Tumgik
catatanummi · 6 years
Photo
Tumblr media
Shubh Challenge: #day2
Alhamdulillah sukses full team lagi berenam. Bisa datang beberapa saat sebelum iqamah. Sayangnya habis sholat urung Baca Hadist bareng-bareng seperti kemarin. Qadarullah ada keluarga dari warga kampung sebelah yg meninggal, jamaah shalat memutuskan untuk menyolatkan bersama-sama ke rumah duka saat itu juga.
Its okay. Setidaknya sudah usung2 kitab haditsnya ke masjid, semoga sudah dapat pahala niatnya 😇 #aamiin.
#institutcahaya #homeeducation #challenge
pic: Pinterest
0 notes
catatanummi · 6 years
Photo
Tumblr media
Shubh Challenge: #day1
Sukses berangkat berenam ke masjid, baby Azda anteng… dan, ditutup dg taklim pagi mengkaji 3 Hadits dari Ringkasan Shahih Bukhari bab shalat: bacaan surat setelah sholat, perintah melihat ke arah sujud saat shalat, dan larangan memalingkan muka. Alhamdulillah.
#taqiyya8y #akif5y #hilmiya4y #azda4m #familyproject #homeeducation
pic from: Pinterest (radiomuslim.com)
0 notes
catatanummi · 6 years
Photo
Tumblr media
We challenge ourselves to bring the whole for family shubh prayer in our neighbourhood masjid during the next 40 days. At minimum 75% achievement we’d celebrate our success and happiness for making this challenge as a way to educate the kids (…and the parents, ofcourse!)
Bismillah, Let’s do it 😇
0 notes
catatanummi · 7 years
Text
SERI KOMUNIKASI PRODUKTIF KELUARGA (10) : "PRAKTIK KISS"
Kali ini saya akan berbagi kisah pengalaman mempraktikkan salah satu teknik yang sering dipakai dalam komunikasi produktif: KISS, kepanjangan dari Keep Information Short and Simple. Intinya ‘to the point’ alias tidak bertele-tele.
Teknik KISS ini bagi saya sangat memudahkan untuk berkomunikasi dengan anak saya yang kedua, Mas A. Mas A ini punya karakter bawaan yang sangat unik, tumbuh menguat begitu saja secara alamiah sejak ia lahir. Dalam bahasa bakat Talents Mapping yang diusung Abah Rama Royani, bakatnya yang menonjol ini disebut dengan 'concistency’. Ia sangat menjunjung tinggi aturan dan kesepakatan. Ia paling depan dalam menegakkan keadilan, bagi siapa saja. Apalagi untuk dirinya sendiri 😅😅
Mudah bagi saya untuk menjelaskan kepadanya, ini benar-ini salah. Mudah juga baginya untuk menerima, ini hak orang lain, bukan miliknya. Disisi lain, sekali ia menangkap ada ketidakkonsistenan sekecil apapun, ia akan mempertanyakan, kadang protes keras. Contoh pertanyaannya di usia 4 tahun adalah, “Mengapa kalau benda 1000 itu ada banyak, tapi uang 1000 itu sedikit?” (=tidak konsisten 😂).
Sekali saya menjanjikan sesuatu kepadanya, dengan gigih ia akan selalu menagih janji itu. Setiap jam, bahkan setiap menit. Apalagi jika perjanjian tidak diiringi kesepakatan yang jelas semisal: “Nanti ummi carikan ya…”. Kata 'nanti’, sudah cukup untuk menggerakkannya untuk segera menagih, terus-terusan, bahkan tak sampai semenit setelah saya mengucapkannya! 😅😅😅
Alhamdulillah, ketemu polanya dengan teknik KISS ini, bahkan saya menambahkan sendiri, KISSS (dengan 3 huruf S) karena tak sekadar Short & Simple, Specific juga sangat penting dalam hal ini.
Misalnya (1), saat saya dia menanyakan kapan boleh menginap (lagi) di rumah keluarga seorang temannya, saya sampaikan: “Besok menginapnya bulan Mei ya Mas…” Meskipun dia mulai heboh saat tahu bahwa hari sudah masuk tanggal 1 Mei, setidaknya saya bisa cukup tenang tidak ditodong tiap hari berturut-turut selama 2 bulan (karena dia menanyakannya sejak awal bulan Maret😂).
Misalnya lagi (2), saat dia menanyakan kapan ia harus pulang saat memilih pergi tanpa saya ke rumah neneknya (masih satu RT dengan tempat tinggal kami), akan mudah baginya menepati dengan patokan: “pulang sebelum jam 8 ya Mas”, dan semacamnya.
Terakhir, pagi ini. Sejak awal pekan lalu kami berjanji bahwa di Hari Kamis ini saya akan membelikannya lemari (rak) baju. Sejak habis subuh dia mulai merongrong saya dengan ajakan untuk segera berangkat membeli lemari (yaelaaaah, mana ada toko yang buka jam segitu mas 😅), saya jelaskan bahwa jam segitu belum ada toko yang buka. Dia pun bertanya, seolah mengerti dengan pola yang sering saya terapkan (dan diapun enjoy dengannya): “Jadi jam berapa kita pergi?”. “Jam 10 Mas, insya Allah”, jawab saya, sambil mengantongi garansi bahwa beberapa jam sesudahnya saya akan sempat bernafas lega tanpa todongan-todongan mas A untuk segera beranjak.
Kesimpulan: kadang perlu modifikasi teknik dalam berkomunikasi dengan seseorang yang memiliki karakter khusus. Sehingga, mengenali audiens dengan baik akan menjadi bekal penting dalam keberhasilan komunikasi kita. Bahasa kerennya costumized communication, mungkin. Kalau untuk orang lain saja bisa kita upayakan, mengapa dengan keluarga sendiri tidak? 😇😇
Alhamdulillahilladzi bini'matihi tatimmushshalihat…
#level1 #day10 #tantangan10hari #kuliahBunSayIIP #komunikasiproduktif
0 notes
catatanummi · 7 years
Text
SERI KOMUNIKASI PRODUKTIF KELUARGA (9): "BAHASA TUBUH"
Dalam bahasan komunikasi produktif, berkembang teori yang disederhanakan dengan kaidah 7-38-55. Ketiga angka ini menunjukkan persentase pengaruh keefektifan tiga komponen penting dalam proses komunikasi: suara (7%), intonasi (38%) dan bahasa tubuh (55%). Rata-rata orang secara spontan menjadikan suara dengan sebagai tumpuan utama dalam berkomunikasi, padahal pengaruhnya hanya 7%, sehingga wajar jika kemudian banyak yang mengeluhkan komunikasi mereka ‘tidak berhasil’.
Perlu usaha khusus agar dua komponen lain dengan persentase pengaruh lebih besar untuk juga terlibatkan secara spontan. Intinya perlu dibiasakan–bahkan jika perlu dilatihkan.
Saya berproses melatih diri untuk ‘menyempurnakan’ ketiga komponen ini hadir dalam pola komunikasi saya. Secara bertahap, yang pertama dilakukan adalah melatih intonasi. Sebagai ibu-ibu normal pada umumnya, intonasi nyaring-melengking adalah yang paling sering muncul dalam berbagai situasi. Apesnya, pada situasi beginilah seringkali saya memerlukan 'komunikasi penting’–menurut saya–dengan anak-anak (Alhamdulillah, kalau dengan suami insya Allah tidak pernah. Mending dong yaaa *ngalem dhewe). Fokus latihan saya adalah merendahkan intonasi, terutama di saat-saat genting bilamana kemarahan sedang meledak-ledak. Menarik nafas dalam-dalam, pada kondisi ini, Alhamdulillah sangat membantu mengontrol emosi.
