Tumgik
eauteous ¡ 5 months
Text
Tumblr media
Fairytale.
Disclaimer: this is fanfiction written by me and I use THE BOYZ’s Lee Juyeon, Lee Sangyeon, Kim Sunwoo and Lee Hyunjae as the face claim of my character here. Everything is here is not related to THE BOYZ and IST Entertainment. Picture credit to the owner.
💭💭💭
Juyeon adiknya adalah lelaki yang sopan.
Juyeon adiknya selalu menjaga tutur kata dengan baik.
Juyeon adiknya selalu bersikap ramah pada siapapun.
Tapi Juyeon di depan Sangyeon saat ini bukan sosok adik yang selalu ia banggakan pada siapapun. Sangyeon tidak tahu kemana larinya senyum manis Juyeon yang selalu membuat kedua matanya berubah menjadi bulan sabit. Sangyeon juga tidak bisa menjawab ada di mana sorot mata lembut dan penuh keteduhan yang selalu Juyeon tunjukkan.
Sekarang hanya ada Juyeon yang menatapnya tajam dengan kedua tangan sengaja ia lipat di depan dada. Sudah sepuluh menit berlalu, tetapi Juyeon tidak membuka mulutnya sama sekali. Netra kelam itu hanya beralih menatap Sangyeon dan Sunwoo— seorang lelaki remaja yang ada di sebelah Sangyeon— penuh kebencian.
Sangyeon tahu dan sadar akan ini. Sangyeon bukan orang bodoh. Ia jelas mengerti aura apa yang Juyeon pancarkan saat ini; marah, benci, dendam dan kecewa.
“So far, if I’m not mistaken, you’ve stated that you hate Ayah. But hatred is eating away at you to the point where you act exactly like him.”
Akhirnya Juyeon membuka suara setelah sekian lama betah mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Intonasi yang ia pilih jelas membuat Sunwoo dilanda rasa takut yang teramat sangat. Sangyeon selalu memuji Juyeon yang sopan dan lembut sampai membuat Sunwoo berharap bisa bertemu Juyeon secara langsung. Namun yang terjadi dipertemuan pertama mereka adalah ekspresi wajah penuh amarah dengan rahang menegang keras.
“Juyeon. Abang gak—”
“Gak kaya Ayah?” Juyeon menyela ucapan Sangyeon begitu saja sebelum terkekeh sinis. Kepalanya sengaja ia alihkan ke arah lain. Menunjukkan betapa enggan dirinya menatap sang kakak yang selalu ia hormati selama ini. “Jelasin ke gue letak lo gak mirip Ayah di mana? di mata gue kalian sama. Bilang sibuk kerja, sibuk ini dan tai lah. Ya elo emang sibuk sih. Sibuk berduaan sama anak remaja seolah-olah lo balik ke masa remaja yang dimabuk cinta. Persis banget Ayah.”
Juyeon menghentikan ucapannya. Kali ini matanya teralihkan memperhatikan Sunwoo yang menunduk dalam-dalam. Berusaha keras menghindari tatapan Juyeon. “Lo ingat gak umur berapa gue tau kalau Ayah selingkuh sama teman kerjanya? persis banget seumuran sama selingkuhan lo ini.”
Sangyeon terhenyak. Dalam hitungan detik memori tentang Juyeon yang hancur di depannya terputar begitu saja. Kenangan buruk tentang betapa hancur hati Sangyeon, Bunda serta Juyeon membuat Sangyeon tiba-tiba merasa sesak nafas. Kehilangan kemampuannya menghirup udara.
“Tingkah lo gini gak cuma buat keluarga kecil lo kecewa Bang, tapi gue dan Bunda juga kecewa setengah mati sama lo. Lo tau gimana Bunda sayang banget sama istri lo, selalu berharap kalian bahagia karena Bunda tau rasanya sakit hati dikhianati. Tapi ternyata kelakuan brengsek mantan suaminya nurun ke anak sulungnya ini.” Juyeon masih menjadi orang yang menguasai percakapan karena baik Sangyeon dan Sunwoo memilih menutup mulut. Membiarkan Juyeon meluapkan segala emosinya. “Anjing lo Bang. Lo gak cuma menorehkan luka ke keluarga lo, tapi juga gue. Lo buat berdarah lagi luka gue. Lo bikin gue kehilangan kepercayaan diri yang udah susah payah gue bangun. Bajingan.”
“Lo adalah orang yang paling tau gimana perilaku bejat Ayah memengaruhi hidup gue, merusak hidup gue. Lo tau dengan sangat jelas gimana gue dihantui bayang-bayang ucapan orang kalau buah gak akan jatuh jauh dari pohonnya. Lo memahami gue yang takut memulai hubungan karena gimana Ayah memperlakukan Bunda karena gue takut melakukan hal serupa. I finally felt comfortable enough with myself to begin dating Hyunjae after a lengthy period of doubt, and your actions have given me hope that I, too, may become someone as jerky as you. It really haunted me.”
“Gue minta maaf.”
Tawa Juyeon lagi-lagi terdengar. Kali ini membuat Sunwoo benar-benar tidak nyaman. Apalagi Sangyeon tidak melakukan sesuatu yang berarti untuk sekadar membela posisinya.
“Maaf kak. Maaf atas perilaku gue dan Kak Sangyeon. Kita saling sayang, Kak. Emang salah rasa sayang kita berdua?” dengan segenap keberanian yang tersisa akhirnya Sunwoo membuka suara.
Juyeon menggertakkan giginya usai mendengar ucapan Sunwoo. Sengaja ia tatap lurus Sunwoo. “Oh bisa ngomong? gue kira lo bisu sih soalnya gak bisa menolak dan bilang gak ke orang yang punya istri dan anak.”
Checkmate.
Bukan hanya Sunwoo yang tertohok karena Sangyeon juga merasa demikian.
“Terus lo bakalan gunain cinta sebagai excuse dari tingkah kalian ini? halah bocah. Lo mau membangun dongeng impian lo, tapi menghancurkan dongeng orang lain? lo waras gak?” Juyeon meninggikan nada suaranya. “Lo pernah gak kepikiran anak dan istri saat hahah hehehe sama Abang gue? rasa cinta lo setelah ini mungkin bisa berkurang, tapi sakit hati dan luka yang dirasain keluarga kami gak akan bisa berkurang mau lo kasih seluruh harta lo termasuk diri lo juga. Tingkah lo gak cuma menghancurkan hati orang lain, tapi juga merusak mental seorang perempuan dan anak kecil yang gak tau apa-apa.”
Juyeon bangkit dari duduknya. Memandangi sang kakak dan kekasihnya bergantian sambil menghirup nafas dalam-dalam. Berusaha sekuat tenaga mengisi paru-parunya dengan oksigen semampu yang ia bisa.
Remuk.
Hati Juyeon remuk.
Trauma ia dan Bunda belum sembuh, tapi sang kakak malah membuat trauma baru ke orang lain. Juyeon ingin menangis sekuat-kuatnya. Meraung pada sang kakak keras-keras. Namun yang mampu ia keluarkan adalah;
“As soon as you have an affair with him, you should be aware that you have lost more than just your wife and daughter—you have also lost your brother as well.”
0 notes
eauteous ¡ 5 months
Text
Tumblr media
To You My Light.
Disclaimer: this is fanfiction written by me and I use THE BOYZ’s Lee Hyunjae as the face claim of my character here. Everything is here is not related to THE BOYZ and IST Entertainment. Picture credit to the owner.
🎀🎀🎀
Hujan itu anugerah dari semesta.
Sama seperti kehadiran Hyunjae dalam hidup Juyeon. Sebuah anugerah terbesar yang selalu membuat sinar bulan di bawah hidungnya menyilaukan mata. Jadi ketika terjebak hujan bersama dengan Hyunjae tentu saja Juyeon akan mengucap beribu syukur dalam hatinya karena mayapada memberikan kebaikannya dalam satu waktu bersamaan.
Tidak ada satu pun kata yang bisa menggambarkan Hyunjae selain kata indah dalam hidup Juyeon. Hyunjae itu indah. Indah itu Hyunjae. Malah Juyeon seringkali beranggapan bahwa kata indah memang sengaja diciptakan untuk Hyunjae.
Cinta itu gila, ‘kan? itu yang Juyeon rasakan. Begitu telapak tangan besarnya membungkus jari-jemari Hyunjae ada ratusan drum yang dipukul bersamaan dalam satu waktu. Menciptakan degup jantungnya berpacu lebih cepat dari biasanya. Rasa ini sejujurnya aneh, tapi Juyeon menyukainya. Menyukai bagaimana eksistensi Hyunjae layaknya cat air yang siap mewarnai kanvas kosong Juyeon dengan ratusan warna memanjakan panca indera.
Juyeon tidak butuh alkohol atau apapun yang membuatnya mabuk kepayang karena senyum Hyunjae adalah titik terlemahnya, sumber utama dari tubuhnya terasa ringan seolah-olah siap terbang menari di atas awan putih dengan kedua tangan saling menggenggam erat.
“Juyeon.”
Suara Hyunjae mengejutkan Juyeon dari imajinasi tentang Hyunjae dan cintanya. Juyeon, seperti biasa, membalas dengan senyuman lebar yang manis. Membuat Hyunjae pun ikut tersenyum. Oh. Tuhan... lihatlah betapa indah Hyunjae ditemani suara hujan dan wangi dedaunan basah yang menerobos hidungnya.
“Apa sayang?”
Kedua pipi Hyunjae bersemu merah. Ada hal magis dalam suara Juyeon ketika memanggilnya dengan sebutan sayang. Lembut dan adiktif.
“Hujannya tinggal rintik-rintik aja. Mau diterobos enggak?” tanya Hyunjae
Juyeon mengalihkan pandangannya memperhatikan bagaimana hujan deras tadi sudah berganti menjadi gerimis kecil. “Oh benar.” sahut Juyeon singkat sebelum kembali menatap binar Hyunjae dengan senyum yang masih terlukis di wajah Juyeon. “Yakin mau diterobos, sayang? aku takut kamu sakit.”
Hyunjae menggelengkan kepalanya beberapa kali. Bibirnya sengaja ia majukan beberapa senti, manyun. “Kamu bilang aku Super Hyunjae. Harusnya gerimis kecil enggak buat aku sakit ‘kan?”
Alih-alih menjawab Juyeon malah terkekeh geli. Tangannya sengaja ia arahkan untuk mengelus lembut dan penuh sayang rambut Hyunjae. “Okay. Pakai jaket aku buat tutupin kepala kamu, ya?”
“Pakai berdua boleh? biar gak cuma aku aja yang aman, kamu juga.”
“Okay. Tapi bentar. Aku mau ganti lagunya dulu.”
Hyunjae mengangguk sebagai respon. Menunggu Juyeon mengeluarkan gawai pintar berwarna hitam itu dari dalam saku sebelum menggerakan ibu jarinya berselancar dengan santai di atas layar. Mencari-cari lagu yang akan mengisi gendang telinga keduanya karena sepasang kekasih ini sejak tadi membiarkan earbuds Juyeon terbagi dua. Yang sebelah kanan di telinga Hyunjae, sedangkan bagian satunya ada di telinga Juyeon.
“Lagunya buat kamu. Didengar baik-baik.”
Tawa Hyunjae terdengar. Bagi teman-teman mereka tawa milik Hyunjae sangat menganggu. Besar dan berisik. Tetapi tidak bagi Juyeon. Tawa milik sang kekasih adalah simfoni indah yang selalu menggelitik telinganya. Menjadi pemicu ratusan kupu-kupu berterbangan menggilik-gilik perut Juyeon.
Tanpa menunggu waktu lama Juyeon melepaskan jaketnya dan mengarahkannya tepat di atas kepala keduanya sebelum mengisyaratkan Hyunjae untuk melangkah. Membelah gerimis kecil yang sengaja diberikan semesta untuk menjadi pemanis dalam kisah mereka di sore ini.
Dalam pelukan senja yang hangat, Juyeon dan Hyunjae melangkah sambil terkekeh geli melirik satu sama lain dengan lagu penuh cinta yang terputar di earphone milik Juyeon menyapa indera pendengaran keduanya.
Bagi Juyeon, keputusan Tuhan untuk memerintahkan dewa asmara mengarahkan busur cinta ke arah Hyunjae dan dirinya untuk mengikat mereka dalam benang merah yang tertulis bersama hamparan bintang di angkasa adalah hal yang karunia besar dalam hidup Juyeon.
Hyunjae adalah pusat semesta Juyeon. Hyunjae adalah asa yang senantiasa mengisi ruang hampa dalam sanubari Juyeon.
“I want to become a better person so I can hold you even more beautifully, Hyunjae.”
Diiringi semilir angin dan di bawah naungan langit dengan mentari yang mengintip sengit dari balik awan yang menawan, Juyeon mengungkapkan cintanya sebagai penutup petang mereka.
0 notes
eauteous ¡ 6 months
Text
Tumblr media
It’s Over.
Disclaimer: this is fanfiction written by me and I use THE BOYZ’s Lee Hyunjae as the face claim of my character here. Everything is here is not related to THE BOYZ and IST Entertainment. Picture credit to the owner.
🕊️🕊️🕊️
Selesai.
Tidak ada lagi yang tersisa dari hubungan Hyunjae dengan Juyeon selain rasa sakit yang mendalam menggerogoti hati dan kewarasan. Keduanya duduk terdiam. Bibir mereka terkatup rapat, tapi air mata terus mengalir tanpa diperintah.
Juyeon diam. Tenggelam dengan pikirannya dan penyesalan terdalam yang tidak pernah hilang barang sebentar sekalipun. Hatinya dilanda badai yang penuh gemuruh petir juga duka yang menghasilkan luka.
Hyunjae pun demikian. Tidak terhitung beberapa kali kata ‘maaf’ keluar dari bibir tipisnya diikuti isakan tanpa suara ia tujukan untuk Juyeon.
Sinar rembulan malam seolah-olah enggan menemani keduanya. Sang pemilik angkasa malah mematung, membisu sekaligus bersembunyi di balik awan gelap seolah ingin membiarkan suram menyelimuti hati temaram, tanpa sinar kehidupan yang menjanjikan.
Semilir angin dingin menusuk tulang. Namun tidak membuat keduanya beranjak dari tempat masing-masing. Larut dalam cedera hasil dari derita akan lara. Pahit yang terjadi begitu rajutan kisah cinta dengan penuh kasih secara berat hati menginjak garis finish.
