Tumgik
aiyasmina · 3 years
Quote
إياك أن تكوني مفعولا، كني فاعلا
Setidaknya, jangan lupa bahagia
2 notes · View notes
aiyasmina · 3 years
Quote
إياك أن تكوني مفعولا، كني فاعلا
Semangat, jangan lupa bahagia
0 notes
aiyasmina · 3 years
Text
إذا أحسست بالكسرة أتركي في قلبك فتحة تدخل منها الأحلام
Seberapa ‘hancur’nya kamu, setidaknya, tinggalkan dalam hatimu ‘lubang’ kecil di hati, agar selayaknya kamu mampu bermimpi
0 notes
aiyasmina · 3 years
Photo
Tumblr media
Salah satu petikan nasehat beliau ketika pembekalan siswi akhir KMI tahun lalu. Meski di hadapan beliau bukanlah wanita-wanita yang sudah bertemu belahan jiwa, tapi beliau paham, di hadapan beliau adalah wanita-wanita yang kelak mendampingi para singa jantan. Mungkin, petikan nasehat ini hanya tersampaikan dan teringat dalam beberapa sanubari sekian manusia disana. Tapi, suatu kebaikan tak akan pernah sia-sia, meski sedikit. Bukankah lebih baik sedikit bermanfaat, tertimbang banyak tetapi merusak. Meski tentu, ada yang lebih baik daripada keduanya
Berprasangka baiklah kepada dan karena Allah. Tak selamanya, kita mampu memahami jutaan keinginan kita sendiri
0 notes
aiyasmina · 3 years
Photo
Tumblr media
Sederhana. 
Beberapa hari ini, tugas perkuliahan menumpuk bak pegunungan bukit barisan sepanjang Sumatera. Mungkin, bisa terbilang, aku sama sekali tak beranjak dari layar display laptop ini. Ingin berhenti, namun, tak ingin dinanti. Harus segera mengakhiri. Dan entah kenapa, sekali-dua kali lelah datang menerjang, segenap kumpulan foto diri mereka terpampang, terbuka di salah satu taskbar laptop ini. Bukan mengada atau berlebih, tidak. Tidak sama sekali. Mungkin itu arti dan makna keinginan untuk eksistensi dari tiap diri manusia. Dan aku termasuk di dalamnya. 
Sederhana, bukan?
Tapi, ada satu hal yang terkadang menjadi hal renungan pribadi. Entah, benar atau tidaknya renungan kali ini. Tapi, aku selalu mengiyakan tanpa bertanya sendiri. 
Satu kali, di pertengahan masa-masa ujian lisan kini, ada satu dua penguji bertemu denganku, dalam suatu perkumpulan meriah malam Jum’at, ia berceloteh, 
“Ustadzah, kemarin anak antum ada yang sama ana. Tapi, heran, dia ndak tahu antum dari mana...”, dan perbincangan itu berlanjut tawa geli antara kami. 
Sebenarnya, ini bukan kali pertama terlontar pernyataan ini landas di kedua telingaku. Dan selalu kujawab dengan tawa, lantas menyahut, 
“Tapi, apakah mereka bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan kalian?”, tanyaku lagi. Dan lebih sering kali penguji-penguji itu mengiyakan, membuatku mengulas senyum.
Mana yang lebih baik? 
Ada dua hal yang aku renungkan. Tentu, mereka belum belajar sepenuhnya, bukankah layaknya seorang murid paham dan memahami seluk-beluk gurunya? Mengapa tidak belajar selengkapnya pula? Sedangkan masa ini adalah masa akhir tahun ajaran. Bukankah sudah hampir 24 bulan mereka bersua denganku?
Tapi, ada hal lain yang terlintas. Seakan, ada beberapa kepribadian merayapi diri kecil ini. 
Inilah proses mereka. Siapa tahu, usai pertanyaan itu, mereka akan lebih bertanya dan memahami siapakah pendidik ilmu masa ini untuk mereka. Jangankan asal mana sang guru, untuk pendidikan kakak-kakaknya pun, tidak sedikit mereka yang tidak tahu. Dan lagi, apakah kita berharap akan suatu balasan?