Tantangan yang lebih sulit adalah menggunakan bahasa tubuh sebagai komponen dengan persentase pengaruh tertinggi dalam berkomunikasi. Simpel saja, karena memang belum pernah saya latih sebelumnya. Apalagi yang bikin agak bete, dimana ketemu dengan momen anak-anak tak begitu peka dengan bahasa tubuh saya yang masih pas-pasan. Jadi kezeeeelll kannn… sudah berekspresi sedemikian rupa, ternyata nggak pada nangkep. Wkwkwk. Balik lagi deh ke strategi suara dan intonasi 😂😂
Dan… setelah 'mbulet’ dengan beberapa paragraf di atas… intinya saya mau bercerita bahwa kemarin sore saya berhasil–secara spontan–berkomunikasi hanya dengan bahasa tubuh saja! Yeay… begitu tho caranya…hihihi.
Yang jadi partner kali itu adalah pak suami. Alkisah, kami mengagendakan untuk buka puasa berlima di sebuah tempat makan tak jauh dari rumah. Sesampainya disana, tak dapat dihindarkan (dan sebenarnya saya paham sekali apa yang sedang diurusnya), di awal-awal kami duduk menunggu Maghrib, suami masih disibukkan dg chat WA di HPnya.
Tak bisa dihindarkan, jika sudah duduk semeja, anak-anak mulai berebut perhatian mengajak interaksi orangtuanya. Saya fokus dengan kakak yang minta setoran hafalan, sedangkan duo H dan A mulai mengajak ngobrol ayahnya dengan aneka topik (yang dalam perspektif orang dewasa), kalah penting daripada topik chat si ayah. Dan yes, singkat cerita si ayah terpaksa mengabaikan mereka. Duo A&H surut, raut mereka berubah, mungkin kecewa (yaa meski nggak model baper kaya emaknya juga kali yaa…)
Melihat situasi ini, saya mencoba membantu. Sebenarnya bisa saja saya mengajukan 'protes keras’ secara lisan kepada suami. Tetapi di sisi lain pemahaman saya, saya tahu betul urgensi chat yang sedang dilakukannya. Dan akhirnya, bahasa tubuh dan raut muka saya tidak bisa berbohong. Spontan saja sih, tak bisa saya manis-maniskan meski saya mengiyakan permintaan maaf suami. Saya ambil alih pembicaraan anak-anak, meski kenyataannya mereka sudah tak antusias lagi digantikan dengan respon serep si emak yang mana sejak awal bukan yang mereka harapkan.
Well… dan si 55% ini ternyata berhasil… Suami memutuskan menghentikan chatnya (Terima kasih Ayah, ummi tahu tidak mudah, tapi kali itu memang menjadi keputusan tertepat). Kami sudah bersepakat bahwa anak-anak adalah bagian dari prioritas utama, toh momen duduk bersama itu tak kan lebih dari 1 jam lamanya. Saya sangat menghargai keputusannya, dan dengan dalam saya berdoa semoga Allah memudahkan urusan dalam chat yang ia tinggalkan.
#level1 #day9 #tantangan10hari #kuliahBunSayIIP #komunikasiproduktif
0 notes
catatanummi · 7 years
Text
SERI KOMUNIKASI PRODUKTIF KELUARGA (8): "PIPIS YUK!"
Mbak H, 3 tahun. Hampir setiap saat jam BAK tiba saya perlu mengeluarkan energi ekstra membujuknya ke kamar mandi, mengingatkan untuk segera BAK sebelum ia benar-benar ‘kebelet’ parah. Sebab, berulangkali pula ia tergopoh-gopoh menyampaikan ‘mau pipis’, heboh berusaha buka celananya sendiri sambil menahan agar cairan tidak keluar saat itu, dan beberapa kali berakhir dengan: bocor dan dia menangis karena 'gelo’ sendiri 😅😅.
Beberapa strategi pembujukan sudah dilakukan, diantaranya menjadikan 'pipis dulu’ sebagai syarat untuk melakukan sesuatu. Misalnya, sebelum ikut ayahnya ke masjid, akan mudah memintanya BAK dulu sebagai syarat, atau saat hendak bepergian. Sebab ia tahu konsekuensi menolak adalah: tidak jadi ikut.
Strategi lain yang lebih smooth, biasanya saya lakukan saat bangun tidur. Seperti biasa, ia menolak untuk segera BAK dulu dengan berbagai alasan: 'nggak kebelet’ lah, 'nanti nggak keluar’ lah, dan semacamnya. Pagi ini (setelah beberapa kali pernah saya coba sebelumnya, dan berhasil), saya mengawalinya dengan mengobrol. Ceritanya, waktu bangunnya hampir bersamaan dengan waktu melek saya persiapan sahur pagi ini.
U : “Mbak, tau nggak. Kalau bangun tidur begini, ummi biasanya pipis banyaaaaaaak sekali. Banyaaaak, sampai nyiramnya harus berkali-kali. Alhamdulillah, ummi seneng banget, berarti ummi sehat”–saya mengawali topik ini dengan menatapnya, dan berusaha keras menampakkan binar mata sebinar-binarnya 😍😍
H : “Wooow. Ummi seneng? Aku, aku, aku juga pipisnya banyaaaaaaak sekali lho. Iya lho. Aku juga seneng”.
U : “Eh, beneran? Mbak pipisnya banyak? Sama dong kayak ummi. Toss?” –dia mengulurkan tangannya dengan antusias. Oke, on track nih. Hehe.
U : “Habis ini ummi mau pipis lagi ahhh. Pasti banyak kayak biasanya. Waaaah jadi penasaran” – saya ucapkan seheboh-hebohnya.
H : “Aku juga ah.”
U : “Weit, Mbak sekarang mau pipis? Hmm.. jadi siapa dulu nih yg mau pakai kamar mandi? Mbak dulu apa ummi dulu?”
H : “Aku duluuuu!!!”
Ujarnya sambil bergegas menuju kamar mandi, sendiri, dan keluar dengan ceria melaporkan pipis dan nyiramnya yang “banyaaaaaaak sekali” (dengan gaya bicaranya yang khas).
Okey, good job dear. Semoga ummi tak perlu cari strategi tambahan di lain kesempatan yaa 😊😊
#level1 #day8 #tantangan10hari #kuliahBunSayIIP #komunikasiproduktif
0 notes
catatanummi · 7 years
Text
SERI KOMUNIKASI PRODUKTIF KELUARGA (7): "YA, KAU BISA NAK!"
Diantara tema belajar utama yang sedang dihadapi oleh Mbak H (3y) saat ini adalah meningkatkan kemandirian, terutama dalam hal self helpnya. Alhamdulillah, sejauh ini kami tidak mendapati kendala yang cukup berarti dalam mengajarkan skill teknis self help seperti makan, melepas dan memakai celana, pipis dan menyiramnya sendiri, dan seterusnya.
Hanya saja seiring dengan perkembangan yang lain, kadang kami mendapati agak dengan santai saja dia mengatakan, “aku nggak bisa ummi…” sekadar untuk menghindari mengerjakan item-item self help tertentu. Saya kurang mengerti dengan pasti. Entah hal ini disebabkan ia hendak menagih kembali ‘perhatian’ saya versinya (=membantunya melakukan berbagai hal) yang perlahan secara otomatis mulai surut seiring dengan peningkatan kemandiriannya, ataukah karena yang lain. Sementara sih, yang pertama masih menjadi dugaan utama saya. Hehe
Beberapa kali kejadian, seusai pamit hendak pipis di kamar mandi misalnya, saya ketahui dia dengan lancar melepas celana. Pipis pun berlalu, namun diakhiri dengan aksinya berteriak-teriak meminta bantuan saya untuk membersihkan dan menyiram pipisnya–yang saya ketahui betul bahwa sesungguhnya ia sudah cukup terlatih melakukannya.
“Ummi cawik-in..!!!!!” (cawik=cebok, jawa-red)
“Lha mbak sudah bisa cawik sendiri kaaaan?”, sahut saya tak kalah berseru, biasanya sambil melakukan sesuatu dengan jarak tertentu dari kamar mandi.