Tak ada pelukan terakhir yang hangat.
Tak terpikir akan ada kecupan yang manis.
Hancur lebur tak tersisa.
Porak poranda tanpa disadari.
Bagaikan syair tanpa irama, keduanya terjebak dalam drama di panggung megah bernama kehidupan tentang sebuah cinta yang kandas tanpa bekas, tandas.
0 notes
eauteous ¡ 6 months
Text
Tumblr media
Duka yang menjadi luka.
Disclaimer: this is fanfiction written by me and I use THE BOYZ’s Lee Hyunjae as the face claim of my character here. Everything is here is not related to THE BOYZ and IST Entertainment. Picture credit to the owner.
💭💭💭
Manusia itu membingungkan.
Hyunjae mengakui itu sejak ia sadar bahwa saking dinamisnya manusia mereka bisa berubah walau hanya dengan kedipan mata. Hidup bertahun-tahun di dunia ini membuat Hyunjae berhasil menelan segala perasaan juga derita yang berbondong-bondong datang menghampirinya.
Jangan tanya apa Hyunjae lelah atau tidak. Faktanya ia lelah, tapi nyatanya ia terus melangkah. Walaupun air mata membasahi wajahnya, bahunya bergetar hebat menahan tangis dan rasa mual yang membuat perutnya tak nyaman, namun Hyunjae tetap menggerakkan tungkainya.
“Tuhan... tolong tunjukkan padaku dunia yang indah.”
Bibirnya tidak pernah berhenti bergetar memanjatkan doa. Berharap sang pemilik jagat raya sedikit berbaik padanya yang selalu dirundung pilu tanpa henti.
Hyunjae di sini. Duduk di atas ranjang dengan tangan bergetar diikuti oleh suara tangis mengiris hati yang sepi. Tapi jiwanya telah berkelana entah kemana, mencari pegangan yang tak akan melepas walaupun badai menghempas.
Disela-sela tangisnya, Hyunjae mulai mengigit bibir menahan semua rasa sakit yang mengigit. Dunia tidak runtuh, tapi hatinya yang rubuh. Porak-poranda. Hancur tanpa sisa. Seperti asa yang diserap nestapa. Meninggalkan duka yang menciptakan luka.
Langit memang biru, tapi mampu membuat Hyunjae kesulitan mengatur nafasnya yang memburu. Angin dingin membelai Hyunjae yang perlahan-lahan membeku, terikat dalam belenggu yang menganggu.
0 notes
eauteous ¡ 7 months
Text
Tumblr media
Love, akin to the sweet scent and vivid hues of blossoming spring flowers, flourishes resplendently.
Disclaimer: this is fanfiction written by me and I use THE BOYZ’s Lee Sangyeon, Choi Chanhee (New), Kim Younghoon, Kim Sunwoo dan Naoi Rei as the face claim of my character here. Everything is here is not related to THE BOYZ, IST Entertainment, IVE or Starship Entertainment. Picture credit to the owner.
💐💐💐
Dulu Sangyeon pikir kata cantik hanya bisa disandingkan dengan pemandangan atau perempuan, tapi ketika menemani Younghoon membeli buket bunga untuk Sunwoo di salah satu florist dekat kantor mereka Sangyeon menghapus pemikiran itu dalam otaknya.
Matanya membulat bahkan tidak mampu berkedip selama beberapa detik melihat seorang laki-laki dalam balutan baju manis dan rambut yang menurut Sangyeon lembut—jika ia diizinkan untuk mengelusnya sih— yang berdiri di depannya dan Younghoon.
“Selamat datang. Ada yang bisa saya bantu?” pertanyaan itu lolos dari bibir merona layaknya ceri yang menjadi buah kesukaan keponakan Sangyeon. Suaranya mengalun lembut menyapa telinga, menjadi pemicu dibalik degup jantung yang berdetak seolah-olah seluruh drum dipukul bersamaan di dalam sana.
“Hai, Kak. Mau cari bunga yang cocok untuk hadiah anniversary, apa ada?” alih-alih menjawab, Younghoon malah melontarkan pertanyaan. Sang teman sengaja mengedarkan pandangannya ke seluruh florist yang terasa nyaman dan menyenangkan.
Lelaki yang entah namanya itu tersenyum. Demi seluruh alam semesta dan seisinya. Menurut Sangyeon senyum yang terlukis di wajah pria itu bukan hanya manis, namun sangat indah. Tidak, tidak. Bahkan kata indah sekalipun tidak mampu mendeskripsikan betapa menawannya lelaki itu.
Choi Chanhee.
Sangyeon mengulang nama itu berkali-kali dalam hati juga kepalanya usai melirik name tag yang tersemat di pakaian Chanhee. Ah, namanya pun se-cantik rupanya.
“Sejujurnya banyak sih, Kak. Yang jadi pilihan orang-orang biasanya kalau enggak bunga mawar, ya lili. Contohnya ada di sebelah kanan itu.” Chanhee mengarahkan ke beberapa jenis bunga yang baru saja ia sebutkan. “Saya ada beberapa opsi. Kakak maunya yang gimana, ya?”
Sangyeon tanpa sadar meremat celana bahan yang sedang ia kenakan. Sebut ia berlebihan, tapi suara Chanhee bagai simfoni indah yang menenangkan jiwanya, menghapus segala penat yang ia rasakan di tempat kerja tadi dan bagian konyolnya, Sangyeon rasa ia kecanduan dengan suara tersebut.
“Mau yang manis aja sih, Kak. Yang paling berbeda, mungkin? soalnya saya ini belum pernah beliin pacar saya bunga.” jawaban Younghoon diiringi kekehan kecil. Seolah menunjukkan keseriusan pada setiap kata yang tersusun di sana.
Tawa kecil pun ikut didengar oleh Sangyeon, menggelitik indera pendengarannya sempurna. “Oala. Kalau gitu apa mau bunga anggrek ungu kak? salah satu representatif dari hal romantis biasanya disatukan bersama anggrek. Apalagi bunga anggrek ini mampu bertahan lama loh, Kak. Jadi orang-orang menantikan itu.” jelas lelaki itu panjang lebar, “Biasanya begitu mekar sih anggrek sering dijadikan simbol cinta yang abadi. Boleh banget itu dijadikan harapan untuk hubungan kalian kedepannya.” lanjutnya.
Bukan hanya Sangyeon yang terpana, kali ini Younghoon pun merasakan hal yang sama. “Keren. Kamu hafal semua arti dari bunga ya?”
Gelengan kecil tercipta. “Enggak sih. Terlalu banyak, saya gak mampu menghafal. Tapi saya suka bunga dan senang banget karena banyak hal yang enggak mampu saya sampaikan lewat kata-kata bisa saya ungkapkan melalui filosofi setiap bunga.”
“Yaudah. Saya mau buket anggrek ungu deh.”
Chanhee tersenyum. “Boleh banget. Tunggu sebentar ya, Kak.” ia mengalihkan pandangannya sebelum berteriak kecil memanggil seorang gadis yang sedang sibuk merapikan beberapa bunga di dekat pintu masuk florist. “Kak, nanti dibantu sama adik saya ya! oh iya, Rei, bantu kakak ini buat buket anggrek ungu, oke?” ucapannya dibalas senyum lebar dari si gadis tersebut.
Sekarang hanya tersisa hanya Sangyeon dan sosok yang sejak beberapa menit tadi merebut seluruh atensinya. Seolah memahami ada orang lain di depannya, Chanhee kali ini menatap Sangyeon dengan ramah. “Kalau kakak, apa ada yang bisa saya bantu?”
Sangyeon terdiam sejenak. Matanya ikut menatap lurus Chanhee dan menemukan refleksi dirinya sendiri yang tengah memasang wajah bodoh di sana. “Gak sih.” singkat, padat dan jelas. Sangyeon mengeluh dalam hati karena ucapannya sendiri. “Err... Kamu sudah lama suka bunga?” pertanyaan basa-basi yang benar-benar basi lolos begitu saja.
“Ibu saya suka sama bunga-bunga. Beliau sering menanam bunga di taman rumah kita. Sejak itu saya jadi suka banget sama bunga karena mereka cantik.”
“Berarti kamu juga bunga, ya?”
Kening Chanhee mengernyit, menunjukkan kebingungan yang sangat terlihat jelas terpampang di raut wajahnya. “Gimana, Kak?”
“Iya. Kamu bilang suka sama bunga karena mereka cantik. Kalau cantik diasosiasikan dengan bunga, artinya kamu juga bunga karena kamu pun cantik.”
Dalam satu tarikan nafas Sangyeon dengan sempurna mengungkapkan isi hatinya pada lelaki asing yang baru ia kenal dalam hitungan menit. Sosok yang Sangyeon tau akan menjadi pelengkap hidupnya nanti.
0 notes
eauteous ¡ 8 months
Text
Tumblr media
Disclaimer: this is fanfiction written by me and I use THE BOYZ’s Kim Sunwoo as the face claim of my character here. Everything is here is not related to THE BOYZ or IST Entertainment. Picture credit to the owner.
💭💭💭
Jatuh cinta menyenangkan. Kata siapa? siapa berani bilang jatuh cinta adalah suatu hal yang mampu disandingkan dengan kata menyenangkan?
Pada nyatanya definisi cinta dalam hidup Sunwoo hanya mampu melihat sosok yang selalu ia kagumi dari belakang. Ketika orang-orang lain memiliki kesempatan untuk berdecak kagum tentang bagaimana indahnya pahatan Tuhan yang sempurna, Sunwoo hanya bisa mengigit bibir kuat-kuat menahan pekikan gemas begitu punggung lelaki menjulang tinggi yang selama ini ia kagumi terlihat.
Kening Sunwoo mengernyit heran. Ada yang berbeda kali ini. Biasanya lelaki itu melangkahkan kaki jenjangnya sendirian atau beberapa kali ditemani seekor anjing lucu. Tapi kenapa sekarang ia malah ditemani seseorang dengan kedua tangan saling menggenggam erat seakan-akan takut terlepas begitu saja begitu terhantam angin?
Hati Sunwoo dalam hitungan detik terasa sakit. Perasaan ngilu membuatnya meringis tanpa sadar.
Ini kah yang dimaksud jatuh cinta? jatuh yang menyakitkan karena cinta?
0 notes
eauteous ¡ 9 months
Text
Tumblr media
In the end, everything works out beautifully in the universe.
Disclaimer: this is fanfiction written by me and I use THE BOYZ’s Kim Younghoon and Lee Juyeon as the face claim of my character here. Everything is here is not related to THE BOYZ or IST Entertainment. Picture credit to the owner.
୨୧
“Masih lama?” pertanyaan yang terlontar dari bibir Younghoon dibalas Juyeon oleh anggukan kepala kecil, membuat yang lebih tinggi menghela nafas berat. “Capeeeek.”
Keluhan-keluhan kecil dari Younghoon entah beberapa kali Juyeon dengar. Juyeon tidak merasa marah atau kesal mendengar seberapa banyak bibir merah muda itu menyanyikan kelelahannya. Malah ia merasa terkesiap saat mengetahui bahwa Younghoon hanya mengeluh dengan suara kecil— bahkan nyaris tidak terdengar— yang ia pahami kalau tujuannya agar tidak menyakiti perasaan Juyeon karena ia lah alasan Younghoon bangun pagi diakhir pekan.
“Sini,” tangan Juyeon terulur ke arah Younghoon, meraih tangan seputih susu tersebut sebelum membungkusnya erat dalam genggaman tangan Juyeon yang berkali-kali lipat lebih besar. “Ayo.”
Sepersekian detik yang Younghoon lakukan hanya menatap Juyeon dengan wajah terkejut. Tanpa disuruh, ia bisa merasakan kedua pipinya terasa hangat dan yakin darah-darah yang mengaliri dirinya seketika naik ke menghiasi salah satu bagian tubunya itu. Menciptakan warna merah seperti tomat rebus yang merona di pipi gembul miliknya.
Juyeon mengetahui itu. Tidak menunggu waktu lama ia segera menarik tangan Younghoon, membimbing yang lebih tinggi kembali melangkah menyusuri jalan kecil yang dipenuhi oleh berbagai pohon menjulang yang rindang. Selang beberapa lama kakinya berhenti melangkah diikuti dengan Younghoon yang menabrak punggung Juyeon.
“Wow....” suara decak kagum lolos sempurna dari bibir Younghoon. Matanya memperhatikan setiap detail yang ditangkap oleh indera pengelihatannya. “Ya Tuhan....” sekali lagi, suara decak kagum Younghoon yang menyapa telinga Juyeon menghangatkan hatinya.
Juyeon tak mampu menahan lengkungan bibirnya membentuk senyum. Ia sengaja tak membuka mulut, membiarkan Younghoon memandangi indahnya taman penuh hamparan bunga dengan danau kecil yang dihiasi oleh sepasang angsa di depan mereka. Tangan besar Juyeon sudah sibuk menggelar alas untuk tempatnya duduk bersama Younghoon. Tak lupa menyusun setiap wadah berisi makanan dan minuman yang telah keduanya siapkan dari rumah Younghoon.
Juyeon menengadahkan kepalanya, menatap Younghoon yang terlihat ratusan kali lebih bersinar di bawah sang raja siang yang sepertinya merasa tersaingi oleh kehadiran sosok jelita di depannya ini. Mentari siang kali ini tak mau kalah, ikut mengerahkan seluruh kemampuan yang ia bisa untuk menyinari dunia, membuat Younghoon malah terlihat lebih memukau alih-alih tersaingi. Menyebabkan bukan hanya bunga-bunga di sekitar mereka yang bermekaran, namun yang ada di hati Juyeon pun merasakan hal yang sama.
Bagaimana mata Younghoon yang berbinar-binar, seperti ada ratusan kembang api yang meledak bersamaan seperti di langit tahun baru, menghiasi mata Younghoon. Layaknya hamparan bintang yang gemerlap di kegelapan malam. Begitulah cara Juyeon menggambarkan bagaimana eksistensi Younghoon di hidupnya. Sudut bibir tak henti-hentinya tertarik mengukir senyum. Rasanya seperti ada banyak kupu-kupu berterbangan mengitari perut Juyeon begitu Younghoon menghentakkan kakinya gemas, terlihat antusias karena indahnya pemandangan yang tersaji mengelilinginya.
“Younghoon. Sini dulu.” Juyeon berkata lembut.