Hal seperti ini tidak satu-dua kali terjadi. Aku selalu bertanya dan bertanya, tetapi jawaban itu selalu ada. Jawaban yang datang dari renungan tak berdasar, hanya diam dan berusaha memahami. 
Tapi, semakin waktu meminta berputar. Tak akan ada suatu hal kebetulan. Semua tentu telah ditentukan. Bagaimana mereka, aku dan akhir nanti, itu memang sebuah ketentuan dan ketetapan. Hanya proses yang tentu bisa kita perjuangkan. Akhir? Hasil? Maha Kuasa yang menetapkan.
Terima kasih telah bersabar hingga detik ini. Terima kasih telah bertahan dan berjuang hingga kini. Diri ini sama sekali tak menjanjikan apapun di masa depan. Hanya do’a yang tentu melangit menembus awan.
2 notes · View notes
aiyasmina · 3 years
Photo
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Damai....Adalah seuntai kalimat dari sebuah lirik lagu yang menggetarkan jiwa kali pertama didengungkan. Sebuah lagu yang disajikan dengan video cuplikan pendek, disertai untaian nasehat, dipersembahkan untuk raga yang telah pergi, namun spirit jiwa itu masih abadi.
Masih terngiang belasan tahun kala silam, bahkan puluhan, kala kata ‘pondok’ itu tersemat sebagai suatu hal yang terkesan kumuh, kuno, dan kata-kata yang terkesan tak mengikuti zaman, begitu kata dongeng dan cerita tetua dan orang tua kami. Konon, jika menghabiskan waktu disana, tak akan tahu menahu kabar informasi luar, yang tentu terkini, trendi, tak dirasa mampu duduk berbincang perkara masalah Negara, agar sekiranya sama tinggi sama rendahnya dalam pengetahuan umum, sekiranya isi dunia hanyalah pengetahuan umum. Dianggap agama hanya bertempat di surau, masjid, atau lepau lusuh yang hanya ramai kala waktu maghrib tiba. Ada pula cerita, siapapun yang menahbiskan waktunya disana, ia tak tahu gaya berpakaian yang baik dan sesuai waktu, karena tentu ada beberapa adat membedakan pakaian untuk berjalan sore, bermain, belajar, hingga perkumpulan pejabat sepenting apapun itu. Hanya sibuk dengan lipatan kain berkotak sembari menenteng kitab kapanpun itu, bahkan mungkin waktu makan datang, masih saja membawa.
Dan masih banyak versi cerita dulu. Mungkin, nak, jika kalian mau mendengarnya lebih, bertanyalah kepada orang tua atau kakek-nenekmu. Betapa hebat dan agungnya dahulu lulusan Sekolah Negeri, apalagi ada jalur akselerasi dan lagi jika mendapat beasiswa entah karena prestasi atau apalah itu. Nian bergengsi pula nama orang tua si anak.
Tetapi itu dulu, Nak.
Zaman sudah berputar. Jika dulu kami atau bahkan orang tua dan sesepuh kalian selalu ter-setrum dengan motivasi, “Jika dalam 5 tahun, usaha yang kalian usahakan tidak berbuah hasil. Maka, telah gagal usaha itu”. Jika pendahulu kita membutuhkan waktu 5 tahun untuk terus bertransformasi, berbaik diri, berbanting tulang. Bagaimana kita?
3 tahun! Apakah begitu cepat? Tidak. Zaman berputar. Perputaran itu melesat, melaju, ia tak berputar di tempat, ia terus melaju. Semakin mudah kita mendapatkan sesuatu. Semakin cepat roda berputar, dan semakin cepat pula proses pemahaman itu datang.
Jika dulu orang cenderung berfikiran negative akan pondok pesantren. Sekarang? Berbanding terbalik jauh. Seakan pondok pesantren melewati batas normal calon pelajar yang tiap tahun membludak, yang harus menyisakan sekian ribuan calon pelajar yang harus pulang kembali ke kampong halaman sebelum janji yang diikrarkan dengan orang tersayang terlaksana. Bahkan, selain daripada itu, sistem yang sudah sekian tahun berjalan, dianuti, dipahami, diikuti. Mungkin karena itu praktek mengajar atau yang disebut amaliyah tadris, tak akan lagi asing di telinga sesame kawan pesantren.