“Aku nggak bisaaa!!!!”
Kalau sudah begini, saya memilih untuk turun tangan. Sebab jika tidak, biasanya momen semacam ini akan berlanjut dengan episode tantrum. Apakah lalu ia tetap membersikan pipisnya sendiri? Tentu saja tidak. Sehingga, dalam hal ini lebih mudah bagi saya memilih untuk tidak memaksanya.
Kemarin–karena sudah belajar berbagai strategi komunikasi produktif nih ceritanya, hehe– saya mencoba cara yang berbeda, dengan harapan adanya hasil yang lebih baik. Saat ia pamit hendak pipis, saya tatap matanya dan bertanya,
“Mbak, nanti bisa cawik sendiri kan ya shalihah?”, sambil menampilkan senyum termanis saya di hadapannya.
“Siap laksanakan ummi!” (ini memang salah satu kalimat favoritnya 😄😄)
Yeay! dan tantangan terselesaikan… Masya Allah. Seselesainya prosesi buang air di kamar mandi, saya sampaikan kepadanya,
“Wah.. Mbak bisa ya! Gimana, seneng nggak, bisa cawik dan nyiram sendiri?”
“Iyaa.. aku seneng!”, jawabnya sambil mengerjap-ngerjapkan mata khas ala mbak H.
“Masya Allah, ummi juga seneng banget nak! Sini-sini peluk…”
Sejauh ini, dugaan saya bahwa ia ‘berlaku begitu’ dengan tujuan ingin meminta kembali perhatian yang seolah-olah hilang, nampaknya memang tepat adanya. Kali ini saya kembali belajar, bahwa sesungguhnya melatihnya menuju kemandirian tidak selayaknya dipisahkan dengan memberikan perhatian. Proses komunikasi, dalam hal ini, teridentifikasi cukup berhasil sebagai media penting dalam mencurahkan perhatian. Strategi yang saya terapkan berupa (1) intensity of eye contact, (2) mengganti kata tidak bisa menjadi bisa, dan (3) menunjukkan empati-apresiasi ternyata cukup manjur dalam membantu Mbak H menumbuh-kuatkan kemandiriannya di usia 3 tahun.
#level1 #day7 #tantangan10hari #kuliahBunSayIIP #komunikaaiproduktif
0 notes
catatanummi · 7 years
Text
SERI KOMUNIKASI PRODUKTIF KELUARGA (6): "MENASIHATI DENGAN KISAH"
Salah satu strategi yang dianjurkan dalam mata kuliah komunikasi produktif di Institut Ibu Profesional terkait cara berkomunikasi dengan anak-anak adalah mengganti nasihat dengan refleksi pengalaman. Beberapa waktu lalu saya pernah mencobanya, dan Masya Allah, hari ini saya sangat merasakan efektivitas dampaknya. Malam ini, kami pulang dari sebuah acara buka bersama dengan lokasi cukup jauh dari rumah. Sampai di rumah selepas isya, terus terang saya sendiri merasa cukup lelah dan sudah merencanakan untuk segera beristirahat. Demikian juga anak-anak, saya sangat memaklumi jika mereka juga memutuskan hal yang sama. Diluar dugaan, Kakak T 'menagih' jatah waktunya untuk didampingi membaca Al-Quran. Padahal mata saya sudah amat kriyip-kriyip mengantuk sekali. Dan saya lihat, sebenarnya iapun begitu. "Ayo ummi... hari ini aku belum baca..." Masya Allah, saya sangat terharu, beruntung sekali Allah membukakan hatinya untuk melakukan apa yang kami yakini baik, dengan tanpa beban. Antusias bahkan. ------- Flashback: Sebelumnya, tidak mudah bagi saya mengajak Kakak T mengaji dengan disiplin dan kesadarannya sendiri. Alhasil, tiap menjadwal waktu membaca Qur'an baginya setiap hari untuk saya dampingi (ceritanya si kakak belum 100% lancar membaca, sehingga harus selalu saya dampingi), ekspresi bersungut-sungut lebih sering saya temui dari pada mata yang berbinar-binar. Aneka upaya memotivasi sudah dilakukan. Mulai dari membedah 'pahala' membaca, bagaimana kitab ini menjadi pedoman hidup, dan seterusnya, telah saya coba. Ada yang salah nih, dengan cara saya. Begitu pikir saya kemudian--waktu itu. Menyadari bahwa hasil belum sesuai harapan, saya ubah strategi. Entah bagaimana, qadarallah yang terpikir waktu itu adalah refleksi pengalaman masa kecil saya dulu: ayah & ibu saya tidak bisa mengaji, lalu saya dan kakak-kakak dikirimkan untuk mengaji rutin pada seorang guru tiap malam. Kami harus berjalan kaki cukup jauh selepas Maghrib dalam situasi yang tidak cukup nyaman, sebab kami tinggal di desa dan waktu itu belum ada listrik di daerah kami. Saya ceritakan detail prosesnya, termasuk perjuangan saya bahkan untuk sekadar menahan diri untuk membatasi jumlah ayat yang 'dibaca&setorkan' kepada Ustadz hanya demi berbagi waktu dengan teman-teman lain yang sudah mengular dalam antrian panjang. Kesimpulannya, Kakak sangat beruntung. Ummi bisa mengajari sendiri, bisa belajar di rumah, semua fasilitas mudah, dan bisa baca sebanyak apapun tanpa harus terbatas waktu hanya karena antrian. "Masya Allah. Maka nikmatNya yang mana yang layak kita dustakan? " -------- Setelah itu semua menjadi lebih mudah. Tak ada lagi ogah-ogahan, rengekan dan semacamnya. Bahkan lebih sering ia yang mengingatkan saya, meminta: "aku belum ngaji sama ummi...". Memang belum banyak yang ia baca dalam sekali duduk, tapi kesediaan dan antusiasmenya adalah hadiah 'mahal' yang amat sangat saya syukuri hingga saat ini. Terpanjat doa dan harap, mudah-mudahan ia istiqomah dan semakin cinta dengan kalamullah. #level1 #day6 #tantangan10hari #kuliahBunSayIIP #komunikasiproduktif
0 notes
catatanummi · 7 years
Text
SERI KOMUNIKASI PRODUKTIF KELUARGA (5): "KETIKA EMAK BERSALAH"
Siapa bilang orangtua selalu benar? Siapa bilang orangtua tak boleh marah? Tak bisa lelah? Nah... inilah kombinasi yang terjadi pada diri saya hari ini. Saat kondisi badan kurang fit, kelelahan ekstra menerjang, dan... kurang variasi kegiatan. Ya, jujur saja rutinitas yang berjalan amat cepat selama romadhon membuat stres sampai kadar tertentu bagi seseorang dengan bakat disiplin rendah seperti saya ini. Bermula dari persoalan-persoalan sepele: Mbak H tantrum meminta jatah 15 menit bergadget pada waktu diluar kesepakatan kami. Inhale, exhale. Masih terkendali dengan menjaga intonasi tetap rendah, merespon seperlunya dan berusaha tidak terpancing dengan tangisannya yang menyayat jiwa. Selanjutnya, Mas A yang kurang berhati-hati bermain sehingga berulangkali menabrak saya pada posisi berbaring, mulai dari kepala, hingga perut buncit berisi dede bayi. Mulai deh susah mengontrol emosi, apalagi diiringi semakin tingginya kebutuhan jasad ini untuk sekadar rehat sejenak. Si sulunglah yang akhirnya jadi sasaran empuk emosi emaknya yang makin tak karuan. Sejak pagi ia memamg sudah berkomitmen menyelesaikan salah satu aktivitas yang ia pilih sendiri: belajar menulis halus di buku aktivitas yang telah tersedia. Saya pesankan kepadanya untuk berlatih menjaga fokus dalam menyelesaikan hal sekecil apapun. Tak bersambut, aktivitas menyalin 2 huruf secara berulang yang sedianya membutuhkan waktu kurang dari 30 menit, dalam 5 jam ternyata belum tuntas. Tanpa perasaan bersalah (sebagaimana yang saya harapkan), ia datang dengan entengnya menunjukkan pekerjaan yang belum selesai. Dengan antusias