Younghoon langsung menganggukkan kepalanya cepat dan menuruti ucapan Juyeon untuk duduk manis di depannya. Sedetik kemudian menerima Juyeon yang mengulurkan sepotong roti berisi coklat sebelum mulai mengunyahnya perlahan-lahan. “Kamu sering ke sini?” tanya Younghoon disela-sela kesibukannya mengunyah roti.
“Kalau lagi stress kerjaan sih iya.” Juyeon menjawab singkat karena terlalu sibuk menyiapkan makanan, “Jangan dibantu. Kamu puas-puasin aja menikmati apa yang menarik perhatian kamu saat ini. Biar ini saya yang kerjakan.” lanjutnya begitu melihat gestur tangan Younghoon terlihat ingin membantu.
Dilarang begitu membuat kedua bibir Younghoon mencebik. “Kamu kok bisa tau ini sih? aku aja gatau ada tempat cantik begini di sini.”
Juyeon berhenti sebentar lalu mengedarkan pandangannya ke seluruh taman sambil menarik nafas dalam-dalam, “Rumah saya dulu di dekat sini. Ibu dan Ayah selalu ajak anak-anaknya piknik di sini untuk mengusir perasaan buruk yang menghampiri kami atau sekadar menikmati waktu bersama keluarga sambil sesekali bertukar kegiatan sehari-hari.”
Younghoon mengangguk-anggukkan kepalanya, “Terus kenapa kamu ajak aku ke sini? mau menerapkan hal yang sama ya karena beberapa hari lalu aku bilang kalau kehadiran kamu itu membuat seluruh stress yang melanda aku sirna dengan mudah?” tanya Younghoon sambil tersenyum jahil, berusaha meledek Juyeon.
Juyeon menatap mata Younghoon lurus, seolah-olah pusat dunianya ada di kedua netra yang selalu berkelap-kelip tanpa lelah. “Itu salah satu alasan saya sih. Tapi alasan utamanya saya cuma ingin menunjukkan kalau seluruh kecantikan di dunia ini itu milik mereka yang juga mempunyai paras cantik dan selalu membuat hati siapapun gembira karena sikap serta tutur katanya yang elok.”
Di tengah taman ditemani oleh hamparan bunga dan semesta yang mengungkung mereka erat, Juyeon menyanyikan isi hatinya dengan sempurna.
0 notes
eauteous ¡ 9 months
Text
Tumblr media
So, what is love?
Disclaimer: this is fanfiction written by me and I use THE BOYZ’s Kim Younghoon and Lee Juyeon as the face claim of my character here. Everything is here is not related to THE BOYZ or IST Entertainment. Picture credit to the owner.
୨୧
Selama berpuluh-puluh tahun hidup di dunia, tidak pernah Younghoon berpikir bahwa ia akan jatuh cinta. Menurutnya cinta itu bukan hal pasti karena pada dasarnya manusia adalah makhluk dinamis yang kerap kali berubah. Melihat bagaimana teman-temannya menangis pilu dengan bahu bergetar, dalam pandangan Younghoon pelipur hati seringkali menjadi sumber patah hati.
Tapi kali ini berbeda. Matanya tak pernah berhenti menatap seseorang yang tengah berdiri beberapa meter di depannya. Sosok tinggi menjulang dengan senyum semanis tumpukan donat, yang selalu menjadi kudapan manis favorite Younghoon, yang tak pernah merasa lelah melukiskan indah senyuman di wajah menawannya.
Teman-temannya berkata kalau jatuh cinta akan sangat menyenangkan jika yang kamu cintai memiliki perasaan yang sama. Ia sempat mengernyitkan dahi begitu mendengar perkataan itu. Dalam hati sang adam bertanya-tanya apa untaian kata yang terlontar dari bibir Chanhee benar adanya? pasalnya Younghoon tau Juyeon, seseorang yang menjadi alasan dibalik terangnya sinar bulan sabit yang melengkung sempurna di bawah hidung Younghoon, tidak memiliki perasaan yang sama. Tapi kenapa rasanya seperti ada luapan bahagia yang datang berbondong-bondong mengisi ruang hampa dalam dirinya? apakah ini bukan jatuh cinta yang dimaksud teman-temannya? tapi siapa peduli tentang apa itu definisi sesungguhnya dari jatuh cinta?
“Younghoon.”
Mata Younghoon mengerjap lucu. Mengundang tawa renyah dari sosok di depannya. Younghoon menyukainya. Menyukai tawa dan suara pujaan hatinya ini.
“Kenapa?” alih-alih menjawab, Younghoon memilih melontarkan pertanyaan setelah mampu menguasai dirinya.
“Waktunya makan siang. Enggak mau makan? kalau mau, ayo. Jalan bareng ke kantin karyawan.” ajak Juyeon, tak lupa menarik kedua ujung bibirnya menyunggingkan senyuman. Lagi-lagi senyum yang menggetarkan kedua kaki Younghoon di bawah meja kerjanya.
“Oh, boleh!” dengan senang hati tentunya ia menyahut. Tidak membiarkan kekasih hati— sebut saja demikian karena menurut Younghoon Juyeon adalah kekasih hatinya diam-diam!— menunggu terlalu lama.
Keduanya melangkah menyusuri lorong kerja menuju kantin karyawan yang menjadi tempat yang paling diminati seluruh manusia yang rela menghabiskan waktu di depan komputer demi mendapatkan beberapa lembar uang di akhir bulan. Selama perjalanan baik Younghoon dan Juyeon saling berbincang, sibuk membahas hal-hal menarik yang terjadi pada mereka beberapa hari terakhir. Sesekali kekehan kecil terdengar dari keduanya.
“Sebelum kamu datang, rasanya kantor ini menyesakkan tau? semuanya sibuk dengan diri sendiri. Aku memang bukan extrovert yang gemar bertukar pikiran dan berinteraksi, tapi kalau di sekitarku semuanya sibuk dengan pekerjaan masing-masing tanpa membuka mulut rasanya bosan. Aku bahkan sampai khawatir bisa mati bosan tau!” celotehan Younghoon membuat Juyeon menggeleng-gelengkan kepalanya diiringi kekehan kecil yang keluar dari bibir tipisnya.
“Masa iya?” tanya Juyeon, seolah memancing Younghoon untuk kembali melanjutnya ucapan-ucapan lucu yang semakin menarik berkat ekspresi wajahnya.
Younghoon mengangguk cepat. Sebelum melanjutkan ucapannya, ia sengaja duduk di salah satu kursi kosong dan menunggu Juyeon ikut duduk di depannya, “Iya! membosankan banget. Aku tuh tertekan sendiri karena sisi ambis mereka. Pekerjaanku sudah berat, eh teman-temannya enggak bisa bercanda sama sekali. Kehadiran kamu itu seperti hujan deras yang membasahi tanah kering dan dedaunan yang nyaris mati saat musim panas rasanya. Seperti kehangatan yang menyentuh pipi dingin aku saat musim dingin. Apa lagi ya frasa yang bisa membuat aku menunjukkan betapa berharganya eksistensi kamu di sini?” kening Younghoon mengernyit. Otaknya berputar merangkai kata demi kata yang mampu menggambarkan perasaanya.
“Mungkin dengan bilang I love you?”
Perkataan Juyeon membuat kedua mata Younghoon membelalak terkejut. “H-hah?” tergagap, Younghoon memaki dirinya dalam hati. Kenapa sih mesti terlihat bodoh? batinnya.
Juyeon membiarkan kedua ujung bibirnya tertarik bersamaan, “Kata-kata kiasan yang kamu pakai itu cocok untuk mendeskripsikan perasaan romansa antar manusia. Jadi saya bantu tambah dengan I love you karena saya tau, kata itu yang mau kamu ungkapkan sebetulnya ‘kan?”
Demi dewa. Demi Tuhan semesta alam. Younghoon hanya bisa melongo menatap Juyeon dengan raut wajah seakan-akan disiram air dingin dua ember besar sekaligus!
0 notes
eauteous ¡ 1 year
Text
Tumblr media
In the same place.
Disclaimer: this is fanfiction written by me and I use THE BOYZ’s Kim Younghoon, Lee Sangyeon, Lee Juyeon and Lee Hyunjae as the face claim of my character here. Everything is here is not related to THE BOYZ or IST Entertainment. Picture credit to the owner.
Tags: mentions of trauma, mentions of break up, and a lot of narration .
୨୧
“Anjing!”
Suara umpatan Hyunjae membuat Younghoon seketika mendongak menatap Hyunjae dengan kening berkerut bingung dan ekspresi wajah yang cukup jengkel. Pasalnya Younghoon sedang membaca ulang materi untuk presentasi yang akan ia lakukan esok hari, tapi suara besar nan menganggu milik Hyunjae merusak konsentrasinya begitu saja!
“Apaan si?” tanya Younghoon gusar. Kepalanya kembali tertunduk berusaha kembali membaca susunan kalimat yang memenuhi setiap slide power point di laptopnya. “Jangan teriak gitu kenapa, Jae. Berisik tau. Kita lagi di cafe bukan di kosan lo.” lanjut Younghoon.
Alih-alih menjawab Hyunjae malah mengalihkan pandangannya ke Younghoon yang tengah sibuk dengan aktivitasnya. “Mimpi buruk lo dateng Younghoon!” balas Hyunjae.
Younghoon melirik Hyunjae dari balik layar laptopnya. Keningnya kembali berkerut menandakan si yang lebih tua beberapa hari bingung. “Lo kalau ngomong tolong yang jelas. Stop dosen gue gak jelas deh.”
“Itu mantan lo. Sangyeon. Lee Sangyeon.” ucap Hyunjae hati-hati.
Younghoon menghentikan aktivitasnya. Tubuhnya menegang seketika usai Hyunjae menyelesaikan ucapannya. Mata Younghoon membulat menatap Hyunjae. “Dimana?” tanya sang adam pelan. Kedua tangannya mulai terasa dingin. Rasa dingin tidak nyaman yang Younghoon benci.
“Tepat berdiri di belakang lo.”
Dan Younghoon hanya bisa mengerjapkan mata berulang kali.
୨୧
“Hai.”
Sapaan basa-basi Sangyeon membuat Younghoon tanpa sadar mendengus. Oh, Sangyeon masih sama. Masih sama semenjak terakhir kali mereka berpisah. Masih sama semenjak terakhir kali meminta dirinya dan Younghoon menyelesaikan hubungan mereka tepat sebelum beberapa jam hari jadi kedua tahun hubungan mereka berdua. Oh, it was disaster for Younghoon. A nightmare that Younghoon always want to escape.
“Kenapa?” Younghoon mendongak, menatap Sangyeon lurus tanpa berkedip sekalipun. Kedua tangannya mengepal. Berusaha keras memiliki setidaknya sedikit tenaga dan keberanian untuk menatap mantan kekasihnya yang menjadi alasan tahun-tahun Younghoon dibelakang penuh dengan mimpi buruk. Mimpi buruk yang mampu membuat Younghoon tersiksa bertahun-tahun. “Kenapa malah sapa aku? kenapa kakak enggak pergi aja dan bersikap kalau kita strangers?” tanya Younghoon pelan. Suaranya tidak bergetar menahan tangis. Semua air mata Younghoon untuk lelaki di depannya sudah habis. Sama seperti rasa cinta yang dulu bahkan lebih besar daripada apapun.
Sangyeon menarik senyum tipis. “Cuma mau menyampaikan sesuatu.” jawab yang lebih tua singkat.
Younghoon kembali mendengus. Kepalanya terasa penuh dengan suara-suara asing yang kembali datang membuat Younghoon merasa tidak nyaman. Merasa aneh. Merasa asing. Merasa semua mimpi buruknya belum usai.
“Happy birthday.” Sangyeon kembali membuka mulutnya, “Sekarang tanggal 8 Agustus. Hari ulang tahun kamu, ‘kan? happy birthday, Younghoon.”
Younghoon menahan nafasnya. Matanya masih menatap lurus ke arah Sangyeon. Menatap bingung laki-laki yang pernah ia puja lebih dari apapun. Laki-laki yang mampu membuat dunianya penuh dengan bunga matahari cantik sebelum merubah dunianya menjadi dingin, asing dan tanpa harapan layaknya kutub utara. Kepala Younghoon yang sedari awal terasa penuh menjadi semakin bising dan memuakkan. Younghoon tidak suka perasaan ini.
“Terima kasih.” dari sekian banyak kata yang bisa Younghoon ucapkan hanya dua kata itu yang mampu keluar dari bibirnya. “It has been a while, tapi kakak masih ingat ulang tahun aku. Aku...” ada jeda agak lama sebelum Younghoon menarik nafas dalam-dalam dan menguasai dirinya “Aku berterima kasih.”
Sangyeon mengangguk kecil. Melihat bagaimana Younghoon terlihat sulit menguasai dirinya membuat Sangyeon sadar, more than he realizes, he has destroyed Younghoon. Perpisahan dirinya dengan Younghoon sudah terjadi bertahun-tahun lalu, tapi setiap detailnya masih tersimpan di dalam ingatan Younghoon. Sangyeon tau itu.
Saat itu keduanya berpisah karena keinginan Sangyeon. Semua hal yang Sangyeon rasakan yang menjadi awal hubungan mereka dan juga akhir hubungan mereka. Younghoon tidak menahan. Sama sekali tidak menahan. Ia langsung menjauh tanpa diperintah. Ia berusaha lari sejauh-jauhnya dari Sangyeon, bersembunyi di tempat yang mungkin tidak Sangyeon tau. Tapi akhirnya mereka kembali berbicara walaupun hanya hal kecil yang berakhir membuat Younghoon menangis tanpa suara dengan seluruh tubuh bergetar ketakutan.
Younghoon sempat ada di masa di mana setiap melihat Sangyeon rasanya seluruh dunianya runtuh. Sangyeon tau itu. Sangyeon tau bagaimana sulitnya Younghoon menguasai dirinya, menahan rasa takutnya dan apapun yang telah dilewati mantan kekasihnya tersebut. Sangyeon memahami semuanya dengan jelas. Lebih jelas dari siapapun kalau Younghoon tidak ingin berbicara dengannya lagi.
Setiap mereka berbicara, Younghoon akan kelihatan berantakan. Matanya akan melihat ke segala arah menghindari mata Sangyeon dengan tangan dingin yang bergetar menahan takut. Baik Younghoon dan Sangyeon tau perpisahan keduanya bukan salah Sangyeon sendiri. Younghoon mengetahui kesalahannya dan mengakui itu. Tapi rasa bersalah, rasa sakit hati dan kecewa yang ia rasakan menjadi sesuatu yang disebut trauma, di mana Younghoon seringkali kehilangan kendali atas dirinya sendiri.