Apa yang dijanjikan oleh sebuah pondok pesantren?
Itu yang terbesit dalam akal yang terbatas ini, berusaha memahami euphoria kehendak manusia yang selalu terbolak-balik. Apakah harta? Kekayaan? Kecantikan? Ketampanan? Atau bahkan kekuasaan? Kekuasaan untuk segera dihormati dihargai barang sedikit ilmu. Meski tentu panjang usia bukan berarti panjang akal. Dan tentu manusia berpanjang akal itulah tahap menuju dewasa.
Pendidikan. Karakter yang mulia.
Bukan prestasi gemilang, tertinggi dan terbaik tanpa bercoret tinta merah sekalipun, Atau puluhan hingga ratusan handai dan taulan, dari sabang hingga merauke, atau mahir bercakap bahasa asing internasional lancer dan fasih, Bukan.
Tetapi, bagaimana mendapatkan barakah disetiap harakah. Adanya ridlo dari siapapun tentu yang lebih memahami dan telah melewati. Menata tutur dan tingkah. Memahami kelebihan dan kekurangan. Tidak hanya meningkatkan segala kelebihan tanpa sadar kekurangan. Agar tak menjadi isi kacang yang kadangkala lupa akan kulitnya.
Karena itu, Nak.
Bersyukurlah kalian merasakan itu semua di sini. Di kampong damai ini. Tak perlu resah sulitnya memahami pelajaran, bukankah jajaran guru, kakak kelas ada di sekitar kalian? Tak perlu risau akan minimnya uang, bukankah kebersamaan itu sebuah kenikmatan? Tak perlu gelisah akan maraknya rindu yang membuncah, justru kita harus bersyukur, mengasah rindu itu dengan kerinduan itu sendiri, akan memahami diri, seberapa pentingnyakah arti kepergian dan kehilangan.
Cukup kirimkan do’a. Do’a terhebat, terdalam, datang dari hati, akan merasuk ke sanubari. Jangan gundah dengan segala masa depan yang belum tentu rimbanya. Hadapi apa yang di depan. Nikmati kedamaian yang terhelat, rengkuhlah ia. Kedamaian sholat shubuh berjama’ah, setor hafalan tiap pagi, sore, hingga malam, sendau gurau dalam kelas, aneka pertunjukan menawan mengasah potensi, panjangnya antrean di setiap sudut ruang, olahraga pagi ceria, kegiatan berlin tiap sore, macam yelling dan lagu yang kalian urai, hingga mungkin waktu bersimpuh melantunkan ayat suci dengan tenang tanpa gangguan dan godaan kenikmatan dunia.
Banyak kedamaian yang telah ada jika kalian ingin memahami. Keinginan itu tak ada yang datang sendiri. Semua berawal dari kesadaran. Kesadaran akan baik dan buruk. Tinggalkan dan tepihkan segala keburukan, kerjakan dan pertahankan segala kebaikan. Nyalakan lampu kesadaran. Tinggalkan ketidakpedulian. Telah banyak kasih sayang yang terpancarkan. Semangat ber-metamorfosa menjadi lebih baik, anak-anakku…
3 notes · View notes
aiyasmina · 3 years
Text
Tahu resiko dan manfaat bersamaan. Sadar kurang dan lebih beriringan. Ingin melepas namun tak bisa mudah dihempaskan. Ingin melekat namun sesal karena terikat. Belenggu rasa ingin namun, diri tahu ada hal lain yang lebih bisa dicapai dan dimampui. 
Bagaimana jika kamu seperti itu?
Rumput tetangga selalu lebih hijau. Dengan mudah kita terlalu silau. Tapi, terkadang mereka tak paham dengan mimpiku yang terlalu sederhana (dikata). Mereka ingin berucap seperti polaku bercakap. Meski kadangkala aku tak menyuka. Aku hanya ingin seperti mereka. Tak lain dan tak lebih. 