ia juga menunjukkan 'hasil' improvisasinya membuat aneka huruf acak yang tak sesuai 'perintah' di kotak-kotak tempat menyalin huruf yang harusnya dipelajari saat itu. "Ini aku buat teka-teki," katanya. Saya? Sudah berusaha mengerem sih, tapi akhirnya emosi itu meluap juga. Tak sampai marah-marah memang, 'hanya' mengomel doang (haissssh apa bedanya coba wkwkwk). Berceramah tentang kesepakatan, tentang pentingnya fokus, dan arti kepercayaan. Berat banget tho ngomongnya 😅😅. Padahal sambil ngomong saya juga sambil mikir lho: duh, salah nih. Harusnya tidak begini. Melihat dari sisi lain, bukankah tetap ada kreativitasnya membuat teka-teki dari huruf acak yang HARUSNYA juga perlu diapresiasi? (Semakin takjub deh sama kemampuan multitasking perempuan. Bisa juga yak, sambil ngomel sambil mikir hehehe) Bismillah dalam hati, saya hentikan omelan tanpa peduli sudah titik ataukah masih koma. Di depan Kakak T saya istighfar, meminta ampun pada Allah. Lalu meminta maaf padanya, mengaku bahwa saya salah. Dengan hati-hati dan kalimat seperlunya, saya akui bahwa memang saya sempat 'gelo'. Saya tatap matanya, lalu saya sampaikan juga permohonan maaf dengan sungguh-sungguh, dan mengatakan dengan jujur bahwa karyanya layak saya apresiasi. Keren, saya bilang. Meski saya sadar bahwa the right moment untuk mengucapkannya sudah beberapa saat lalu saya lewatkan. -------- "Ummi khilaf, ummi insya Allah bersungguh-sungguh berusaha untuk memperbaiki cara ummi menyampaikan maksud ke kakak, tanpa marah-marah. Maukah kakak berjanji untuk lebih bersungguh-sungguh juga dalam melatih fokus dan komitmen Kakak?" "Insya Allah, ummi" Nyesss. Lega membuncah. Untung sempat ngerem. Untuk sempat sadar. Untung sempat bisa langsung minta maaf. Case closed. Alhamdulillah... See? orangtua bisa salah, sangat mungkin salah, bisa jadi sering bahkan. Pilihan berikutnya adalah bagaimana meneladankan sikap saat menyadari kesalahan tersebut. Saya yakin, dengan komunikasi yang baik dan benar masalah siapa yang salah ini adalah masalah sepele yang dapat diselesaikan dengan tuntas dan husnul khatimah. Asalkan tiap individu, terutama penyampai pesan, sadar betul tentang kenyataan bahwa ia lah yang paling bertanggungjawab atas tersampaikannya maksud yang hendak dikomunikasikan. Yes, everybody will always be the most responsible one for his/her communication result. #level1 #day5 #tantangan10hari #kuliahBunSayIIP #komunikasiproduktif
0 notes
catatanummi · 7 years
Text
SERI KOMUNIKASI PRODUKTIF KELUARGA (4): "COUPLE TIME"
Hari ini para ibu di grup WA perkuliahan Bunda Sayang IIP sempat berdiskusi mengenai dinamika komunikasi dengan pasangan yang (menurut sebagian besar yang berdiskusi disana) katanya lebih rumit daripada berkomunikasi dengan anak-anak. Sebenarnya saya ingin ikut juga bergabung dalam diskusi, namun akhirnya urung karena kehadiran saya dalam grup saat itu amat sangat terlambat, kan garing juga jadinya kalau dipaksakan. Bikin krik-krik. 😅
Selama 8 tahun lebih perjalanan kami berumahtangga, seingat saya persoalan komunikasi dengan suami belum pernah (atau barangkali tidak pernah saya anggap) menjadi kendala. Tidak ada tips muluk-muluk yang kami terapkan, hanya saja ada 2 hal yang kami sepakati untuk ‘dirawat’ bersama.
——- Pertama, sejak memutuskan menikah kami sadar betul bahwa kami bersama sebagai sebuah tim yang saling melengkapi. Kami tahu bahwa kami sama sekali berbeda. Namun alih-alih mempersoalkan kekurangan, sebagai sebuah tim kami bersepakat untuk saling bekerjasama dengan ‘kelebihan’ yang masing-masing miliki. Ya, sinergi, bukan sekadar saling mengkoreksi.
Tak perlulah saya mempermasalahkan suami yang tidak romantis, tidak suka dengan kejutan, apalagi masalah kepekaan menangkap bahasa batin saya. Kemampuannya menata cara berfikir&bertindak saya dan anak-anak, serta perannya dalam menanamkan visi jauh ke depan, sudah jauuuh lebih dari cukup untuk kami. Tantangan saya adalah membantunya mensiasati kelemahan, misalnya dengan meminta dipuji setelah berdandan, menentukan sendiri hadiah yang diinginkan di momen tertentu, atau membuat juknis hal-hal perihal bantuan yang saya harapkan darinya pada saat tertentu (beneran juknis, saya ketik dan print out! 😂).
Entah mana ayam mana telur (tidak tahu mana yang lebih dulu ada lalu menjadi penyebab atas kemunculan yang lainnya), dari suami saya juga mendapatkan perlakuan serupa. Berbagai kekurangan saya tidak membuatnya sering murka (kayaknya sih begitu… wkwkwk, semoga tidak salah merasa), dan ia selalu mendukung saya mengembangkan sisi terkuat pada diri yang saya punya.
Belakangan kami pelajari lebih lanjut, bahwa kenyataannya memang setiap individu memiliki misi hidup spesifik yang erat kaitannya dengan ‘kekuatan’ yang dimiliki. Kelemahan tetap ada, dan memang perlu disiasati. Tapi tidak untuk dibesar-besarkan apalagi sampai menyita perhatian. Lalu ketika dua individu bertemu, akan muncullah misi keluarga. Saya meyakini disinilah rahasia ‘jodoh’, bahwa Allah mempertemukan dua individu untuk misi bersama tertentu yang menjadi bagian dari garis takdir dan skenarioNya.
——- Kedua, sebagai sebuah tim yang harus bisa saling menopang dan melengkapi, yang kami perlukan adalah banyak mengobrol. Maka hingga saat ini, sejak hanya berdua hingga kini berlima (dan sebentar lagi insya Allah berenam), satu momen yang kami agendakan secara khusus adalah mengobrol berdua, tentang apa saja. Tentang pekerjaan, tentang hobi, tentang politik, dan sekarang yang termasuk cukup mendominasi adalah tentang anak. Agenda ngobrol berdua atau bahasa kekiniannya 'couple time’ ini kami lakukan sambil dinner, berboncengan motor, bersepeda bareng, atau sekadar chat WA saat suami sedang tugas diluar kota. Berdua saja, tanpa anak-anak.
Contohnya beberapa saat sebelum saya menuliskan ini; setelah semua anak-anak terlelap kami berdua menyengaja 'melipir’ ke warung bakmi Jawa di kampung sebelah. Selain urusan perut bumil yang sudah menuntut dinner kedua setelah menu buka puasa tadi (ketahuaaaaan 'dhokoh’–gampang lapar, red), momen semacam ini kami rancang untuk mendiskusikan banyak hal. Yang pasti masuk topik utama adalah perkembangan anak-anak selama beberapa hari belakangan. Ya, ini penting karena nyatanya setiap hari kami tidak bisa terus-menerus mendampingi anak-anak bersama-sama. Padahal, sebagai sebuah tim kami memiliki tanggungjawab bersama dan harus saling melengkapi peran pendampingan. Disinilah kami akan saling bertukar cerita, pengalaman, dan perasaan. Apa yang kami dapatkan sesudahnya? Komitmen yang meningkat untuk lebih menyempurnakan lagi pendampingan di hari-hari berikutnya. Sesederhana itu, tapi efeknya luar biasa. Alhamdulillah.