“Aku berterima kasih kakak selalu ingat ucapanku. Aku berterima kasih untuk itu. Aku—”
We pretend not to know each other
Looking elsewhere
We walk different paths
In this space that we don’t understand
Under the same sky, at the same time, at the same place
We’re probably seeing other people
We were too young and didn’t understand love
I wish you happiness, now goodbye goodbye.
Younghoon tersentak menyadari lagu yang mengisi seisi cafe adalah lagu yang pernah ia berikan pada Sangyeon. Lagu yang pernah membuat Younghoon menangis berhari-hari untuk menerima semua yang terjadi pada dirinya selama bertahun-tahun ini.
Segala perasaan yang ada di Younghoon bukan bentuk dari rasa sayang untuk Sangyeon yang masih tertinggal, tapi bentuk dari segala ketakutan dan trauma yang masih jelas mengurung dan menguasai dirinya. Younghoon lupa. Younghoon lupa seluruh kenangan bahagia yang pernah ia dan Sangyeon ukir. Younghoon tanpa sadar melupakan semua kenangan indah dan bahagia mereka karena terlalu jatuh dan terkurung kesedihan serta patah hati bertahun-tahun. Younghoon tanpa sadar menekan dirinya sendiri.
Younghoon lupa. Younghoon lupa selebar apa senyum yang pernah ia berikan ke Sangyeon. Younghoon lupa se-bahagia apa tawa yang pernah ia keluarkan untuk Sangyeon. Younghoon lupa sebagian besar hal yang pernah mereka lewatkan bersama. Younghoon hanya ingat seberapa besar sakit hati dan kecewa yang ia rasakan. Younghoon hanya ingat dunianya berubah abu-abu tanpa ada warna apapun. Yang Younghoon ingat ia runtuh.
“Aku cuma mau apresiasi kamu aja.” suara Sangyeon menyadarkan Younghoon dari pemikirannya. “Aku cuma mau apresiasi diri kamu yang selalu kuat menjalani hidup dan bertahan selama ini. Semoga kedepannya kamu jadi pribadi yang lebih baik dan dilimpahkan kebahagiaan. Aamiin.”
Oh..
Oh..
Younghoon menghela nafasnya. Kepalanya terasa sangat berat. “Kakak, terima kasih. Terima kasih atas doa dan ucapan yang kakak kasih ke aku. Aku sangat berterima kasih. Tapi kak, semenjak tahun lalu aku mau kita selesai. Tanpa interaksi lagi. No need for a new chapter has been added to our story, not even as friends. Since three years ago, we have been coming to an end.” Younghoon menatap Sangyeon. “Kalau kamu ucapin aku begini rasanya aku harus membalas. Kamu tau aku se-bodoh apa, ‘kan? aku tau perasaan kita sama-sama sudah berbeda dan aku bukan lagi sosok yang kakak sayang. Aku merasa berhutang kalau gak kasih feedback. Jadi pada akhirnya kita akan interaksi lagi walaupun aku rasanya pusing dan sakit kepala. Don’t get me wrong ya. Aku berterima kasih kakak satu-satunya yang selalu ingat ulang tahunku dan gak pernah absen mengucapkan itu ke aku. Aku sangat berterima kasih. Kalau aku ada usia dan keberanian nanti kakak ulang tahun aku ucapin ya.”
Younghoon susah payah menarik ujung bibirnya membentuk senyuman. Senyuman tipis. Selalu. Selalu banyak hal yang ingin keluar dari bibirnya begitu bertemu Sangyeon, tapi Younghoon sama sekali tidak membiarkan dirinya melakukan itu. “Kak. Pacar aku sudah jemput. Aku permisi ya.” Younghoon kembali memasang senyum tipis sebelum bangkit meninggalkan Sangyeon. Melangkah menjauhi Sangyeon. Melangkah untuk mendekati Juyeon— kekasihnya yang sedang berdiri di sebelah Hyunjae, menunggu Younghoon di depan cafe dan memandang Younghoon dengan kening berkerut bingung.
Senyum Younghoon mengembang begitu melihat Juyeon. Kedua tangannya sengaja ia rentangkan, meminta Juyeon memeluknya yang langsung dikabulkan sang kekasih.
Younghoon menarik nafasnya dalam, menghirup wangi Juyeon. Membiarkan wangi sang kekasih memenuhi indera penciumannya dan Younghoon dengan senang hati melingkarkan tangan dipinggang Juyeon. Memeluk kekasihnya erat. Pertemuannya dengan Sangyeon cukup menguras energinya dan Younghoon tidak berminat menangis seperti dulu. Yang ia mau hanya hidup bahagia.
୨୧
0 notes
eauteous ¡ 1 year
Text
Peri cintaku.
Tumblr media
Disclaimer: this is fanfiction written by me and I use THE BOYZ’s Ji Changmin and KEP1ER’s Shen Xiaoting as the face claim of my character here. Everything is here is not related to THE BOYZ, KEP1ER, IST Entertainment or Wake One Entertaining. Picture credit to the owner.
Tags: love distance religion, sensitive topic, and broke up.
୨୧
Hari Minggu adalah satu-satunya hari yang selalu ditunggu dan disukai oleh Alby. Bekerja sebagai budak korporat membuat Alby mencintai hari Minggu lebih dari mencintai hari-hari lainnya yang ada di dalam seminggu. Maka setiap hari Mingu Alby akan menyempatkan dirinya untuk sekadar keluar rumah, menonton Netflix di kamar atau melakukan apapun yang ia anggap sebagai sarana 𝘳𝘦𝘤𝘩𝘢𝘳𝘨𝘦 𝘦𝘯𝘦𝘳𝘨𝘺 setelah berhari-hari bekerja di depan layar komputer yang mengharuskan Alby memakai kacamata miliknya berjam-jam.
Dikesempatan Minggu ini Alby memilih menikmati waktu liburnya dengan bersantai-santai di dalam kamarnya. Sebelum melaksanakan rencananya Alby berkeliling apartemen miliknya untuk memastikan segala hal sudah aman dan sesuai dengan seharusnya. Usai memeriksa semuanya dengan teliti Alby melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar dan menutup pintunya rapat lalu berbaring di atas ranjang empuk miliknya.
Tidak butuh waktu lama bagi Alby untuk menyusun segala hal yang sudah ia siapkan untuk menemaninya menonton serial apapun di 𝘕𝘦𝘵𝘧𝘭𝘪𝘹 yang menarik perhatian lelaki itu di pagi ini. Belum sempat Alby memulai aktivitas yang selalu ia tunggu-tunggu, suara ponsel pintarnya menarik perhatian Alby. Keningnya berkerut heran melihat Keanu— teman semasa kuliahnya— tiba-tiba mengirim sebuah video. Kerutan di kening Alby semakin menjadi begitu melihat siapa orang yang ada di dalam video yang Keanu kirimkan padanya.
Namun semua apa mungkin
Iman kita yang berbeda
Tuhan memang satu
Kita yang tak sama
Haruskah aku lantas pergi
Meski cinta takkan bisa pergi
Itu Belinda. Perempuan yang pernah singgah di hatinya. Perempuan yang mampu membuat dunia Alby seperti di tengah taman bunga yang luas dan berwarna, yang mampu juga membuat dunia Alby gelap seketika karena benteng besar di hubungan mereka. Benteng dengan nama keyakinan.
“Kita pacaran udah berapa lama, Al?”
Pertanyaan milik Belinda membuat Alby mengentikan aktivitasnya memperhatikan anak-anak kecil yang tengah sibuk berlarian di taman tempat ia dan Belinda menghabiskan waktu sore ini. Kepala lekaki tersebut menoleh ke arah Belinda lalu tersenyum kecil. “Dari kita SMA kelas satu sampai kita kerja. Dari aku lima belas tahun sampai aku dua puluh empat tahun. Berarti sembilan tahun kita pacaran.” Alby menjawab dengan lugas, penuh percaya diri dengan senyum yang tidak luntur sejak awal. “Kenapa, 𝘱𝘳𝘪𝘯𝘤𝘦𝘴𝘴?” kini Alby melontarkan pertanyaan.
Belinda tidak langsung menjawab. Si cantik yang selalu Alby sebut dengan ‘𝘗𝘳𝘪𝘯𝘤𝘦𝘴𝘴’ memilih melangkah mendekat sebelum memeluk lengan Alby erat dan menjatuhkan kepalanya di bahu Alby. Dua menit berlalu dan Belinda masih setia dalam diam memeluk lengan Alby dengan hidung yang sesekali sengaja ia gesekkan di kemeja yang Alby pakai sore ini.
“Kamu kenapa, Bel?” Alby menggerakan tangannya merangkul bahu Belinda. Tangannya sengaja memberikan elusan-elusan lembut penuh kasih sayang di bahu sang kekasih.
“Kalau gitu kita pacaran udah lama ya.” Belinda mulai membuka suara. “Mama aku sempat tanya sama aku beberapa waktu lalu soal hubungan kita. Katanya kita pacaran lama banget, tapi benar-benar gak ada progres apapun padahal kita berdua sama-sama punya tujuan yang akan tercapai dalam waktu dekat-dekat ini. Finansial kita juga lumayan baik walaupun kita baru mulai kerja beberapa waktu ini. Singkatnya Mama bilang hubungan kita jalan di tempat. Enggak ada kemajuan apapun.” Belinda kembali melanjutkan ucapannya setelah jeda lama.
Belinda mendongakkan kepalanya, menatap Alby dengan sorot mata yang Alby sendiri tidak tau apa artinya. Sorot mata asing yang baru pertama kali Alby lihat. Sorot mata yang mampu membuat Alby merasakan banyak perasaan; tidak nyaman, sedih dan bingung di saat bersamaan.
“Aku sempat berpikir deh Al, hubungan kita selama ini akhirnya kemana ya nanti? kita menghabisi waktu sama-sama, membuat memori indah sama-sama, melakukan semua hal yang kita klaim tujuan hidup kita sama-sama. Tapi akhirnya kita gimana? akhirnya siapa yang akan bersanding sama kamu atau aku?”
Alby menghela nafasnya berat. Seketika isi kepalanya terasa kosong. “Mama mau kita—”
“Nikah.” sela Belinda sebelum Alby sempat menyelesaikan ucapannya. Sengaja gadis itu tegakkan tubuhnya. “Mama mau kita nikah. Tapi kita gak akan bisa nikah karena ada tembok tinggi yang masing-masing dari kita gak bisa runtuhin.” lanjut Belinda.
Alby mengerti. Alby mengerti kemana arah pembicaraan yang akan Belinda bawa saat ini. Alby mengerti dengan jelas apa yang Belinda inginkan, apa yang gadis itu khawatirkan dan apa yang gadis itu sebutkan dalam doa setiap harinya. Alby paham. Alby memahami Belinda lebih dari Belinda memahami dirinya sendiri.
Dan satu hal yang keduanya paham, hubungan dengan keyakinan yang berbeda itu menyesakkan dada dan menyulitkan setiap gerak atau langkah yang akan mereka lakukan. Keduanya punya keyakinan yang berbeda, tapi masih dengan arogan dan keras kepalanya memilih melanjutkan hubungan mereka.
“Aku paham Bel.” Alby menatap lurus kearah Belinda. Tangannya bergerak membelai rambut halus milik Belinda lembut, merapikan poni tipis yang menutupi sedikit kening milik gadisnya itu. “Bunda juga tanya hal yang sama. Bunda tanya hubungan kita akan berakhir gimana karena keyakinan kita yang berbeda satu sama lain. Bunda bilang hubungan kita terlalu rumit karena perbedaan ini.”
Helaan nafas berat terdengar dari Belinda. Ia meraih tangan Alby, menggenggamnya erat seolah tidak akan pernah melepaskan tangan Alby sampai kapanpun. “Mama dan Papa gak kasih izin aku melepas keyakinan aku demi kamu. Aku juga yakin Bunda dan Ayah kamu gak kasih izin serupa, iyakan?”
“Iya.” satu jawaban keluar dari bibir Alby mampu membuat Belinda terisak tanpa suara. Genggaman tangan Belinda terasa lebih erat dari sebelumnya.
“Aku sempat berpikir melepas keyakinan aku buat kamu. Aku sempat berpikir untuk melepas pencipta aku untuk ciptaan-Nya. Tapi setelahnya aku sadar gimana kalau kamu bukan jodoh aku? gimana kalau hubungan kita gak sesuai sama hal yang kita mau? gimana kalau aku melepas Tuhan untuk hal yang gak pasti di masa depan apa? kamu tau Alby, aku gak suka berharap sama hal kosong, hal yang gak akan pernah aku tau akhirnya gimana.” Belinda mengigit bibirnya susah payah menahan tangis yang membuat bahunya bergetar hebat. “Aku juga berpikir, gimana bisa aku meninggalkan pencipta aku untuk untuk sesuatu hal yang aku gak bisa prediksi gimana nantinya di masa depan? aku juga takut kamu akan berpikiran ‘Penciptanya aja ditinggal, apalagi aku?’ kalau aku mengambil langkah itu.”
“𝘗𝘳𝘪𝘯𝘤𝘦𝘴𝘴, hey.” Alby memeluk gadisnya erat. Lebih erat dari pelukan biasa yang Alby berikan. Alby menyadari itu, begitu juga sang gadis. “Aku pernah sebut kamu dalam doa aku. Aku berharap kamu mau mengalah, kamu mau melepas keyakinan kamu demi aku. Aku berpikiran sama. Aku merasa malu. Aku merasa malu dan gak tau diri berdoa untuk mengambil kamu dari Tuhan kamu di saat aku sadar aku belum punya apapun dan gak akan bisa kasih apa yang Tuhan kamu kasih ke kamu. Aku sayang kamu Bel. Aku sayang kamu dan kamu jelas tau itu. Tapi maaf, aku lebih menyayangi Tuhanku dan aku yakin seratus persen kamu pun lebih sayang Tuhan kamu daripada aku.”
Tanpa balasan, tanpa suara tangis yang menyesakkan dada, keduanya memilih diam sibuk dengan pemikiran masing-masing dengan air mata yang membasahi pipi mereka. Diam memeluk satu sama lain seerat yang mereka bisa karena baik Belinda dan Alby sadar kalau titik ini adalah akhir mereka.
