi mahasiswa perguruan tinggi sebut saja skripsi! Sekaligus menyandang gelar baru sebagai asisten dosen di beberapa mata kuliah bersama teman saya. Di bulan ini, saya masih semangat-semangatnya untuk mencari topik penelitian karena dosen pembimbing belum diumumkan, semangat-semangatnya untuk masuk ke kelas-kelas dan memberikan mata kuliah (realita: baca ppt dosen terus ane ngegombal dah di kelas) dan semangat-semangatnya untuk mencari buku di rak perpustakaan bagian antropologi (saya jurusan psikologi, by the way). Pokoknya judulnya semangat Januari!
Masuk Februari. Ah, sweet month! Valentine, dan hal berbau manis biasanya ada disini. Tapi, buru-buru dapat gift valentine, saya yang masih hidup di bulan ini bahkan lupa kalau sudah Februari. Pasalnya, kegiatan saya semakin hari semakin padat. Tidak hanya membantu satu dosen, saya "berkelana" ke dosen lain dan kelas-kelas lain untuk mengisi mata kuliah lain, menjaga ujian, sampai koreksi ujian mahasiswa, plus persiapan UTS mahasiswa sampai coba-coba submit penelitian bersama dosen. Februari menjelang akhir, saya baru mendapatkan kejelasan siapakah dosen pembimbing saya beserta kejelasan untuk waktu konsultasi skripsi. Dasar saya si tukang obor alias gampang tersulut semangat, segeralah saya membawa 10 judul skripsi dengan alasan saya bingung memilih judul pada dosbing 1 dan 2 saya.
Kalau pembaca membaca segmen ini, pastinya akan berpikir "gila pinter banget sampai 10 judul!" atau "wah, pasti langsung dapet judul". Realitanya, fakultas saya adalah fakultas terunik karena tidak semudah itu untuk meloloskan judul penelitian, berikut jadwal bimbingan pun harus sabar untuk menunggu lagi (netijen be lyke: fakultas gue juga gitu kali, Ferguso). Ibarat jodoh, kadang maju kadang mundur, kagak ngerti aing mah pasrah :). Dengan kondisi seperti itu, saya juga mencoba untuk berbeda dengan yang lain (berbeda karena apa? Saya juga tidak tahu), saya memasukkan judul-judul lama untuk saya remake jadi penelitian skripsi. Dari 10 judul, dosbing 2 meloloskan 1 judul, eskperimen. Sedangkan dosbing 1 saya sama sekali tidak meloloskan judul saya dengan alasan sudah sangat banyak penelitian yang dilakukan oleh orang lain mengenai tema saya. Singkat cerita, setelah menghabiskan waktu kurang lebih 2 minggu (kisah skripsi saya akan saya tulis di tulisan yang berbeda), akhirnya judul saya fix mengenai politik dan demokrasi dengan reference area tahun 2017-2018. WOW! (auto kayang :))
Next, Maret. Owh, this is my birthday month (dipersilahkan yang mau kirim gift bisa berupa mobil pick up, komplek perumahan, sandal tidur merk Gucci, sampai sabun S*nlight untuq melemaskan hati yang sudah mengerut akibat lama digantungkan-NEXT!). Ini adalah bulan tersibuk dalam sejarah 2018, saya melakukan tiga pekerjaan, sebagai mahasiswa dan sebagai asisten dosen dan pekerjaan sebagai tukang tes untuk para pencari pekerjaan, peminatan siswa dan tes-tes lainnya (tambahan 1 untuk pekerjaan tetap sejak orok yaitu asisten rumah tangga di rumah sendiri). Pokoknya apapun yang bisa saya kerjakan, saya kerjakan. Mata duitan is a must! Konsul skripsi sana sini, cari data sana sini, revisi sana sini. Yeah, seperti mahasiswa akhir kebanyakan. Tak lupa, bumbu-bumbu drama macam jenuh, kejepit deadline, dan misqin tetap menjadi problematika saya disela-sela semua pekerjaan ini.