Jujur saja, selain bab perkembangan anak-anak, tidak semua topik sama-sama kami pahami dan sukai. Saat suami menceritakan serunya berkegiatan bersama komunitas sepeda, belum tentu 100% saya paham pembahasan apalagi terjamin ikut menyukainya. Begitupun sebaliknya, saat saya menceritakan bagaimana serunya forum belajar di komunitas ini-itu, belum tentu juga suami memahami dan menyukai seluruhnya.
Kami hanya sadar bahwa sebagai sebuah tim, kami perlu memahami pemikiran dan pengalaman satu sama lain. Untuk terus bertumbuh bersama, kedua pemahaman ini harus kami update terus menerus, sebab kenyataannya kejadian sehari-hari yang dialami telah menumbuhkan tiap individu. Ya, untuk terus tumbuh dan saling menopang dalam perjalanan kami selanjutnya, kami harus sama-sama mengetahui 'pertumbuhan’ jiwa dan pemikiran masing-masing.
Baru saja saya ketahui dari perkuliahan Ibu Profesional, bahwa proses understanding dan updating semacam ini disebut dengan penggabungan Frame of Experience (disingkat FoE, atau bingkai pengalaman) dan Frame of Reference (disingkat FoR, atau bingkai sudut pandang) yang menjadi bekal komunikasi produktif antar pasangan.
Masing-masing individu memiliki FoE dan FoR yang pastinya berbeda. Tugas kita sebagai kawan hidup adalah terus-menerus saling berbagi FoE dan FoR untuk saling memahami, agar tiap individu dapat 'menempatkan’ diri pada situasi dan konteks komunikasi yang tepat. Couple time (sekali lagi: tanpa anak-anak) sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan tiap pasangan perlu dilestarikan, bahkan diagendakan, karena menurut saya cara ini sangat efektif untuk terus menjaga komunikasi apapun antar suami istri tetap berada pada frekuensi yang sama.
#level1 #day4 #tantangan10hari #kuliahBunSayIIP #komunikasiproduktif
0 notes
catatanummi · 7 years
Text
SERI KOMUNIKASI PRODUKTIF KELUARGA (3): "FAMILY FORUM"
Prinsip ‘choose the right time’ dalam komunikasi produktif kami wujudkan secara teknis dalam beberapa forum keluarga yang sengaja kami agendakan secara khusus. Ada forum baca hadits, forum pagi, dan forum malam yang frekuensinya (kurang lebih) harian. Jangan dibayangkan ini menjadi forum resmi ala-ala rapat kantor ya… Kecuali forum baca hadits yang memang biasanya kami lakukan melingkar di pojok perpus rumah (daripada gotong-gotong buku hadits yg tebal pindah dari perpus, mending kita yang ngumpul disana bareng), forum lainnya kadang kami lakukan sambil makan bersama, sambil duduk-duduk santai di ruang tamu, sekadar gelosotan di karpet, atau ngobrol santai pas pada nongkrong bareng di salah satu kamar tidur keluarga.
Dengan forum-forum obrolan ringan ini, kami berkesempatan untuk diskusi banyak hal yang sifatnya 'netral’. Tak jarang kami masukkan nasihat yang berhubungan dengan 'the most frequent unexpected incident’ belakangan, dengan berbagai strategi: bercerita, baca buku, atau dikaitkan dengan pembahasan hadits yang sedang dibaca (jika saat forum baca hadits). Asyiknya, karena semua dalam situasi emosi stabil tidak ada kesan menghakimi ataupun menggurui. Yup, waktu yang tepat untuk menyampaikan pesan dan nilai positif yang kami harapkan, justru di forum-forum semacam ini. Saat insiden terjadi–katakanlah berebut mainan misalnya, tetap kami ingatkan seperlunya. Hanya saja dalam situasi chaos, kenyataannya belum tentu semua pihak dapat menerima pesan yang disampaikan dengan baik. Selalu saja masih ada yang belum legowo, sebab emosi masih mendominasi disini.
Forum pagi tadi contohnya, sambil makan sahur kami lakukan briefing sederhana terkait aktivitas sehari ini.
U: Pagi sampai siang ini ummi ada acara tasmi’ Qur'an… ada yang mau ikut? T: Berapa lama? (kakak T mengklarifikasi) U: 4 jam. Silakan yang mau ikut, sangat ummi perbolehkan, dengan catatan… bla bla bla… (saya lanjutkan dengan mendeskripsikan bentuk acara dan konsekuensi adab yang harus mereka jaga di dalam majelis). T: Aku di rumah saja ummi, boleh ke tempat Tante? A: Aku juga mau sama kakak, ke tempat Tante boleh? U: Boleh… Umi berpesan, selama disana… bla bla bla… (saya sampaikan adab yang perlu mereka jaga selama berkunjung), bagaimana? T&A: Baik, ummi… insya Allah.
Kurang lebih seperti di atas redaksi dialognya, meski tidak sama persis karena dilakukan dalam situasi yang jauh lebih santai. Ketika semua sepakat dan telah terbahas hingga agenda sore, 'briefing’ kami anggap cukup.
Waktu yang tepat, dalam konteks perbincangan pagi ini memudahkan saya untuk menerapkan juga prinsip 2C dalam komunikasi (clear and clarify). Masing-masing bisa dengan langsung mengklarifikasi maksud pesan yang disampaikan. Harapan saya, hal ini meminimalisir kekisruhan yang terjadi baik ketika kami memutuskan beraktivitas bersama maupun terpisah. Hingga saya menuliskan catatan ini, Alhamdulillah apa yang kami harapkan sama-sama tercapai, tidak ada komplain satu sama lain, semua ceria, sehingga saya simpulkan proses komunikasi yang kami lakukan pagi ini cukup efektif.
Secara lebih lanjut, kegiatan hari ini akan kami evaluasi kembali di forum malam. Lagi-lagi, jangan bayangkan persidangan seram yaa. Hehehe. Biasanya sambil duduk-duduk jelang buka, atau ngemil-ngemil habis isya kami akan ngobrol lagi dengan pertanyaan yang sama setiap hari: “Apa perbuatan baik yang sudah dilakukan hari ini? Bagaimana dengan besok, apakah siap berbuat baik lebih banyak lagi?”
Tidak ada penghakiman, begitulah forum malam kami rancang. Kami memilih fokus pada menguatkan hal positif (=perbuatan baik) yang sudah mereka lakukan, agar semua menutup hari dengan bersyukur serta diikuti semangat memperbaiki amal sholih di hari berikutnya. Tak perlu kami ungkit 'kesalahan’ mereka hari itu. Cukup menjadi PR bagi kami orangtuanya memikirkan cara dan waktu yang lebih pas untuk menyampaikan nasihat terkait ke-belum-ideal-an mereka yang kami ketahui. Sehingga, bahkan jawaban sederhana mbak H (3 thn),“berusaha kompak”-sebagai laporan perbuatan baiknya hari ini, jauh lebih kami hargai daripada sekadar saling melaporkan konflik remeh remeh satu sama lain yang (kami yakin) bahkan mereka sudah melupakannya.
Setiap keluarga tentu memerlukan formula sendiri dalam merancang family forum. Yang ingin saya bagikan kepada pembaca adalah: bahwa bagaimanapun bentuknya, forum (dengan tujuan yang sama) semacam ini sangatlah penting. Tinggal bagaimana kita berupaya mencari bentuk yang paling pas dengan keunikannya. Kalau belum cocok dengan satu bentuk, jangan pernah lengah untuk berusaha mencari alternatif gaya lainnya. Asal giat berusaha, bukankah 'jodoh’ (dalam hal ini bentuk forum yang pas) tak kan lari kemana?