Bukan soal meninggi atau apalah itu. Hanya tak ingin meloncat dengan satu kaki. Apakah kini berdiri di tempat yang salah? Tidak. 
Karena mereka awal diri ini bertumbuh hingga melompat lebih jauh. Meski aku sadar, tentu itu membuatku menjauh. Ahh... Mengapa diri ini begitu naif? 
1 note · View note
aiyasmina · 3 years
Photo
Tumblr media
Haha, mungkin ini gambaran diriku tiga hari ini. Kalang kabut dengan waktu yang belum tentu rimbanya. Sekian waktu berkutat, usai karena sebuah nasehat, kembali kepada lembaran bersarat. 
Aku lupa. Kenapa mudah aku marah tak tentu arah. Sedang aku tak tengah sendiri menyelesaikan sebuah masalah. Ah, mungkin itu bukan masalah, ia hanya batu loncatan, agar selayaknya kita naik tingkatan.
1 note · View note
aiyasmina · 3 years
Text
Let Alone Write!
Banyak hal yang terlihat, banyak hal yang dirasa, banyak hal pula dilaksana
Tapi, tak banyak yang bisa terungkap, tak banyak yang bisa terurai, dan tak banyak pula yang bisa diulas.
Mungkin itu mengapa ia dipinta tertulis. Sekedar mengurai apa yang seharusnya tak boleh diabai. 
1 note · View note
aiyasmina · 3 years
Photo
Tumblr media Tumblr media
Untuk kalian yang turut berjuang
Dia tak akan pernah menyia-nyiakan sedikit usaha, barang sekecil biji sawi
Semangat bertumbuh!
0 notes
aiyasmina · 3 years
Text
Aku tak pernah menjanjikan yang terhebat untuk mereka. 
Aku hanya ingin menjadi yang terbaik. 
Karena, tentu. Sehebat apapun aku, aku hanya menunjukkan tempat berpulang mereka. Bukan untuk selalu pergi dan pergi, tanpa tahu arah jalan pulang
0 notes
aiyasmina · 3 years
Text
Minoritas
Bukan hal aneh lagi menjadi satu dari sekian ribu. Menjadi abu dari gumpalan kabut. Entah, hingga kapan status ini berubah, atau setidaknya, tak ada lagi perbedaaan. 
Tapi, aku tahu jawabnya. Aku selalu bertanya-bertanya-bertanya, lantas kujawab dengan kesimpulan renunganku sendiri, mungkin itu mengapa tidak sedikit kawan yang kadang kala segan dengan apa yang aku renungkan. Di luar nalar, katanya. 
Semalam. Tepat semalam. Waktu yang seharusnya mengikatku dengan obrolan dan hafalan, justru berbanding untuk berkumpul, sekedar membahas masa depan anak-anak. Aku terkesiap, beranjak cepat. Berharap banyak, hendak suara yang kuajukan bernilai besar. Atau mungkin mendapat apresiasi istimewa di mata kawan. 
Tapi? Apa arti minoritas? Berfikir jangka panjang bersisian dengan mereka berjangka pendek, tidak mudah menyatukan, hanya orang yang memahami betapa penting dan betapa urgent kebutuhan ini. 
Apa arti minoritas. Konon, minority is priority. Tapi, jika hendak egois, apa arti aku hidup dengan minoritas seperti ini. Sekali dapat dipahami, dua kali masih boleh negosiasi, tapi tiga hingga berkali-kali? Apa yang bisa kuperbuat? Mereka hanya mnegurus urusan perut, tak lebih dan tak kurang, hanya berbuat untuk mencari ekonomi semata sedetik saat itu juga. Apakah mampu hidup dengan perut senyawa? Mengapa tak ingin akal turut diasah?
Aku kecewa. 
Tempat awal aku bertumbuh dan berkembang. Justru, hendak berbalas tetapi mendapat timbal balik prasangka buruk, yang bahkan menghina darimana ilmu itu berasal. 
Mereka sudah lupa! 