April dan Mei. Saya sempat menghilang selama total 5 minggu dari konsul skripsi. Bukan saya leha-leha, tapi menyelesaikan tuntutan macam penelitian, perjalanan penelitian, kerjaan dan cecunguk-cecunguknya (elah idup susah amat yak). Belum lagi skripsi tersendat di satu bagian selama kurang lebih 3 bulan. Teman lain sudah mulai menyusun bab-bab akhir, nah saya masih di situ-situ aja, dan masih kerja-kerja aja. Ini adalah bulan dimana semester pendek dimulai (semester diantara semester 8 dan 9). Juni dan Juli, bulan kritis (pakai emot nangis) skripsi saya masih stuck di satu bagian dikarenakan ini adalah penelitian dengan tema yang benar-benar baru dan instrumen penelitian yang saya buat sendiri. Waktu semester pendek semakin sempit dan tuntutan pekerjaan di akhir semester semakin banyak. Mau tidak mau, multitasking, pagi konsul, siang kerja, sore-malam revisi, dan bisa juga sebaliknya saya lalui dalam bulan-bulan ini. Diremehkan sana-sini, dimarahi, dituntut, dikucilkan, sampai dimanfaatkan semua terangkum dalam drama bulan ini.
Sampai akhirnya, saya benar-benar menyerah, saya yang biasanya mampu mencari jalan keluar, menghibur diri dengan berdiam diri atau melakukan hal lain, terhenti. Saya benar-benar menyerah saat itu dan mulai mencari pekerjaan gaji tetap untuk membiayai kuliah tambah semester saya. Teman-teman lain sudah daftar sidang dan lainnya lagi sudah sidang. Saya menyerah, memutuskan berhenti.
Namun, penghujung Juli, ketika saya sudah mengurus penundaan UKT dan persiapan tambah semester, Tuhan berkata lain. Saya diberikan jalan untuk menyelesaikan bab akhir dan bisa daftar sidang. Tidak pernah saya lupa kalimat dosbing saya "saya yakin kamu sidang semester ini". Semangat saya kembali meletup, sebar aitem, skoring hingga analisis saya kebut. Terasa tidak mungkin, tapi 3 minggu adalah waktu yang sangat berharga bagi diri saya. Malam terasa pagi, pagi terasa malam, hati pun masih mengharapkan (eaak). Tentu penghalang masih ada, namun saya yakin kembali untuk menyelesaikan studi saya bulan ini. Dan akhirnya, doa dan usaha saya terjawab, 8 Agustus 2018, saya melakukan sidang skripsi dengan dosen penguji ahli statistik yang sempat membuat saya gemetar setengah mati (walau saya masih sanggup untuk makan pecel sebelah kampus 2 porsi). Kembali saya dihadapkan oleh perasaan menyerah. Dengan total waktu sidang sekitar 2,5 jam dan pembicaraan yang alot, saya berhasil lulus (walau dikatakan hampir tidak lulus dikarenakan terdapat analisis yang harus diubah, namun dibantu oleh dosen penguji saya untuk revisi dan memperbaikinya). Saya menangis, bersyukur, saya sangat paham dengan kapasitas dan kemampuan saya waktu itu. Saya ingat, satu-satunya skripsi dengan tema politik demokrasi dan menggunakan reference term tersebut adalah saya seorang. Mungkin ini yang dinamakan kesombongan dan keterpurukan dalam satu raga. Dan saya membuat sendiri alat instrumennya dengan segala proses uji ahli yang bolak-balik revisi setiap hari (literally setiap hari), belum ahli-ahli yang lain. Maka dengan pencapaian saya itu (saya tidak peduli tidak mendapatkan nilai A bulat) saya sangat bersyukur.
Yes! I'm graduated! Bye, sobat misqin! Setelah revisi, dan lain-lain. Satu langkah telah terlewati.