#level1 #day3 #tantangan10hari #kuliahBunSayIIP #komunikasiproduktif
0 notes
catatanummi · 7 years
Text
SERI KOMUNIKASI PRODUKTIF KELUARGA (2): "BANGUN PAGI"
Kakak T menginjak usia 7 pada tahun lalu. Sebagai muslim maka di tahun tersebutlah mulai dikenalkan kewajiban-kewajiban syariat yang mengikat baginya, termasuk shalat. Untuk dhuhur hingga isya, ajakan shalat memang lebih mudah dilakukan karena ia dalam kondisi sadar dan terjaga–tidak demikian halnya dengan shalat subuh. Perlu strategi ekstra untuk membangunkannya di awal waktu agar subuhnya tidak terlambat.
Begitu pula bulan Ramadhan ini, tantangan yang sama terkait membangunkan si kakak muncul karena ia memilih menjalankan shalat tarawih di akhir malam sebelum sahur. Ya, kami sengaja mengenalkan shalat tarawih secara utuh, bahwa meskipun masyarakat umumnya melaksanakan shalat tarawih selepas isya, shalat ini bisa dikerjakan di akhir malam. Masya Allah, ternyata dia memilih waktu akhir malam untuk menjalankannya. Alhamdulillah, hitung-hitung belajar shalat malam dan belajar kekhusyukan.
Kami berjamaah tarawih di rumah, kadang komplit dengan ayah dan Mas A, kadang berjamaah dengan saya saat ayahnya harus menenunaikan amanah sebagai imam tarawih ba'da isya di masjid. Yang secara khusus akan saya bahas disini adalah proses membangunkan kakak T, karena memang dari segi usia dia seharusnya lebih siap. Tidak ada beban bagi kami tentang proses membangunkan mas A, karena baginya semua proses pengenalan terhadap kewajiban dan aturan disesuaikan dengan tahapan tumbuh kembangnya.
Untuk membangunkan Mas A, adiknya, saya atau suami lebih sering menggendongnya keluar kamar untuk membantu dia lebih cepat bangun. Tentu saja tidak mungkin cara ini berlaku bagi kakak. Tubuhnya panjang dan jauh lebih berat, susah ngangkatnya. Wkwkwk. Cara ‘biasa’ yang dulu sering saya lakukan, adalah memanggilnya pelan-pelan, pakai rayuan, dan… meskipun prosesnya cukup lama (15 menitan), Alhamdulillah ia berhasil bangun tanpa memancungkan bibir–cemberut.
Terbukti lebih mangkus dan sangkil, berikut ini cara yang hingga kini lebih sering–bahkan hampir selalu–saya gunakan untuk kakak T.
1. Mendampingi proses ‘bed time'nya semampu saya agar sunnah-sunnah sebelum tidur terjaga, serta membangun kesepakatan–jam berapa ia akan bangun. Kalau dalam bahasan komunikasi produktif dengan pasangan (orang dewasa), barangkali lebih dekat dengan konsep ‘choose the right time to communicate’. Fase sebelum tidur ini adalah fase netral dimana dialog yang sefrekuensi bisa lebih mudah dibangun.
2. Membangunkan dengan metode hitungan. Siapapun perlu proses untuk menghidupkan saklar-saklar ‘on’ nya pasca tidur. Ibarat komputer, loading lah bahasan mudahnya. Saya mencoba membiasakan memberikan jeda tertentu baginya untuk proses ini, dengan menghitung 1-10 dengan tempo yang cukup lambat, sambil menepuk-nepuk tangan atau menggoyangkan badannya perlahan agar ia menyadari hitungan saya. Dan… hupp! Biasanya tak sampai sepuluh ia sudah duduk, tersenyum, lalu mengucapkan doa bangun tidur, baru kemudian bangkit. Setelah dicek lagi, cara ini bersesuaian dengan prinsip ‘fokus pada solusi/yang akan dilakukan’, sehingga proses ‘memerintah untuk bangun’ tidak berkutat pada pembicaraan–atau bahkan omelan yang tidak perlu, tetapi lebih kepada bagaimana dia terbantu untuk bangun pada waktu yang telah disepakati.
3. Memodifikasi metode hitungan. Kadang pada fase sadarnya yang pertama setelah mulai saya bangunkan, saya akan bertanya kepadanya, “Kakak mau dihitung sampai lima atau sampai sepuluh?” Ya, meskipun pada praktiknya dengan hitungan lima pun saya akan memberikan jeda lebih panjang antar nomor sehingga total proses menghitungnya tetap sama.
Kenyataannya, dengan adanya pilihan dia memiliki ruang untuk memutuskan sendiri proses mana yang akan dia pertanggungjawabkan. Seperti pagi ini misalnya, dia lalu menjawab, “sepuluh”. Ya, modifikasi menurut saya perlu agar metode ini tidak menjemukan. Dan hupp! di hitungan ke 9 dia sudah bangkit dari tidur dengan sendirinya. Modifikasi ini dekat dengan prinsip “mengubah perintah menjadi pilihan”, dan ternyata cukup mewarnai variasi cara membangunkan di pagi hari.
— Alhamdulillah, ketiga cara yang saya paparkan di atas terbukti cocok diterapkan pada kakak T dengan segala karakteristiknya. Saya yakin, belum tentu cara yang sama akan berlaku pada adik-adiknya kelak. Tapi baiklah, mari tarik nafas dulu dengan capaian kali ini. Mudah-mudahan setelah setahap demi setahap keterampilan meningkat, saya akan menemukan cara lebih jitu lagi untuk setiap anak nantinya. Semoga bermanfaat :)
#level1 #day2 #tantangan10hari #kuliahBunSayIIP #komunikasiproduktif
0 notes
catatanummi · 7 years
Text
SERI KOMUNIKASI PRODUKTIF KELUARGA (1) : "SIAPA MANDI DULUAN?"
Sebagai seorang ibu dengan 3 anak di bawah 8 tahun, diantara ‘keributan’ yang otomatis selalu terjadi setiap hari (dua kali dalam sehari bahkan), adalah saat tiba waktu mandi. Ibarat radio soak, hampir setiap pagi dan sore yang saya lakukan adalah memberikan persuasi dengan berbagai cara agar si trio krucil segera mengeksekusi perintah mandi dari ibu suri. Yang sering berulang kejadian seperti ini:
U: “Ayoo kakak, mandi sekarang… sudah hampir maghrib lho…” T: “Iya, ummi… bentar… nanggung nih baca bukunya. Itu lhooo adek-adek lagi nggak ngapa-ngapain, aku terakhir aja”.
hmmm…. baiklah…
U: “Mas, mandi dulu yuk. Biar segar, dan bersih badannya” A: “Kenapa…aku yang disuruh duluan..Kan aku anak kedua jadinya mandi kedua”
hadeeeh…😚😚 oke, kita coba yang ketiga.
U: “Mbak, mandi ya… biar wangi…. nanti boleh pilih baju sendiri” H: “Kenapaaa?” (ceritanya ini lagi jadi kalimat favorit) U: “Mandi itu sehat..biar bla bla bla…” H: “Nggak mau ah.”
Hiyaaaa. Memang kudu siap dapat jawaban beginian khusus dari si no.3, muter lagi deh cari cara merayu si dua yang lainnya.
—- Contoh percakapan diatas adalah kondisi yang terjadi dengan banyak syarat dan ketentuan berlaku….wkwkwk. Bahasa sederhananya: ibu suri lagi selo pikiran, tenaga, waktu dan perasaan sehingga masih mau meluangkan energi untuk melalukan dialog dua arah.