Alby menggelengkan kepalanya lalu menepuk pelan pipi kanannya agak keras. “Apaan sih, anjing.” umpat Alby untuk dirinya sendiri. Ibu jarinya bergerak menahan lama 𝘣𝘶𝘣𝘣𝘭𝘦 𝘤𝘩𝘢𝘵 yang dikirimkan Keanu lalu menekan 𝘪𝘤𝘰𝘯 tempat sampah. Menghapus video tentang Belinda yang dikirimkan Keanu padanya.
Alby menggenggam ponselnya erat-erat sambil menarik nafas dalam-dalam, berusaha mengisi paru-parunya dengan pasokan udara sebanyak yang ia mampu. Tiga tahun berlalu. Tiga tahun sudah hubungannya dan Belinda selesai, tapi semuanya masih terasa sama. Perasaanya masih sama dan Alby tidak berniat untuk membuat semuanya tetap sama. Bagi Alby dan Belinda hubungan mereka sudah selesai. Keduanya memilih memeluk erat keyakinan masing-masing sebagai akhir dan 𝘧𝘪𝘯𝘢𝘭 bagi hubungan mereka. Menurut Alby hubungannya dan Belinda sudah mencapai titik 𝘵𝘩𝘦 𝘦𝘯𝘥, tanpa 𝘦𝘱𝘪𝘭𝘰𝘨𝘶𝘦.
୨୧
0 notes
eauteous ¡ 1 year
Text
Tumblr media
Two of us.
Disclaimer: this is fanfiction written by me and I use THE BOYZ’s Lee Sangyeon and Eric Sohn name as my character here. Everything is here is not related to THE BOYZ or IST Entertainment. Picture credit to the owner.
Tags: kissing and slightly NSFW.
୨୧
“Eric.”
Sebuah suara lembut tiba-tiba menggema di telinga Eric, membuat laki-laki yang dipanggil namanya menoleh lalu memasang senyum manis. “Kak.” ia menyahut sambil merentangkan kedua tangannya menunjukkan gesture ingin mendapatkan satu pelukan hangat.
Laki-laki yang lebih tua di depan Eric ikut tersenyum sebelum menarik tangan Eric dan merengkuhnya kedalam pelukan erat. Kedua tangannya sengaja ia lingkarkan dipinggang Eric sambil sesekali memberi elusan lembut dipinggang yang lebih muda. “Kangen gak?”
Eric mengangguk kecil. Ia sengaja membenamkan wajahnya diceruk leher milik Sangyeon — lelaki yang sedang memeluknya ini — dengan tangan sengaja ia lingkarkan di leher yang lebih tua. “Kangeeeen~”
Sangyeon terkekeh mendengar suara manja dari Eric yang diikuti dengan kecupan-kecupan kecil yang ditinggalkan Eric diceruk lehernya. Sangyeon membiarkan apa yang Eric lakukan. Membiarkan anjing kecilnya yang lucu nan penurut melakukan apapun yang ia inginkan malam ini. Sambil menikmati kecupan dari bibir Eric dikulit lehernya, tangan Sangyeon bergerak masuk kedalam kaos milik Eric lalu memberi usapan sensual sambil sesekali memainkan kuku jarinya dipunggung Eric.
“Kakaaaak~” Eric menarik wajahnya dari leher Sangyeon. Kepalanya mendongak menatap Sangyeon dengan bibir mengerucut. “Aku kangen!” lanjut Eric sambil menghentakkan kedua kakinya bergantian. Merajuk.
Lagi-lagi Sangyeon terkekeh. Dengan gerakan cepat ia menarik tangan Eric membawanya ke sofa tempat biasa mereka menghabiskan waktu untuk menonton siaran televisi bersama. Sangyeon menjatuhkan bokongnya di sofa dan menarik tangan Eric untuk duduk diatas pangkuannya. Kedua tangan Sangyeon sengaja menarik kaki Eric membuat kedua kaki milik Eric melingkar dipinggang Sangyeon yang direspon senyum lebar dari sang pemilik.
“Kakak juga kangen lho.” tangan kanan Sangyeon menangkup pipi kanan Eric, memberikan usapan lembut pada pipi Eric menggunakan ibu jarinya. “Mau cium?” tanya Sangyeon yang langsung direspon anggukan antusias dari Eric.
Eric memajukan tubuhnya, berusaha mengikis jarak antara dirinya dan Sangyeon dengan kaki yang melingkar semakin erat dipinggang kekasihnya. Tanpa menunggu waktu lama, Eric mulai mengecup bibir Sangyeon beberapa kali sebelum menghisap bibir atas milik Sangyeon.
Sangyeon memeluk pinggang Eric erat. Membiarkan kekasih kecilnya mendominasi ciuman untuk saat ini. Sangyeon menahan senyumnya saat merasakan lidah Eric sengaja menjilat bibir bawahnya, meminta Sangyeon yang bergantian mendominasi ciuman mereka.
Dengan gerakan yang teratur Sangyeon mulai menghisap bibir atas dan bawah milik Eric secara bergantian sambil sesekali memainkan lidahnya menjilat bibir bawah milik Eric, membuat kekasih kecilnya mengalungkan tangannya dileher Sangyeon dan memeluknya lebih erat.
Sekian detik berlalu dengan posisi Eric masih diatas pangkuan Sangyeon dengan bibir saling bertaut, keduanya sibuk menghisap dan melumat bibir masing-masing. Hisapan-hisapan Sangyeon pada bibir Eric mulai berubah menjadi jilatan dengan lidah Sangyeon yang sengaja membelai bibir bawah Eric, memainkan ujung lidahnya diantara bibir atas dan bawah Eric membuat sang empunya memejamkan mata dan meremat rambut belakang Sangyeon tanda menikmati setiap hal yang dilakukan kekasihnya.
Jilatan yang Sangyeon berikan lama kelamaan berubah menjadi gigitan lembut dibibir bawah Eric, meminta sang kekasih membuka mulutnya yang tentu saja dituruti oleh yang lebih muda. Ketika Eric mulai membuka mulutnya perlahan-lahan Sangyeon segera melesakkan lidahnya masuk ke dalam mulut Eric. Memberikan sentuhan-sentuhan ringan di lidah Eric dengan lidahnya sendiri. Tidak tinggal diam tangan Sangyeon mulai turun kebagian bokong Eric. Memberikan remasan-remasan kecil dibarengi dengan elusan lembut yang tentunya membuat Eric semakin memperdalam ciuman mereka.
Lidah Sangyeon semakin intens membelai lidah Eric dan puncaknya ia sengaja menyentuh bagian langit-langit mulut Eric. Memainkan ujung lidahnya di sana. Menjilat langit-langit mulut Eric lalu memutar lidahnya dengan gerakan menggoda yang membuat Eric mulai mengeluarkan desahan dan rintihan yang terdengar menyenangkan di telinga Sangyeon.
Sangyeon ingat Eric pernah bilang ia menikmati bagaimana lidah lembut nan hangat Sangyeon bergerak berputar di langit-langit mulutnya memberikan sensasi geli yang membuat Eric selalu merasa ketagihan dan Sangyeon akan terus melakukannya berulang kali dengan tangan besarnya yang juga masih setia memberikan remasan serta elusan dibokong kekasihnya.
Sangyeon menahan senyumnya di selain kegiatan mereka. Malam ini akan terasa menyenangkan karena ia dan Eric akan menemukan titik surga masing-masing yang membuat keduanya semakin jatuh akan pesona satu sama lain.
୨୧
1 note ¡ View note
eauteous ¡ 1 year
Text
Tumblr media
Kotak bekal.
Disclaimer: this is fanfiction written by me and I use THE BOYZ’s Lee Sangyeon, Ji Changmin and Choi Chanhee name as my character here. Everything is here is not related to THE BOYZ or IST Entertainment. Picture credit to the owner.
Tags: fluff and fall in love with co-workers.
୨୧
“Ada ga sih laki-laki yang nyaris sempurna?”
Jika pertanyaan itu kamu lontarkan pada ku, aku akan dengan penuh semangat menjawab ada di ikuti dengan senyum manis yang terlukis diwajahku. Oh! omong-omong mari kita memulai perkenalan. Namaku Ji Changmin, seorang laki-laki berusia dua puluh empat tahun yang berkerja sebagai karyawan di salah satu toko yang sangat besar!
Oke mari kembali ke topik tentang ada atau tidak-nya pria nyaris sempurna yang aku pasti langsung jawab ada karena memang ada kok! salah satu atasan dan seniorku di tempat kerja. Ia sangat cocok disebut laki-laki nyaris sempurna yang mampu membuat siapapun pasti jatuh terpesona kedalam pesona nya yang memabukkan. Oke! oke! aku tau kok aku terkesan hiperbola begini. Tapi jangan salahkan aku toh dia memang setampan ITU. Catat! setampan ITU!
Namanya Lee Sangyeon. Usia kami terpaut dua tahun. Tidak terlalu jauh dan sangat cocok menjadi pasangan. Ia gambaran nyata dari sosok laki-laki idaman yang menjadi second lead di drama Korea yang selalu Chanhee — sahabatku yang manis tapi cerewet! — tonton.
Wajahnya sangat tampan! benar-benar tampan yang bisa membuat siapapun melihatnya pasti tidak berkedip selama beberapa detik. Aku tidak berlebihan untuk ini, memang benar kok ia tampan. Tampan sekali. Wajahnya seperti dewa Yunani yang kata Chanhee selalu terlihat tampan dan keren di Olympus. Akusih tidak terlalu tau, tapi Chanhee bilang seperti itu artinya Sangyeon memang terlihat seperti itu.
Salah satu teman di sekolahku pernah bilang kalau pintar dan tampan tidak bisa kita temui di manusia berjenis kelamin laki-laki. Tapi kehadiran Sangyeon membuat aku langsung meragukan apa yang temanku pernah ucapkan itu. Iyasih, beberapa orang tampan di sekitar aku memang agak-agak bodoh, tapi Sangyeon tidak. Ia tampan dan pintar. Bagian paling pentingnya, Sangyeon memiliki posisi yang penting di tempatku bekerja yang artinya gajinya jauh lebih besar dariku. Dengan gaji besar serta wajah setampan ITU, Sangyeon juga memiliki sifat yang sangat-sangat baik; sopan, ramah dan senang membantu. Kombinasi yang sangat baik untuk menjadi pasangan kelak, ‘kan?
Siang ini Sangyeon sedang membuka bekal yang selalu ia bawa di meja panty saat aku sedang membuka pop-mie gledek yang selalu jadi alternative makan siangku kalau isi dompetku sedang meraung. Ia terlihat luar biasa tampan dan mempesona seperti biasa. Sadar akan kehadiranku, Mas Sangyeon — seharusnya daritadi aku memanggilnya dengan embel-embel Mas sih — menarik kedua ujung bibirnya, membentuk senyuman yang selalu sukses membuat jantungku berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya. Okay aku tau aku berlebihan, tapi ingat! Mas Sangyeon memang setampan ITU.
“Makan mie, Changmin?” ia bertanya dengan senyum manisnya.
Aku mengangguk sebagai jawaban, “Iya hehehehe.” jawabku diiringi kekehan kecil, berusaha terlihat lucu dan menggemaskan didepan lelaki idamanku ini.
“Kok pop-mie aja? emangnya kenyang?” ia kembali melontarkan pertanyaan. Aduh perhatian sekali sih calon pasanganku ini, aku membatin dengan tidak tau malunya.
“Aku lupa bawa bekal dan dompet, Mas. Jadi makan apa adanya yang ada dimeja kerja aku deh.” aku berkilah. Siapa juga yang mau jujur kalau uang di dompetku hanya tersisa beberapa lembar karena sudah aku habiskan untuk membeli beberapa kebutuhan anjingku dan barang-barang lucu yang aku temui di e-commerce? gengsi lah!
Mas Sangyeon tidak langsung menjawab. Ia malah membuka beberapa kotak bekalnya dan melambaikan tangannya kearahku. “Kesini deh Changmin, duduk disebelah saya sambil bawa piring. Tadi Ibu saya masak telur dadar balado dan tempe orek nih. Ibu saya bawain saya sampai tiga telur dadar baladonya dan nasinya sekotak tupperware penuh. Sini makan bareng saya.”
Aku mengerjap beberapa kali. Ini beneran? laki-laki idaman hatiku ngajak makan bareng berdua? aku ulangi, makan BERDUA? aku dan Mas Sangyeon? wah, sebuah sejarah dalam hidupku. Dengan sedikit malu-malu , aku melangkah mendekat ke Mas Sangyeon dengan piring, sendok dan juga se cup pop-mie ditanganku.
“Ini gapapa, Mas? takutnya nanti Mas malah lapar lagi makanannya dimakan sama saya berdua. Saya makannya banyak loh Mas.” kataku usai sampai dan duduk disebelahnya.
Mas Sangyeon terkekeh membuatku merasa ada kupu-kupu berterbangan didalam perutku. TUHAN. Ini hanya suara kekehannya tapi aku bisa salting setengah mati! ”Gapapa. Saya tuh sebenarnya makan ga pernah banyak Changmin, tapi Ibu selalu bawain saya makan banyak. Malah kadang kalau saya ga sanggup habiskan tuh mau ga mau saya buang.”
Aku tidak terlalu suka dengan orang-orang yang membuang makanan. Satu sifat yang tidak aku sukai muncul dari Mas Sangyeon. Memang benar ‘kan kataku? ia nyaris sempurna alias tidak ada manusia yang sempurna.
Mas Sangyeon mulai membagi sebagian nasi dan lauknya lalu meletakannya ke piring milikku. Melihat wajahnya sedekat ini membuat hatiku berbunga-bunga layaknya anak remaja sedang jatuh cinta. Ia tampan dan wangi. Aku suka. Aku suka wanginya. Dalam hati aku bertanya-tanya apa ya hal yang aku lakukan kemarin sampai aku bisa dapat hadiah luar biasa dari Tuhan untuk makan berdua dengan Mas Sangyeon? pasalnya aku dan Mas Sangyeon hanya rekan kerja biasa. Kami tidak pernah bisa berbicara lama selain bertukar sapa atau beberapa kali terlibat percakapan singkat. Kami tidak sedekat itu. Aku hanya mengagumi dan menyukai Mas Sangyeon dari jauh karena tidak memiliki keberanian melangkah atau berbuat lebih. Lagipula untuk apa? aku sangat menyukai hal yang aku lakukan ini kok. Mengagumi dan memandanginya dengan tatapan penuh cinta dari jauh.