Mulailah saya mencari pekerjaan tetap, dengan tidak meninggalkan pekerjaan saya sebagai tukang tes disela-sela pekerjaan tetap saya. Pekerjaan pertama saya dimulai bulan September, sebagai guru pendamping ABK di sebuah SD di kota Malang. Kebetulan, mereka membutuhkan tenaga di bidang itu. Saya pun mulai bekerja disana, dengan pembagian waktu kerja pagi-siang sebagai guru ABK, sore-malam saya bekerja sebagai konselor lepas dan guru privat di rumah-rumah murid. Weekend atau hari yang sekiranya saya bisa ijin saya ambil pekerjaan lain. Kehidupan macam ini saya lalui selama kurang lebih 3 bulan. Tentunya dengan segala drama yang kembali lagi saya lalui, sebagai anak freshgraduate yang idealis (baca: songong berdakik-dakik) saya pun mengatasi permasalahan ABK dengan metode ABA yaitu metode aplied behavior analysis (bisa search di google untuk detail penjelasannya) yang aplikasinya tidak menggunakan kekerasan fisik dan sifatnya mengkondisikan anak dan membantunya untuk dapat beradaptasi dengan kehidupan sosialnya. Metode tersebut, kurang diterima oleh pihak sekolah yang sebelumnya telah memiliki metodenya sendiri. Tapi, dasar memang saya si anggota NNC (Ngotot Ngotot Club) saya tidak sampai hati untuk meninggalkan metode saya sendiri. Sampai pada puncaknya, ketika saya sedang mendampingi anak saya untuk mengikuti kegiatan senam bersama, si anak mengamuk dan tantrum (saat itu saya memegang anak gangguan emosi dengan spesifikasi perilaku menyakiti orang lain apabila orang lain melakukan kesalahan menrutnya, sensitif terhadap suara/intonasi/nada yang keras, merusak fasilitas, dan perubahan mood yang luar biasa naik turun) pada saat berjalan menuju lapangan karena belum sampai di lapangan, si anak sudah terlebih dahulu diteriaki untuk segera masuk barisan oleh kepala sekolah yang waktu itu (kebetulan) memimpin senam. Yah, namanya juga sensitif terhadap suara keras, beb. Pakai microfon segala, saya yang jadi pendampingnya aja mau bersin taqud beb, lah ini pakai microfon ;( Seketika anak saya mengamuk dan mulai menarik kemudian melempar pot-pot tanaman ke arah barisan. Saya langsung mengkondisikan anak dengan memeluk sekuat tenaga dan menangkap pot-pot yang hampir terkena temannya (bayangin anda sedang masak terciprat minyak panas, ya begitu gerak gerik saya). Bukannya dibantu, saya justru dipermalukan dan dimarahi didepan publik dengan alasan saya tidak becus mengurus anak ABK, metode yang saya gunakan salah, dan segala cacian yang saya terima kala itu (backsound: Awkarin-Qalean semua sucih aku penuh dosa). Saya akui saya memang wanita dan lemah, akan tetapi saya tidak mau menyerah begitu saja untuk berhenti menerapkan metode saya. Demi kebaikan anak, begitu kata saya dalam hati. Toh, tugas saya sebagai pendamping adalah "bertugas" untuk membantu me-reduce emosinya dan membantunya berdaptasi - sounds easy, eh? But no). Setiap hari saya harus bergelut dengan kondisi sekolah yang tidak memadai dan kondisi anak yang luar biasa. Tidak hanya itu, saya juga memegang kelas inklusi dengan karakteristik dan spesifikasj gangguan anak yang beragam mulai kelas 1 hingga 6. Autis, gangguan emosi,dan speech-delay. Demikian ragam spesial anak-anak saya. Saya bekerja keras dan bekerjasama dengan lembaga saya untuk membuktikan bahwa metode yang saya bawakan berlandaskan ilmu, dan berhasil pada bulan kedua saya bekerja. Hasilnya? Anak tidak lagi memukul dan memghancurkan kelas, anak mampu mengikuti upacara, anak mampu bermain tanpa harus marah, anak juga mampu dan mau untuk mengerjakam tugas-tugas tanpa merobek dan merajuk.
Dari sini apa yang dapat pembaca simpulkan?
Ya. Saya harus segera menikah (auto digebukin satu RT pake kentongan).
Kembali lagi, dalam prosesnya masalah masih banyak terjadi antar pihak guru dan anggota sekolah. Tidak hanya kesalahpahaman dalam memahami anak ABK, ketidakpahaman tentang ABK itu sendiri hingga koordinasi yang buruk antar semua elemen. Singkat cerita, pihak ini berusaha membuat kekacauan lagi dengan saya. Namun, tidak berlangsung lama. Pada bulan ketiga, semua berangsur membaik dan akhirnya semua permasalahan, pertikaian, pengkhianatan hingga perceraian (?) dapat teratasi. Demikianlah kisah pekerjaan pertama saya setelah lulus.