Kisahnya akan berbeda ketika peristiwa terjadi pada pagi hari, tepatnya saat prosesi persiapan sebelum jadwal keberangkatan ke sebuah agenda/acara yang mana saya (entah sendiri atau dengan suami) harus pergi dengan membawa rombongan fullteam. Mana sempat dialog-dialogan gini. Paling ekstrim, cari mana yang paling selo, gandeng ke kamar mandi, dan kondisikan dengan segera agar mereka (satu per satu) segera melakukan tahapan-tahapan mandi, sesuai kemampuan tentunya.
Capek? Tentu saja. Tapi cara ini saya akui paling efisien dari segi waktu. Cepet selesainya. Ya, meskipun kemrungsungnya jadi double karena saya pun harus menyiapkan diri sendiri sesudahnya, untuk mengejar waktu. Tidak jarang saya lakukan sambil bersungut-sungut.. atau kadang (cieee guayane ‘kadang’), sambil mengomel. Hehehe.
—-
Lelah dengan situasi semacam ini, apalagi saat membayangkan si no.4 yang sebentar lagi hadir, saya mulai mencari alternatif cara lain. Saat berbagai kalimat positif ternyata tak cukup mampu menertibkan ritual mandi di keluarga kami, Alhamdulillah tiba-tiba saja saya dapat ‘ilham’ berupa ide sederhana yang ternyata cukup jitu mengakselerasi progres kebiasaan bersegera mandi saat waktunya tiba.
U : “Kita hompimpa yuuuk semuanya. Yang menang duluan, boleh pilih mandi nomor 1,2,3, atau 4 sesuai yang dengan urutan mandi yang diinginkan, siapa mau?” Sesuai dugaan, ketiganya serempak menjawab: “Akuuuuu!”
Hompimpa pun kami lakukan untuk menentukan urutan. Semua terlibat, semua senang, dan–luar biasanya–semua komitmen dengan urutan yang didapatkan, masing-masing memiliki ruang untuk memilih nomor yang lebih disukai dari nomor-nomor yang masih tersedia saat menang hompimpa. Sengaja saya melibatkan diri dalam penentian urutan mandi bagi saya sendiri, agar mereka makin merasakan bahwa kesepakatan ini 'milik bersama’. Tidak ada superioritas sang ibu suri yang biasanya cuma memerintah dengan cara yang sangaaaatt tidak asyik.
Apakah saya merasa rugi kehilangan superioritas itu? Tentu tidak, karena harapan terbesar saya adalah bagaimana upaya 'memberikan perintah’ bisa bertransformasi menjadi proses yang menyenangkan bagi semua. Dan menghemat tenaga serta emosi saya, tentunya (ingattt harus tetap waras karena masih banyak rentetan 'tugas’ menanti diluar hal remeh remeh urusan mandi 😂😂).
Strategi hompimpa ini berhasil mengubah antusiasme anak-anak selama kurang lebih 5 hari ini. Setelah belajar komunikasi produktif, ternyata apa yang saya lakukan bersesuaian dengan prinsip “mengubah perintah menjadi pilihan”, serta “menyampaikan pesan dengan ekspresi dan cara yang menyenangkan”. Sejauh ini cara tersebut cukup efektif untuk mengelola aktivitas rutin lain yang serupa untuk anak-anak dengan perbedaan usia yang cukup dekat di keluarga kami.
Hmmm… kira-kira apalagi yaa yang bisa saya bagikan terkait tantangan komunikasi produktif untuk esok hari? Lets see…
#level1 #day1 #tantangan10hari #kuliahBunSayIIP #komunikasiproduktif
0 notes
catatanummi · 7 years
Text
"SUDAH BERBUAT BAIK APA HARI INI?"
Adalah pertanyaan sederhana: mudah dipahami, serta mudah jawabannya--sehingga cukup efektif kami gunakan untuk menguatkan hal-hal positif pada anak-anak. Lalu dg sederhana, masing-masing akan 'presentasi' apa hal baik yang sudah dilakukan selama satu hari tersebut. Asyiknya, masing-masing kemudian akan menceritakan apa 'perbuatan baik' yg sudah dilakukan secara bergantian, misalnya: A (4y) : kompak sama adik, mandiri, tidak merepotkan orang lain, membantu ayah bawakan es batu, tidak sengak-sengek (bahasa kami untuk istilah 'rewel') T (7y) : hari ini aku ikut pengajian, belajar sama ummi (ceritanya ikut saya pelatihan selama seharian), bisa memenuhi kesepakatan, dan sholat tepat waktu, menambah kenalan baru (plus nyebutin nama---biasanya ia mudah lupa dg nama orang meski sudah ngobrol dan main ngalor ngidul bareng) H (3y) : jaket, sholat, pisang, ngaji (hihihi, udah deh iyain aja... dg nyebut sholat dan ngaji saya berhusnudzon penuh bahwa ia mulai memahami maksud 'perbuatan baik') Saya dan ayahnyapun turut serta, melaporkan sampai dg hal yg paling sederhana untuk membantu mereka makin mengidentifikasi mana 'perbuatan baik', seperti: berolahraga, mendoakan anak-anaknya, semangat menuntut ilmu, dan seterusnya. Tak muluk-muluk, bahwa yg dimaksud perbuatan baik adalah apapun yg diniatkan kebaikan, serta mengharapkan ridho&balasan dari Allah. Ritual ini kami lakukan malam hari, dan Alhamdulillah, dg demikian semuanya kemudian menutup hari dengan bahagia dan penuh syukur. Lebih greget lagi endingnya: "siapa yg besok mau berbuat baik lebih banyak lagi?" Serentak semua mengacungkan tangan dan berseru: "aku!!" 😇😇 --- Alhamdulillahilladzi bini'matihi tatimmushshalihat #homebasededucation #menumbuhkanfitrah #familyforum #familyengagement #ICstory
0 notes
catatanummi · 7 years
Quote
KONSISTENSI
Di saat keluarga menjadikan adab menjadi salah satu diantara prioritas concern dalam pendidikan, role-modelling merupakan kunci utama. Sebab, segigih apapun kita 'mengajarkan', tak kan sampai adab tumbuh jika keteladanan tidak subur menghiasi hari-hari keluarga. Jujur, ini menjadi tantangan besar bagi kami, terlebih lagi saya sebagai ibu yang dari segi waktu lebih banyak berinteraksi dengan anak-anak. Antara sama-sama sedang belajar, dan menjadi pedoman pertama untuk mencontohkan konsistensi dalam hal adab. Beruntunglah kami, Allah mengirim langsung pertolongan yang sangat membantu saya dalam mengurus persoalan konsistensi. Guru pertama (bahkan nomor 2 setelah suami 😅😅) yang sangat menempa saya untuk menjaga satu hal ini: konsistensi. Pertolongan langsung Allah ini hadir setiap hari, dalam wujud seorang anak laki-laki berusia 4,5 tahun: Akif. Membawa 'gen' logis-cermat-konsisten dari Ayahnya, perkembangannya melesat sangat cepat untuk urusan ini. Inilah alasan saya menerima teori dan tools Talents Mapping, bahwa nyata-nyata ada 'bakat' atau karakter kinerja positif yang sudah terinstall secara unik dan khas pada seseorang, yang akan tumbuh menjulang dengan mudah secara alamiah, diluar hal-hal baik lainnya yang bisa diusahakan. Akif, yang sejak usianya yang keempat, sudah terlibat dalam diskusi kami dan mulai mengidentifikasi bahwa 'konsistensi' adalah (salah satu) kekuatannya yang patut dijaga. Dengan mesam-mesem khas ia menerima kebanggaan itu, dan mulai menjalankan perannya dengan suka cita. Rasa keadilan, menegakkan kesepakatan, mengukur keterkaitan dan sebab akibat, berkomitmen dg hal yg teridentifikasi olehnya sebagai kebaikan; biidznillah, begitu mudahnya ia bisa menerima. Tak jarang saya menjadi sasaran komplain karena menambah