“Enak ga masakan Ibu saya?” tanya Mas Sangyeon setelah aku menyuapkan satu sendok kedalam mulutku. Ia menatapku dengan senyum sambil menunggu aku menelan makanan dengan susah payah. Susah payah karena aku harus makan dan menikmati makananku dengan baik karena aku takut terlihat aneh didepannya.
“Enak!” aku menjawab sambil mengacungkan kedua ibu jari-ku kearahnya. Ia tersenyum lebar lalu mengangguk sebagai respon. “Enak banget Mas. Seriusan. Kaya masakan Bunda saya. Ih kok kangen Bunda ya? tapi jarang ketemu karena saya ngekos jadinya saya jarang makan masakan Bunda lagi deh. Huhu sedih.” aku mencerocos sambil terus menyuapkan makanan kedalam mulutku.
“Kalau gitu mulai besok saya bagi bekal saya ke kamu deh, ya? biar seengaknya bisa mengurangi rasa kangen kamu ke Bunda kamu.”
Aku menoleh cepat ke arah Mas Sangyeon dengan sendok yang masih berada dimulutku. Mataku sedikit membelalak menatapnya terkejut. GIMANA? Mas Sangyeon mau bagi bekalnya ke aku? artinya aku dan Mas Sangyeon bakalan sering makan bareng dan punya banyak kesempatan ngobrol bareng?! AKU MIMPI GA SIH?
“Hah? ngapain? kan Ibu-nya Mas masak buat Mas. Ngapain saya ikutan makan? ga enak lah Mas.” aku terkekeh canggung sambil berusaha menahan ledakan dalam hatiku yang merasa sungkan dan terkejut didalam waktu bersamaan.
Mas Sangyeon ikut terkekeh. “Gapapa. Solusi kok untuk saya supaya ga selalu buang makanan ‘kan? lagian Ibu pasti senang kalau dengar pujian dari kamu loh. Ga usah sungkan atau gimana-gimana Changmin. Saya senang juga lihat kamu makan banyak. Lucu loh pipi kamu kelihatan gembul begitu saya jadi mau cubit.”
Demi Tuhan! demi Tuhan semesta alam! demi Mas Sangyeon si tampan dan hatiku yang sekarang terasa ingin meledak karena berbunga-bunga. Rasanya aku ingin pingsan sekarang juga! detik ini juga!
୨୧
0 notes
eauteous ¡ 1 year
Text
Tumblr media
Do superheroes exist?
Disclaimer: this is fanfiction written by me and I use THE BOYZ’s Lee Hyunjae, Kim Younghoon and Ji Changmin name as my character here. Everything is here is not related to THE BOYZ or IST Entertainment. Picture credit to the owner.
tags: sexual harassment and mentions of rape culture.
୨୧
Suasana ramai dan padat di commuterline Jakarta tidak pernah mengejutkan untuk Eric. Besar di salah satu kota besar membuat Eric sedikit banyak paham kalau keadaan seperti ini adalah hal yang sangat amat wajar, apalagi ketika kereta yang biasa ia tumpangi berhenti di salah satu stasiun besar. Banyak orang-orang yang ia identifikasi-kan sebagai karyawan mulai masuk berbondong-bondong mengisi gerbong kereta yang sudah penuh menjadi lebih penuh dan menyesakkan.
Eric menghela nafas. Ini bukan hal aneh dan Eric akan menjawab dua ribu persen kalau ia seringkali ada diposisi ini dan terbiasa dengan kondisi penuh saling berhimpitan. Biasanya ia akan merasa santai-santai saja dengan kondisi gerbong ramai diisi dengan berbagai macam manusia yang memenuhinya toh Eric terbiasa ada diposisi ini ditemani headset yang selalu setia menyumpal kedua telinganya, tapi kali ini tidak. Eric tidak bisa merasa biasa-biasa ketika ia merasa ada sebuah tangan besar yang sedang meraba bokongnya!
Eric mengerjap beberapa kali begitu merasakan tangan yang semula meraba bokongnya kali ini mulai meremasnya dengan sedikit keras. Perasaan tidak nyaman, takut, malu dan ingin beteriak sekeras-kerasnya tiba-tiba datang membuat tubuhnya sedikit bergetar.
Suasana kereta yang penuh membuat orang yang sedari tadi meremas bokong milik Eric semakin melancarkan aksinya tanpa takut terlihat orang disekitar mereka. Mata Eric membelalak begitu menyadari remasan pada bokongnya berhenti dan sedetik kemudian telapak tangan yang sama bergerak menuju organ vital miliknya. Tatapan mata Eric bertemu dengan gadis remaja yang duduk didepan Eric sambil memeluk tas-nya erat-erat.
Eric yakin seribu persen kalau gadis itu tau tentang apa yang dialami Eric, tapi alih-alih mencoba membantunya, gadis itu hanya menatap Eric dengan tatapan bersalah sambil mengigit bibirnya sendiri. Eric sadar, gadis itu sama takutnya dengan Eric saat ini.
Stasiun tempat pemberhentian berikutnya sudah mulai dekat diiringi dengan suara pemberitahuan lewat speaker yang memenuhi gerbong kereta membuat beberapa orang mulai bersiap berjalan menuju pintu untuk turun di stasiun tujuan mereka. Eric pikir ia bisa bernafas dengan lega karena kondisi gerbong yang ia naiki terasa lebih lenggang, tapi Eric salah. Sosok itu malah memberikan sentuhan dan sesekali meremat organ vital Eric.
Demi Tuhan. Eric rasanya ingin berteriak dan memaki orang tersebut sekeras yang ia bisa, tapi semua keberaniannya meluap entah kemana tergantikan rasa takut yang membuat seluruh tangannya terasa dingin.
𝘉𝘶𝘨𝘩!
Eric membelalakan matanya. Ia segera menoleh ke sumber suara dan mendapati seorang pria paruh baya tersungkur dengan luka disudut bibirnya. Eric mengalihkan pandangan ke laki-laki satunya yang masih memakai kemeja lengkap. Tangan lelaki itu masih mengepal dengan mata menatap tajam.
“Apa-apaan ini Mas?”
“Si tolol ini melakukan tindakan pelecehan seksual ke adik ini, Mbak!” lelaki tersebut menoleh ke arah Eric yang kembali membelalakan matanya terkejut, “Daritadi saya perhatiin tingkahnya.” lanjutnya sambil menendang lelaki paruh baya yang masih jatuh tersungkur di depan Eric.
“Gak usah ngaco deh lo. Emangnya dia merasa gue lecehkan? Lagian dia cowok! mana ada cowok jadi korban pelecehan seksual? yakali gue yang cowok melecehkan cowok juga!”
“Loh ini buktinya, lo cowok dan melecehkan cowok. Udah ada bukti didepan mata kalau cowok bisa jadi korban pelecehan juga dan disini pelakunya lo sendiri.”
“Dek, kamu merasa saya lecehkan apa gak?” pria paruh baya tersebut tiba-tiba melontarkan pertanyaan ke Eric yang jelas membuat Eric seketika menahan nafasnya.
Eric ingin menjawab iya, tapi disatu sisi ia merasa takut dengan tatapan tajam dan sorot mata mengancam dari pria paruh baya tersebut dan juga tatapan orang-orang di sekelilingnya yang membuat Eric merasa ditelanjangi ramai-ramai. Eric juga takut dengan stigma kolot orang-orang tentang pelecehan seksual. Eric takut. Eric takut 𝘳𝘢𝘱𝘦 𝘤𝘶𝘭𝘵𝘶𝘳𝘦 yang kental di negara ini membuatnya tersudut.
“Jawab aja dek, gapapa. Jangan takut.” sebuah suara lembut mengalun dalam ricuhnya pemikiran Eric. Eric menoleh, matanya bertemu dengan lelaki yang melayangkan pukulan pada pelaku pelecehan seksual yang Eric terima.
Seolah mendapat kekuatan dan dukungan, Eric langsung mengangguk kaku sambil menunduk takut. “I-iya. Bapak itu awalnya cuma meraba bokong saya, tapi lama kelamaan jadi meremas bokong dan organ vital saya.”
“Bohong! gak usah ngaco lo seenaknya ngomong gitu. Ada bukti emang? bisa gue tuntut lo ke polisi!”
Sebelum Eric membuka mulutnya, laki-laki ber kemeja putih di sebelahnya sudah menyodorkan handphone miliknya dan mempertontonkan sesuatu ke beberapa orang yang sedari tadi memperhatikan kegaduhan. “Ini yang lo tanya?”
Si pelaku melayangkan tangannya bergerak ingin merebut handphone tersebut, tapi refleks lelaki berkemeja putih jauh lebih cepat. Ia menarik handphone miliknya lalu mengarahkan handphonenya ke arah si pelaku.
Cekrek
“Gue udah ambil foto lo dan punya video tentang tindakan ga bermoral lo itu. Gue juga udah lapor ke pihak kereta tentang tingkah laku lo yang menjijikan ini. Kalau lo ga mau meminta maaf secara pantas, gue gak main-main buat bakalan laporin lo ke pihak berwajib dan publish foto lo serta video ini ke social media supaya jadi jejak digital buat lo. Jangan merasa terganggu karena gue ambil foto lo tanpa consent, karena lo sendiri pegang-pegang bagian tubuh orang lain tanpa consent orang tersebut. ” ucap lelaki ber kemeja putih itu tegas.
୨୧
“Ini.”
Eric mendongakkan kepala ketika sesuatu dingin mendarat di pipinya. Ia tersenyum tipis ketika melihat Sangyeon menyodorkan sebotol minuman berisi yogurt untuknya. “Terima kasih, Mas.”
Sangyeon mengangguk singkat lalu tersenyum lebar ke arah gadis remaja disebelah Eric sebelum menyodorkan sebot minuman yogurt sambil tetap mempertahankan senyumnya. “Ini buat kamu.” ia berucap lembut.
Usai lelaki ber kemeja putih yang baru Eric ketahui namanya Sangyeon tersebut ber ucap dengan nada tegas dan mengancam ke sosok pria paruh baya yang melakukan tindakan senonoh pada-nya, gadis remaja yang sedari awal memeluk erat-erat tasnya pun ikut membuka suara memberikan kesaksian tentang hal tidak menyenangkan yang Eric terima saat itu. Beruntungnya tidak menunggu waktu lama, staff dari kereta datang dan membawa pria paruh baya itu menjauh dan turun di stasiun setelahnya.
“Kakak. Maaf ya tadi aku diam aja awalnya. Aku takut.” Wonyoung — si gadis remaja yang tadi ikut memberikan kesaksian — membuka mulutnya memulai percakapan. Kedua tangan mungilnya menggengam erat botol yogurt yang masih tersisa setengah botol dengan bibir mengerucut lucu. “Aku ga bohong sewaktu aku tadi bilang aku takut. Aku takut kalau aku bicara nanti malah aku yang jadi korban selanjutnya. Aku takut banget! serius. Maaf ya kakak aku kelihatan egois.” lanjutnya dengan wajah bersalah.
“Gak apa-apa.” Eric melempar senyum lebar ke arah Wonyoung. “Kakak justru berterimakasih loh karena kamu mau berani bicara akhirnya.”
Kali ini giliran Sangyeon yang tersenyum. Ia duduk tepat disebelah Wonyoung lalu mengangkat tangannya menepuk bahu Wonyoung beberapa kali. “Benar. Kamu dan Eric itu sudah hebat banget tadi di kereta. Eric hebat karena mau berbicara dan kamu juga hebat karena mau memberikan kesaksian. Kalian berdua hebat pokoknya. Keren deh!” Sangyeon mengacungkan kedua ibu jarinya yang disusul tawa geli dari Wonyoung.
“Tapi kakak hebat loh! kakak berani banget tadi tiba-tiba begitu! mana kakak kepikiran pula buat record itu semua dan kasih laporan ke pihak berwenang. Aku ya, malah peluk tas aku erat-erat karena takut! serem habisnya!”
Dalam hati Eric menyetujui apa yang Wonyoung ucapkan. Kalau semisalkan ia ada diposisi Sangyeon, Eric mungkin tidak akan pernah terpikir kalau ia akan melakukan hal yang Sangyeon lakukan hari ini. Eric pasti akan kebingungan sendiri.
Sangyeon tidak langsung menjawab, ia hanya tersenyum manis ke arah Wonyoung dan Eric bergantian. “Adik perempuan saya dulu pernah jadi korban pelecehan seksual. Adik saya memendam semuanya sendirian sampai kami keluarganya sadar kalau ada yang aneh dan ternyata memang iya. Butuh waktu cukup lama untuk kami sekeluarga bisa membuat adik saya nyaman dan aman. Sekarang adik saya punya kegiatan membantu orang-orang yang mengalami hal buruk seperti dirinya untuk mendapatkan hak dan keadilan mereka. Waktu gak sengaja lihat kamu tadi, saya langsung teringat adik saya dan gimana saya gak bisa menolong adik saya saat itu.” Sangyeon membasahi bibir bawahnya yang membuat Eric yakin kalau ada perasaan campur aduk yang lelaki itu rasakan ketika bercerita. “Tapi saya ga bisa tiba-tiba ngomel ‘kan? saya butuh setidaknya satu bukti. Jadi sewaktu saya sadar tadi, saya sempat keluarin handphone saya. Agak susah sih ambil gambar karena suasana gerbong tadi ramai banget. Tapi sewaktu mau sampai di stasiun tujuan, beberapa orang mulai bersiap turun yang membuat celah dimana saya bisa record tindakan orang tersebut buat bukti. Sebelumnya, saya sudah lapor via social media ke pihak kereta.”
Baik Eric dan Wonyoung menatap Sangyeon dengan tatapan kagum. Wonyoung malah bertepuk tangan kecil sambil tersenyum lebar. “Keren!”
Lagi-lagi Sangyeon hanya tersenyum dan menepuk bahu Wonyoung. Sangyeon melirik jam tangan yang melingkar di tangannya sekilas. “Kalian semua pulangnya gimana? udah mulai malam juga.”
“Aku dijemput Mama, kak. Tadi waktu kakak ke Alfamart beliin minum, aku udah kabarin Mama buat jemput. Untungnya kakak memilih berhenti di stasiun ini karena stasiun ini tujuan aku.”