Kemudian, bulan ketiga alias November akhir saya mulai merasa bahwa saya perlu bidang, kesempatan dan pembelajaran lain dalam hidup saya. Mungkin pembaca akan berpikir, "lah sudah enak kerja kok keluar", ya saya mau tidak mau harus mengakui bahwa saya adalah milenialis sejati yang memerlukan tantangan lebih dan lebih. Akhirnya, saya memutuskan untuk resign saat itu. Berat rasanya, meninggalkan anak-anak yang sudah dekat dengan saya lahir-batin. Meninggalkan semua proses yang saya lalui. Meninggalkan kelas. Meninggalkan suara anak-anak yang biasanya memanggil saya dengan riang setiap pagi Bu Dinda!. Meninggalkan celoteh anak-anak saat bercerita bertemu capung yang lewat melintas depan kamarnya. Meninggalkan anak-anak yang setiap hari berebutan untuk saya nyanyikan lagu Pagiku Cerahku di sela-sela sholat dhuha berjamaah.
Sampai.....
Meninggalkan calon imam yang sudah mengetuk pintu rumah saya (plakk!)
Tapi, palu sudah diketok, rumput telah dicabut! Saya resign pada awal Desember.
Modal nekat dan nekat, sebelum resign saya sempat menghubungi beberapa pekerjaan yang memang ingin saya coba sejak lama. Singkat cerita, saya memulai pekerjaan baru sebagai peneliti lepas di sebuah lembaga ilmu pengetahuan di Jakarta. Tidak hanya itu, saya juga mencoba pengalaman baru sebagai tenaga rekrutmen lepas di perusahaan outsourcing di Malang dengan cakupan wilayah Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jakarta. Saya menjalani dua pekerjaan tersebut hingga saat ini dengan tetap menanti pengumuman lain mengenai pekerjaan saya. Saya tidak mau nganggur! (kata-kata ini juga yang memotivasi saya untuk selalu nekat mencoba melakukan semua pekerjaan-walau realitanya saya suka menganggurkan diri).
Itulah sedikit kilas balik kehidupan saya selama tahun 2018.
Perjalanan setelah lulus tidak seindah apa yang seringkali disematkan di kartu-kartu ucapan happy congraduation atau happy compretulation. Di tahun ini, saya belajar merasakan bagaimana rasanya diremehkan, dari lingkungan terdekat hingga orang baru dalam kehidupan saya. Bagaimana kerasnya dunia kerja yang untuk saya, si freshgraduate anggota NNCF (Ngotot Ngotot Club Forever-elah tambah paragraf tambah singkatan yak). Dan belajar untuk mengendalikan emosi dan manajemen diri sendiri atas nyinyiran netijen budiman bin birokrat bin demokratis. Tidak jarang, dalam perjalanan ini, beberapa teman menganggap pekerjaan dan kegiatan yang saya lakukan tidak jelas dan tidak jarang pula menanyakan tentang seberapa besar gaji yang saya terima hingga saya mau melakukan pekerjaan-pekerjaan tersebut. Tidak jarang pula, saya merasa bahwa saya adalah "hasil" gagal dan bertanya pada diri saya sendiri "apa yang sudah saya lakukan selama ini" dan merasa semuanya sia-sia. Pun, tidak jarang saya merasa terpojokkan oleh situasi-situasi dan tuntutan hidup yang serba cepat dan padat. Tidak pernah merasakan liburan ketika teman lain merayakan kelulusan dengan naik gunung, pergi jauh dan perayaan lain. Saya sudah berkejaran dengan waktu untuk mencapai resolusi-resolusi yang belum tercapai.
Well, telah sampailah kita pada penghujung akhir tulisan saya ini.
Kembali pada kalimat pembuka pada tulisan saya kali ini. Tulisan itulah yang pertama kali membuka cakrawala motivasi saya untuk tetap berjalan, berjuang dan bangkit kembali. Walau proses di belakang tidak selamanya mulus, namun pastikan pembelajaran disetiap prosesnya dapat kita simpan dan jadikan pembelajaran. Andrea Hirata, adalah penyegar bagi saya dengan kalimatnya bahwa hakikat manusia adalah selalu bangkit kembali. Jangan pernah menyerah dengan keadaan. Hadapi, lakukan, nantikan! Maka saya menutup penghujung 2018 ini dengan rasa syukur dan terimakasih atas semua pembelajaran di tahun 2018 dan penuh semangat menyambut 2019 dengan segala tantangannya. Karena ingatlah, it's not about you think about quarter life crisis, but this is about you get start and deal with quarter life crisis. Just keep swimming, and let the life tell you about "its" work.
P.S: Happy New Year! And happy new me, new you, and new us! (smirk)
Salam manis,
Penikmat kehidupan yang belum wisuda
Fatikha Dinda Putri
5 notes · View notes