kecepatan kendaraan saat traffic light menyala kuning (hihihi, kebiasaan lama yang susah ilangnya). Ringan saja ia melepas sandal saat memasuki tempat dengan lantai keramik (termasuk toilet di tempat wisata.. dan supermarket. Kebayang kan ribetnya kalau si emak baru menyadari dia ga pakai sandal saat sudah sampai di lantai 2 😂😂). Kadang juga geli sekaligus takjub, saat dia melafalkan doa masuk rumah di Indomaret (kondisi: belum belajar doa masuk pasar), doa masuk&keluar kamar mandi berulang-ulang (hanya gara-gara bolak balik mengambil barang-barang yg tertinggal), atau berulangkali baca doa berkendara saat kaki melangkah di tiap eskalator yang dinaiki di tempat-tempat tertentu seperti bandara atau pusat perbelanjaan (bisa dibayangkan, di bandara Adisutjipto saja eskalatornya ada 3, belum bolak balik 😂). Cerita-cerita tersebut adalah sebagian saja dari kisah bagaimana consistency warrior di rumah kami ini beraksi. Tak jarang menimbulkan konflik kecil dengan kakak, adik, pengasuh, atau bahkan saya sendiri gara-gara standarnya yang cukup tinggi. Beruntunglah ada ayahnya yg paling bisa memahami dan bisa mengimbangi, rada ringan deh beban saya (maklum sakjane dibandingkan yg lain, urusan konsistensi saya tergolong lemah wkwkwk). ----- Perjalanan kami masih panjang. Masih perlu banyak diskusi, masih perlu banyak arahan agar kekuatannya ini tumbuh menjadi hal yg positif dan bermanfaat bagi ummat. Masih perlu lebih banyak observasi, dan eksplorasi. Sebab kami meyakini: tentu masih ada kekuatan-kekuatan lain yang perlu digali dan ditumbuh-suburkan. Masih perlu banyak belajar. Masih perlu lebih banyak mengadu dan memohon pertolongan Allah agar kami dimampukanNya menjaga amanah ini, mendidiknya sebagai bagian dari generasi terbaik. #edisikangenmasAkif #talentsmappingstory
0 notes
catatanummi · 7 years
Text
MEMBACA
Sebagai orangtua yg mak bedunduk dapat 'rizqi' anak-anak doyan baca... (yess, saya bukan termasuk yg telaten membacakan dongeng sebelum tidur tiap hari, atau menyediakan buku-buku bermutu sejak bayi--ini lebih karena keadaan dan prioritas anggaran yg nggak memungkinkan sih hehe); saat ini saya merasa mulai kewalahan mengikuti perkembangan membaca anak-anak, terutama si sulung Taqiyya Ulaiya. Idealnya semua yg dibaca anak kan sudah tuntas saya screening dulu ya, baru kasihkan ke anak untuk dibaca. Idealnya begitu, dan dulu masih bisa. Sekarang, kemut-kemut kalau harus kejar-kejaran dg Taqiyya yg tak sampai sehari selesai melahap buku-buku bacaan tebal tak bergambar 😅😅 (Contohnya saja baca Toto Chan, novel-novel Tere Liye, Biografi sahabat dg ketebalan sedang dll yg tiap bukunya bisa tak sampai sehari semalam sudah selesai dia baca). Mana sempattt--halah, jan-jane pengin ngaku aja sih kalau saya tidak begitu suka membaca. Saya termasuk slow reader (baru kemarin dapat istilah slow reading: baca dikit-dikit sesuai kebutuhan, Gonta ganti buku juga sesuai kebutuhan). Lebih tepatnya membaca karena perlu saja, bukan karena kesukaan yg muncul secara alamiah. Beruntungnyaaa punya komunitas. Punya teman-teman kayak amah Qonita dan Asa G. Lizadi para penyuka sastra yg bisa saya mintai review buku yg pernah dibaca, cocok nggak untuk si anak, dan saya mantep dengan pandangan mereka karena insya Allah sudah sama-sama memahami value masing-masing. Suka minjemin buku juga... ngirit lah saya jadinya 😅😅 Menyadari kebutuhan support yg semakin meningkat, mulai deh cari komunitas baca yg lebih serius. Sampai ketemu event Reading Camp #1 yang diadakan KOBAR (Komunitas Baca Anak dan Orangtua). Habis seneng-seneng ketemu para ortu dan anak keren di komunitas ini, ehh malah dapat PR gedheeee banget bab mengasah reading skill. Tak sekadar 'ayem' karena anak sudah senang membaca, ternyata mindset critical reading harus dibiasakan juga sejalan dg membangun struktur berpikirnya (Haduuuuuh mana dulu pas matkul reading sering ngantuk dan bolosan pulak... nyezeeeeel 😂😂) Ada yg mau berbagi pengalaman dg saya yg faqir ilmu ini? Rekomendasi event? Buku? Apa aja dehhh 👏👏
0 notes
catatanummi · 7 years
Text
RAJA TEGA DAN PEMBASUH LUKA
Saya dapatkan dua istilah ini saat belajar tentang fitrah peran ayah&bunda, disampaikan oleh Ust Aad di event yang kami selenggarakan kurang lebih 1 tahun lalu. Ayah adalah 'raja tega', sedangkan ibu adalah 'pembasuh luka'. Jangan dibalik 😅😅 Seperti kejadian beberapa waktu lalu. Hujan lebat bergemuruh petir tak henti sejak sebelum subuh di tempat kami. Hari itu adalah Jumat, anak-anak ada jadwal rutin tahfizh di sekolah yang jaraknya tak kurang 18km perjalanan dari rumah. Siapapun, bahkan orang dewasa sekalipun, normalnya memilih santai di rumah dengan hujan selebat itu yg tak ada pertanda segera berhenti. "Sudahlah, biar anak-anak belajar di rumah saja dengan ummi, insya Allah nambah hafalan di rumah" -- saya bilang Tapi tidak dengan si ayah, yang tetap memutuskan untuk berangkat meski saat itu satu-satunya pilihan kendaraan yang ada hanyalah motor roda dua. Pagi-pagi, hujan deras, alamat basah kuyup meski pakai jas hujan serapi apapun. Ditambah si duo kakak beradik yg tak jarang terkantuk-kantuk bersama (satu di depan satu di belakang) setiap perjalanan dg menggunakan motor. Bismillah, saya memutuskan diam, menahan diri. Menyiapkan berbagai keperluan antisipasi: jas hujan ekstra, baju ganti, baju hangat, dan semacamnya. Anak-anak? mereka seneng aja membayangkan berbasah-basah sepanjang perjalanan, hujan-hujanan! 😅😅 Dan dapatlah saya tentang cerita obrolan mereka dari ayahnya sepulang mengantar. Tentang perjuangan mendatangi ilmu. Tentang kesulitan yg dihadapi para ulama di masa lalu, bahkan 'sekadar' untuk mengecek kebenaran satu hadits. "Dapat banget momentumnya, dan anak-anak berbinar-binar sepanjang perjalanan. Antusias" Saya cuma melompong, antara terharu, puas, dan lega. Bersyukur, Alhamdulillah kok ya bisa menahan diri pagi itu. Ya, kadang karena satu dan lain hal, seringkali secara tidak sadar kita keluar dari indahnya fitrah itu. Ibu yang menjadi terlalu tega, atau ayah yang dipaksa menjadi pembasuh luka. Alih-alih sukses bekerjasama, yang ada adalah rasa dongkol satu dan lain pihak. Yang satu melakukan dg terpaksa karena memang bukan ahlinya, satunya lagi merasa tidak puas sebab perilaku yang diharapkan tidak sesuai standarnya. Sejauh ini kami merasakan, bersahabat dengan kedua jenis fitrah itu justru menjadikan kerjasama pengasuhan semakin rileks, menyenangkan, dan... biidznillah, justru lebih efektif. Kuncinya mengasah kepekaan, mengetahui kapan saatnya menahan diri dan mempersilakan pasangan mengambil peran yang tepat. Komunikasi juga, tentunya.
0 notes