Sangyeon mengangguk beberapa kali “Oke kalau gitu. Ini juga stasiun tujuan saya sih. Kalau kamu gimana?” Sangyeon mengalihkan pandangannya ke arah Eric. “Rumah kamu jauh dari sini?”
“O–oh lumayan. Saya sih biasanya turun di stasiun setelah stasiun ini terus naik ojol ke rumah saya. Paling saya naik kereta lagi aja — ”
“Udah saya anter pulang aja. Saya bawa motor kok diparkir disini.” potong Sangyeon yang sukses membuat Eric mengerjap terkejut dan mengerutkan keningnya bingung. “Oh, masih takut sama orang asing ya? gapapa, ngerti saya.”
“Eeeh enggak!” Eric refleks menggelengkan kepalanya beberapa kali sebagai gesture kalau Sangyeon salah menilai ekspresi wajahnya. Eric bukan takut, ia justru bingung dan terkejut dengan penawaran Sangyeon! wajar ‘kan ia merasa begitu? “Bukan gitu maksud saya, Mas.”
Sangyeon menarik ujung bibirnya membentuk senyuman tipis. Tangannya bergerak membuka dompet hitam miliknya lalu menyodorkan kartu kecil berwarna biru ke arah Eric. “Nih KTP saya. Kamu pegang aja dan kamu balikin kalau saya udah anter kamu sampai dengan selamat di depan rumah kamu.”
“Eh... T-tapi mas.... ” Eric menggantung ucapannya. Oh ayolah, siapa yang gak bingung ada diposisi seperti ini? Sangyeon terlalu baik dan Eric sampai tidak bisa merangkai kata untuk menolak niat baik lelaki tersebut!
“Udah kak. Gapapa. Dianter Kak Sangyeon aja. Ngeri ih naik kereta lagi sendirian.” ucapan Wonyoung diikuti dengan anggukan kecil dari Sangyeon, seolah-olah lelaki tersebut setuju dengan ucapan gadis remaja tersebut.
Dengan sedikit perasaan berat dan sungkan, Eric mengangguk kecil sebagai jawaban iya untuk tawaran Sangyeon. Tolong ingatkan Eric untuk bersyukur pada Tuhan kalau ia sangat berterima kasih Tuhan telah menciptakan makhluk sebaik Sangyeon ditengah menakutkannya hari Eric sore ini!
୨୧
1 note ¡ View note
eauteous ¡ 1 year
Text
Tumblr media
How can we become friends who we loved?
Disclaimer: this is fanfiction written by me and I use THE BOYZ’s Lee Hyunjae, Kim Younghoon and Ji Changmin name as my character here. Everything is here is not related to THE BOYZ or IST Entertainment. Picture credit to the owner.
The idea is coming from How can we become friends who we loved by Song Ha Yea.
Tags: one-sided love and angst.
୨୧
Tidak pernah sekali terbesit dalam pikiran Eric untuk kembali menginjakkan kakinya di kota kelahirannya, di tempat di mana Eric enggan ia mengingat satu hal seumur hidupnya. Eric tersenyum tipis mengingat kota tempatnya dilahirkan, kota tempat Eric tumbuh dan menghabiskan waktu bersama keluarga dan teman-temannya berubah menjadi kota yang paling enggan Eric kunjungi hanya karena satu orang: Sunwoo.
Sunwoo
Masih ada perasaan aneh yang tidak nyaman dalam hatinya ketika mengingat nama itu, nama teman masa kecilnya yang menjadi orang pertama yang membuat Eric merasakan sensasi puluhan kupu-kupu berterbangan didalam perutnya sekaligus menjadi orang pertama yang membuat Eric mengerti bagaimana rasanya ditolak dan patah hati.
“Nu kalau gue suka sama lo gimana?” pertanyaan itu meluncur tanpa aba-aba, membuat Sunwoo (dan juga Eric) mengerjapkan mata terkejut.
“Suka gimana?” alih-alih menjawab, Sunwoo malah melontarkan pertanyaan ke Eric. Ia memposisikan dirinya duduk menghadap Eric dengan kening mengernyit bingung. “Kata suka menurut gue tuh artinya banyak dan butuh konteks kemana kata suka lo ini berujung. Lo suka gue sebagai teman? suka gue sebagai saudara? suka gue sebagai orang yang lo kagumi? atau suka sama gue dalam konteks romansa?”
Eric mengatupkan kedua bibirnya. Matanya menatap lurus ke mata Sunwoo. Kalimat terakhir yang dilontarkan Sunwoo terdengar ragu yang membuat Eric merasa gelisah dan cemas secara bersamaan. Sang adam tidak langsung menjawab, matanya masih menatap lurus ke arah Sunwoo sebelum terkekeh pelan. “Kalau yang terakhir gimana?”
Ada nada ragu dan takut yang terdengar dari suara Eric. Sunwoo mengakui itu. Dan harus dirinya akui juga kalau Sunwoo merasakan hal yang sama; ragu dan takut. Ragu akan perasaannya sendiri, ragu akan perasaan Eric padanya, takut akan jawaban yang ia ucapkan nantinya, dan juga takut akan pertemanan mereka.
“Eric. Lo yakin sama konteks suka apa yang lo rasain? kayaknya itu cuma perasaan nyaman lo aja karena pertemanan kita deh. Kalau boleh jujur gue juga suka menghabiskan waktu gue sama lo karena lo teman gue, teman yang tumbuh besar bareng sama gue dari masih makan disuapin sampai se tua ini. Kayaknya yang lo rasain ke gue sekadar perasaan suka antara teman Ric. Gue merasakan hal yang sama juga kok.”
Langit malam bertabur banyak bintang membuat Eric tidak bisa menahan senyum walaupun masih ada perasaan kurang nyaman ketika ia menginjakkan kakinya di kota ini. Eric sengaja memilih melanjutkan kuliah di luar kota usai kelulusan untuk menjauh dari semua hal yang membuatnya tidak nyaman dan merasa menjadi sosok paling menyedihkan karena Sunwoo. Menjauh dari Sunwoo , seseorang yang selalu Eric sebut dalam doanya. Sosok yang selalu dia harapkan tidak pernah bertemu sekalipun dalam hidupnya. Sosok yang membuat Eric selalu merapalkan doa untuk memutuskan kesempatan keduanya bertemu.
Tapi harapan hanya harapan ‘kan? kalau keluarga Eric masih tinggal di kota kelahirannya, tinggal tepat disebelah rumah Sunwoo, keduanya pasti akan bertemu sekuat apapun Eric menghindar.
“Eric?”
Sebuah suara mengisi indera pendengarannya. Eric mengerjapkan matanya beberapa kali merasa familiar dengan suara sekaligus wangi parfum yang mulai menusuk hidungnya. Ragu-ragu Eric menoleh ke asal suara yang memanggilnya yang membuat Eric sedetik kemudian menyesali tindakannya.
Sunwoo, seseorang yang Eric hindari selama bertahun-tahun berdiri tepat beberapa langkah didepannya dengan raut wajah terkejut dan sorot mata yang Eric rindukan.
Eric meremat kopernya erat. Kepalanya menunduk, menghindari tatapan tajam Sunwoo. “Maaf...”
Sunwoo menghela nafasnya berat. Sorot mata tajam yang ia berikan ke Eric berubah menjadi sorot mata kecewa. “Kenapa harus gini sih, Ric? kenapa harus sampai lo menjauh dari gue?”
“Kita udah beda, Nu. Semenjak gue merasa gue punya perasaan lebih ke elo, gue merasa semuanya berubah dan berbeda. Gue merasa terlalu banyak sedih karena mikirin gimana kalau lo naksir orang lain. Gue tertekan dengan pikiran gue sendiri kalau misalkan lo naksir orang lain dan gue lihat lo sama orang yang lo mau Nu. Gue jadi takut muncul di depan lo. Gue takut sama rasa sakit yang gue rasain karena penolakan lo. Gue takut sama semua hal yang bakalan menganggu lo karena perasaan gue. Gue …” Eric menggantungkan kata-katanya, ia mendongakkan kepalanya menatap Sunwoo yang sedang menatapnya lurus, menunggu Eric melanjutkan ucapannya. “Gue juga merasa ada yang berubah. Gue merasa gue berubah dan lo juga berubah. Gue — ”
“Gue berubah karena lo, Eric!” Sunwoo menyela ucapan Eric yang sukses membuat Eric mengerjapkan matanya terkejut. “Lo duluan yang berubah. Lo duluan yang menjauh dari gue. Lo yang mulai semuanya Eric. Gue cuma ikutin lo aja. Lo yang terlalu takut, lo yang menarik diri lo dari gue. Terus gue harus apa? berusaha nahan lo? udah Eric. Gue berusaha reach out lo, tapi lo tetap sama. Lo tetap menarik diri lo dari gue. Gue berubah karena lo. Karena perasaan lo dan pikiran lo ke gue.”
Eric menarik ujung bibirnya, membentuk senyum tipis usai mendengar ucapan Sunwoo. “Benar ya kata orang kalau dalam pertemanan salah satunya ada yang jatuh cinta pilihannya cuma dua: bersikap egois atau berdamai. Gue merasa egois banget kalau begini. Egois karena gue terlalu mikirin perasaan gue sendiri. Nu, mulai sekarang kita gausah temenan lagi ya? maaf karena gue egois memilih perasaan gue sendiri ketimbang pertemanan kita.” Eric mengangkat tangannya, memberi gesture untuk Sunwoo tidak menyela ucapannya lagi. “Nu, mulai sekarang perasaan gue tanggung jawab gue ya? maaf lo jadi berubah dan ikut merasa enggak nyaman karena gue. Maaf ya, Nu. Maafin gue.”
“Apa kabar?” tanya Sunwoo. Ia menyodorkan sekaleng minuman soda ke arah Eric. “Lama enggak ketemu Ric.”
Eric meraih kaleng soda yang Sunwoo sodorkan lalu menggenggam erat kalengnya, berusaha menyalurkan rasa gugup dan takut yang tiba-tiba menyelimuti dirinya. “Gini aja.” Eric menjawab singkat.
Sunwoo tersenyum. Senyum yang sama. Senyum yang selalu Eric sukai dari dulu. Senyum yang selalu sukses membuat Eric ikut tersenyum, dulu. “Lebih baik pastinya ya?”
Eric menggeleng kecil. “Lo punya teman baru selain gue sekarang, Nu?” Eric mengeluh dalam hati, memaki dirinya yang selalu impulsif melontarkan apapun yang ada dipikirannya.
“Ada.” Sunwoo menatap Eric. “Pastinya ada, Ric. Teman itu selalu ada. Gue punya teman di sini. Lo juga pasti punya teman selain gue kan di sana?”
“Lo bahagia Nu? bahagia tanpa gue yang biasanya selalu ada disekitar lo?” Eric mengigit bibir bawahnya gugup menunggu jawaban Sunwoo.
Satu detik...
Satu menit...
Lima menit...
Eric mendesah pelan, “Jadi yang tersiksa disini cuma gue ya, Nu? cuma gue yang berusaha keras buat lupain semuanya yang gue rasain. Lupain semua hal yang menghantui gue sampai gue selalu gelisah dan takut. Cuma gue yang tersiksa sendiri karena lo bisa melanjutkan hidup lo dengan atau tanpa gue di samping lo. Lo bisa berdiri dengan baik Nu, sedangkan gue merangkak buat terlihat baik.”
Kali ini helaan nafas panjang terdengar dari Sunwoo. Ia mengalihkan pandangannya dari Eric usai Eric menyelesaikan ucapannya. Raut wajah bersahabat Sunwoo terganti dengan raut wajah lelah dan kesal. “Kita baru ketemu setelah sekian lama Ric. Gausah bahas itu dulu.”
“Gue mau bahas itu sekarang karena gue gak mau menghabiskan waktu gue berlama-lama disekitar lo, Nu. Gue gak suka sama perasaanya.”
“Lo kira gue suka?!” Sunwoo mendelik menatap Eric kesal. “Gue gak suka sama keadaan kaya gini. Pertemanan kita tuh hancur dan berantakan karena perasaan aja. Gue gak suka teman gue pergi menjauh karena perasaanya ke gue. Gue juga gak suka Ric bukan lo aja. Gue rasanya mau marah waktu lo ninggalin gue gitu aja dan memutus semua jalan komunikasi bagi kita berdua. Kenapa sih harus ada perasaan diantara kita, Ric? gue paham kalau perasaan diluar kendali. Kita gak tau mau jatuh sama siapa dan kapan. Tapi gue beneran merasa mau marah karena lo ninggalin gue gitu aja, Ric.”
“Kita temenan lama banget Ric. Tapi bisa ya, pertemanan kita rusak cuma karena perasaan aja. Gue bisa Ric. Gue bisa tetap jadi teman lo walaupun lo lihat gue dengan pandangan yang berbeda. Gue tetap bisa jadi Sunwoo yang lo kenal, Sunwoo teman lo. Tapi lo yang narik diri lo dari gue, Ric.”
“Karena gue sama lo beda, Nu. Dari segi manapun lo sama gue beda. Lo gak punya perasaan lebih kaya gue jelas aja lo bisa tetap bersikap jadi teman gue, tapi gue enggak Nu. Gue gak bisa tetap bersikap sama ke elo. Gue gak mau ketemu lo karena gue takut, Nu.” Eric meraih tangan Sunwoo, menyodorkan sekaleng minuman soda yang diberikan Sunwoo kepadanya. “Buat lihat senyum lo dan tatapan lo ke gue aja gue gak bisa Nu. Gue gak nyaman bahkan buat sekadar dengar nama lo aja. Jangankan nyaman Nu, gue punya keberanian buat ketemu lo secara nyaman kaya dulu aja enggak ada. Gue gak ngerti perasaan lo, sama kaya lo gak ngerti perasaan gue.”
Eric tersenyum tipis. “Lo bisa tetap bersikap biasa seolah kita teman, tapi gue gak bisa Nu. Lo sama gue beda. How can we become friends who we loved? gue gak mau makin menyusahkan lo dengan perasaan gue. Kita gak bisa jadi teman lagi Nu. Mungkin nanti bisa kalau perasaan gue sudah nggak ada, tapi semuanya tetap nggak akan sama. Maaf ya Nu. Maafin gue karena merusak semuanya.”
୨୧
2 notes ¡ View notes
eauteous ¡ 1 year
Text
Kenapa?
Disclaimer: this is fanfiction written by me and I use THE BOYZ’s Lee Hyunjae, Kim Younghoon and Ji Changmin name as my character here. Everything is here is not related to THE BOYZ or IST Entertainment. Picture credit to the owner.
Tags: cheating, medicine, traumatic, break up, and divorce.
୨୧
Suasana stasiun sore ini tampak ramai seperti biasanya. Nggak mengejutkan buat gue karena gue hidup dan besar di salah satu kota di Indonesia yang padat dan selalu ramai dengan hiruk pikuk kota yang khas. Benar. Gue tinggal dan besar di Jakarta. Tempat yang selalu dijadikan tempat pengaduan nasib orang-orang yang selalu bilang Jakarta adalah gudang uang.
Sambil menunggu kereta yang akan gue naiki, mata gue memperhatikan beberapa orang disekitar gue. Nggak ada yang menarik tentu saja. Kehidupan monoton yang khas terjadi di Kota ini. Para karyawan siap-siap pulang ke rumah dengan raut wajah penuh rasa lelah dan sisanya yang menurut gue anak kuliah atau apalah, gue gak bisa mengidentifikasi mereka apa.
Tatapan mata gue berhenti tepat di kedua pasang perempuan dan laki-laki yang berdiri beberapa langkah di depan gue. Mereka saling menggenggam erat, seolah-olah memberikan kehangatan ditengah kota Jakarta yang lumayan dingin walaupun gak sedingin Puncak. Gue terkekeh dalam hati. Indahnya kisah cinta sebelum badai datang.
Dalam hitungan detik ingatan gue tertarik ke memori beberapa tahun lalu yang selalu mau gue kubur dalam-dalam. Kejadian dalam sehari yang merubah hidup gue. Meluluh lantakkan hidup seorang Lee Hyunjae jadi hancur se hancur hancurnya.
“Papa kamu selingkuh, Hyunjae.” adalah kata yang gue ingat saat gue baru pulang sekolah dengan penuh rasa lelah. Alih-alih sapaan dan senyuman hangat khas seorang Ibu, Mama gue malah melontarkan satu kalimat yang mampu membuat gue terdiam seribu bahasa. Gue gak menjawab atau merespon ucapan Mama. Yang gue lakukan hanya mengerjapkan mata dan berharap suara Mama teriak ‘Hyunjae bangun! udah mau pagi nanti kamu kesiangan sekolahnya!’ sebagai tanda kalau gue lagi tidur dan bermimpi buruk. Tapi bukannya mendapatkan apa yang gue harapkan, yang gue lihat cuma Mama berdiri di depan gue dengan mata bengkak dan masih berair. Wajah Mama basah oleh airmata yang membuat hati gue terasa remuk.
Gue mengerjap beberapa kali. “Tau darimana?” dari sekian banyak hal yang ada diotak gue hanya dua kata itu yang bisa keluar dari mulut gue.
Mama gak langsung menjawab pertanyaan gue. Yang beliau lakukan menangis. Menangis sampai kedua bahunya bergetar menahan rasa sakit dan kecewa karena dikhianati orang yang ia pilih jadi pendamping hidup. Mama yang selalu tersenyum dan melontarkan candaan lucu kini jatuh sejatuh-jatuhnya di depan gue. “Akhir-akhir ini Papa berubah. Sering sibuk sendiri di telepon, sering bohong dan bersikap menyembunyikan sesuatu.” Mama menghentikan ucapannya, Mama menarik nafas dalam mencoba meredam emosi yang menguasainya. “Teman Mama berkali-kali bilang kalau mereka lihat Papa berdua sama perempuan. Mama awalnya gak percaya, tapi tadi Mama lihat sendiri Papa berdua sama perempuan di restoran tempat biasa kita makan. Teman Mama makan disana dan langsung kabarin Mama.”
Suara kereta mengejutkan gue dari ingatan buruk tersebut. Tanpa membuang waktu, gue dengan santai melangkah menerobos masuk kedalam kereta yang lumayan lenggang malam ini. Ada satu kursi kosong dan gue harus duduk. Tanpa menunggu waktu lama gue melangkah mendekati kursi kosong tersebut, belum sempat gue menjatuhkan bokong gue disana, seseorang yang muncul dari masa lalu, seseorang yang selalu mau gue lupakan kehadirannya berdiri tepat didepan gue. Ia juga mengincar kursi yang gue inginkan. Dia Ji Changmin, sahabat gue dari awal gue memakai seragam putih abu-abu. Seseorang yang pernah gue sayang layaknya saudara sendiri sekaligus seseorang yang pada akhirnya gue benci eksistensinya.
Usai mendengar ucapan Mama, gue dengan cepat berlari menjauh dari rumah. Rasa sesak yang datang membuat gue mengeram. Rasanya seperti dada gue ditekan berton-ton benda berat yang membuat gue kesulitan bernafas. Dengan wajah penuh air mata gue berlari sekuat tenaga ke satu tempat. Rumah pacar gue, Kim Younghoon. Gue butuh Younghoon. Gue mau menangis sekencang-kencangnya didalam pelukan Younghoon. Gue mau ketemu Younghoon. Gue enggak mau sendirian disaat suasana hati gue porak-poranda karena keluarga gue yang hancur.
Rumah gue dan Younghoon gak terlalu jauh atau terlalu dekat. Rumahnya terletak tiga blok dari rumah gue. Rumah bercat coklat muda itu rumah Younghoon. Gue melangkah masuk ke dalam garasi rumahnya. Kening gue mengernyit bingung. Younghoon dan keluarganya tipe yang tidak pernah membiarkan pintu gerbang rumah mereka terbuka bahkan kalau mereka ada di rumah sekalipun. Motor merah milik Younghoon terparkir di garasi rumahnya. Gue menghela nafas lega. Pacar gue ada di rumah dan artinya gue bisa menangis sekuat yang gue bisa dilakukannya.
Tapi harapan hanya sekadar harapan ‘kan? alih-alih menangis dipelukan Younghoon, gue malah melihat Younghoon tengah mencium seseorang diatas pangkuannya di ruang tengah tanpa menutup pintu rumah. Dari tempat gue berdiri gue bisa melihat dengan jelas kalau pacar gue sedang menikmati ciumannya sampai-sampai kedua tangannya bergerak mengusap punggung sosok laki-laki di pangkuannya. Satu tangan Younghoon menekan tengkuk laki-laki di pangkuannya seolah-olah ingin memperdalam ciuman mereka.
“Younghoon?” gue memanggilnya dengan suara pelan. Tenaga gue habis. Habis karena kabar selingkuh Papa gue, habis karena gue berlari dari rumah ke rumah Younghoon dan habis menerima kenyataan kalau pacar gue asik berciuman dengan cowok lain di depan mata gue.
Suara gue mampu mengehentikan kegiatan mereka. Sedetik kemudian rasa sakit dihati gue terasa beribu-ribu kali lipat lebih sakit dari sebelumnya karena sosok yang duduk dipangkuan Younghoon, sosok yang berciuman sama pacar gue adalah Ji Changmin. Sahabat gue sendiri. Orang yang selalu gue banggakan sebagai sahabat yang baik. Dan tau apa yang lebih mengejutkan? setibanya gue di rumah gue ditampar oleh kenyataan kalau perempuan yang selingkuh dengan Papa adalah Bundanya Changmin. Sosok bunda dari laki-laki yang gue anggap sahabat sekaligus yang berselingkuh dengan pacar gue sendiri.
Tepat beberapa meter didepan gue ada Changmin dan Younghoon dengan tangan saling menggenggam. Keduanya menatap gue sama terkejutnya. Ini kali pertama gue bertemu mereka lagi setelah sekian lama. Usai mimpi buruk yang terjadi di hari yang sama, gue menolak sekolah selama beberapa hari sampai merengek menangis didepan Mama memohon Mama memindahkan sekolah gue karena gue gak mau bertemu baik Changmin atau Younghoon. Memang sulit, butuh waktu lumayan lama buat gue pindah sekolah karena gue pindah sekolah bukan diawal semester. Tapi itu jauh lebih baik daripada lihat kedua orang yang nggak pernah mau gue temui lagi seumur hidup gue.
“Jae? apa kabar?”
Gue tersentak ketika mendengar Younghoon melontarkan pertanyaan ke gue. Pertanyaan ke sosok pacar yang belum dia putusin dengan kondisi tangannya sekarang menggenggam cowok lain. Dia tanya kabar gue seolah-olah kita gak bertemu lama karena liburan sekolah. Jawaban ‘Gue hancur karena lo setan!’ yang sudah ada diujung lidah gue hampir keluar gitu aja kalau aja gue gak menahannya.
Gue gak mau jawab. Gue gak perlu jawab. Gue memilih untuk mundur beberapa langkah sebelum membalik badan gue dan melangkah meninggalkan mereka dengan kedua tangan gue yang gemetar menahan rasa sesak yang kembali datang.
Gue memilih berdiri di ujung gerbong yang jauh dari mereka. Gue memilih merapatkan masker gue dan gak menoleh sedikitpun ke mereka. Tangan gue berpegangan erat dengan pegangan tangan dikereta. Tangan gue menggenggam erat-erat pegangan tangan, berusaha menyalurkan rasa sakit yang sudah gue kubur bertahun-tahun.
Semua sudah terjadi nyaris 3 tahun dan gak ada yang berubah dari mereka. Younghoon dan Changmin yang sekarang pacaran dan Papa yang bercerai dengan Mama lalu sekarang sibuk mempersiapkan pernikahannya dengan Bunda-nya Changmin. Sekuat tenaga gue menahan desakan ingin menangis keras-keras di kereta. Menangis di kereta yang penuh bukan pilihan yang tepat dan gak akan pernah jadi pilihan yang tepat.
Kedua mata gue terpejam erat-erat. Menahan semuanya semampu gue. Menahan berbagai macam pertanyaan yang menghantui gue bertahun-tahun.
Kenapa? kenapa orang-orang yang menyakiti gue dan Mama sampai kami berdua terpuruk dan susah payah untuk bangun dari tidur tanpa rasa sakit dan kecewa sedangkan mereka dengan bahagianya melanjutkan hidup mereka penuh cinta dan tawa setelah menghancurkan gue dan Mama?
Kata mereka ada sesuatu yang disebut karma. Tapi mana? kenapa mereka gak pernah merasakan itu? kenapa mereka gak merasakan terpuruk seperti gue dan Mama? kenapa mereka malah hidup dengan kehidupan terbaik mereka diatas luka yang selalu berdarah gue dan Mama?
Dan setelahnya, gue kembali menghabiskan malam gue dengan menenggak obat tidur yang selalu diresepkan dokter untuk membantu gue istirahat. Menenggak teman yang selalu menemani gue ditengah mimpi buruk yang menghancurkan hidup gue.
୨୧
Tumblr media
0 notes
eauteous ¡ 1 year
Text
Tumblr media
Sekolah.
Disclaimer: this is fanfiction written by me and I use THE BOYZ’s Choi Chanhee name as my character here. Everything is here is not related to Choi Chanhee, NEW, THE BOYZ, or IST Entertainment. Picture credit to the owner.
Tags: school life and mentions strict parents.
୨୧
Hello, namaku Choi Chanhee. Tahun ini aku menginjak usia 16 tahun yang artinya aku ada dititik dimana semua orang semakin memberikan lebih banyak tekanan dan harapan. Namaku Chanhee, tapi aku tidak pernah suka dengan nama yang diberikan keluargaku untukku. Aneh? oh tidak seaneh hidupku sih.
Ada beberapa hal yang selalu aku pikirkan semenjak aku berusia 14 tahun ketika anak-anak disekitarku mulai memiliki hubungan romansa dan cinta monyet, tapi aku malah sebaliknya. Aku tidak tertarik dengan itu. Orangtuaku cukup kolot. Mereka menekan aku untuk meraih cita-cita mereka yang gagal mereka raih. Mereka mulai menentukan bagaimana hidupku akan berjalan bahkan dari aku belum lahir di dunia ini. Terkesan aneh? tentu tidak, aku hidup di benua Asia. Bukannya hal ini memang sering terjadi?
“Chanhee, kamu harus begini ya.”
“Chanhee, nanti kamu harus ini.”
“Chanhee, kami sudah menyiapkan semuanya dengan baik. Jangan kecewakan kami, ya.”
Aku selalu mengulas senyum lebar ketika kalimat terakhir dilontarkan oleh salah satu dari kedua orangtuaku. Siapa yang mengecewakan siapa disini? aku yang mengecewakan orangtuaku, atau justru mereka yang membuatku kecewa karena tidak pernah mendengarkan apa yang aku mau dan aku pikirkan?
Kata mereka hal wajar ketika orangtua menuntut anaknya untuk mendapat prestasi setinggi-tingginya di dunia pendidikan. Kata mereka hal wajar ketika orangtua akan melakukan apapun untuk mendapatkan hasil memuaskan anaknya di dunia pendidikan. Termasuk membunuh karakter anak mereka sendiri menurut kacamata seorang Choi Chanhee, kacamata ku.
Senyum sinis tidak pernah hilang dari wajahku ketika mendengar orang dewasa selalu menuntut nilai anak-anak mereka. Menuntut tanpa mau tau apa keahlian anak mereka dan dimana anak mereka bisa berkembang menjadi sosok yang membanggakan. Teman-teman di kelasku menjadi contoh. Sebagian dari mereka tidak menguasai akademik, tapi mereka amat luar biasa di dunia seni, olahraga dan hal diluar akademik. Tapi masalahnya, apa mereka diberi kesempatan untuk berkembang? tentu tidak. Stereotipe dimana nilai adalah hal terpenting di dunia pendidikan menekan mereka. Dituntut dengan hasil tinggi membuat mereka terkurung dari bakatnya sendiri. Jadi, apa yang mereka lakukan untuk itu? kamu tau jawabannya. Benar. Mencontek.
Bagi mereka, mencontek adalah hal wajar karena yang orang dewasa inginkan dari mereka adalah hasil, bukan usaha. Aku setuju untuk kalimat terakhir, tapi tidak dengan kalimat awal. Mereka melakukan hal buruk demi mencapai titik kepuasan orang lain dan mengubur diri mereka sendiri. Apa hasilnya? sedikit dari mereka yang menguasai materi dan berkembang. Jadi, apa esensi dari sekolah? mendapat nilai atau mendapat ilmu?
୨୧
1 note ¡ View note