Mereka sudah lupa sulit dan sukarnya meraih gelar yang tertandang di jiwa mereka! Ah, tentu aku ingat, mereka hanya sekedar men-copy paste apa yang sudah tertera di dunia literasi digital. Mengapa aku berprasangka baik jika mereka berusaha lebih baik? Sedang mereka sendiri menghina apa yang telah menghantarkan mereka menuju puncak gelar tiga huruf itu.
Aku yakin, siklus ini tak berhenti disini. Sejauh apapun aku pergi. Aku akan bertemu dengan keadaan minor ini. Sehebat apapun aku berjuang, sedahsyat apapun aku menyuarakkan, sudahlah, mereka hanya berharap kenyang di perut lantas memperbincangkan menu untuk esok dan esok nanti.  
2 notes · View notes
aiyasmina · 3 years
Text
Seperti Ustadzah, Bukan?
Ini cerita lama. Teringat karena terjaga. Malam belajar, di belakang gedung bersebelahan dengan kantin santri. Usai berkuliah, menanggal sepatu menyimpan buku dan tentu mencuci tangan, merapihkan diri yang lusuh lelah berfikir. Andai aku egois, mungkin lebih baik bercanda dengan bantal dan gegulingan, otak perlu istirahat. Tapi, mari berkreasi dengan sapaan dan candaan mereka.
Satu-dua berkeliling, sesekali berhenti, bahkan mungkin lebih banyak berhenti, mendengar celotehan, salam, tawa, hingga pintaan mereka yang terkadang nyeleneh, hingga mungkin tak masuk akal, tak sedikit tawa terurai tiap malam. Dengan tongkat sakti yang selalu mengusir setan pembawa kantuk, kembali aku menjelajahi dunia mereka.
Hingga ada satu hal unik kala itu. Anak dengan satu kata nama saja. Unik memang, tapi mungkin itu membuatnya mudah dikenali banyak kawan. Ia datang ceria mengulurkan tangan, membawa buku pelajaran Tarikh Islam kala itu, usai cium tangan, dengan bangganya ia menunjukkan satu hal
“Ustadzah, lihat apa yang beda dari ana”, pintanya merajuk. Bak anak beradu pada sang ibu
Aku tersenyum, sedikit menaikkan kedua alisku. Bergumam, ada apa?
Tentu aku lirik dirinya yang masih menunggu jawabku. Tak ada yang aneh darinya. Jilbab baruka? Bersih kah? Alhasil, aku tak bersua jawabnya
Dia tersenyum bangga, menyipitkan matanya, layaknya bangga aku tak mampu menebak akal uniknya. Lantas dia bersorai seraya merapihkan jilbabnya,
“Ustadzah, lihat, himar (jilbab) ana sudah panjang, kayak ustadzah, bukan? Banyak jarumnya sampai bawah, jadi tertutup, sudah kayak ustadzah, bukan?”
Aku terdiam, lantas tersenyum lebar. Hebat.
Sontak kawan-kawan yang datang hendak menyapaku pun ikut menyorakkannya. Bahkan menggodanya, cukup menyenangkan.
Tanpa kusadari, hal itu masih terngiang. Benar apa kata nasehat tetua kyai dulu, kita memang akan selalu menjadi contoh, tauladan, tidak hanya itu, melebih daripada tujuan. Bukankah lebih baik mereka menjadi lebih baik dari kita?
Aku tertawa menimpali, lantas bersendau gurau sembari melanjutkan keliling malam kala itu. Terima kasih, Nak..
0 notes
aiyasmina · 3 years
Text
Berjalan Tanpa Kaki
Satu dari sekian musik balada yang amat kusukai, mudah mencarinya, dan kuyakin kalian menyukainya.
Kata orang bijak, apa yang kita senandungkan selalu mewakili perasaan kita, sekecil dan sebesar apapun itu, tanpa kita sadari. Dan itulah yang terjadi, lagu ini berupa narasi, ia memiliki makna yang unik, di satu sisi ia tampak bahagia untuk selalu berusaha menatap dunia. Tapi, bagaimana dengan sisi lain?
Hidup ini memang roda, yang selalu berputar tiap porosnya, dengan alur dan tanjakan yang berubah, jika orang bilang akan ada baik dan buruk. Memang, tak salah, justru tidak banyak orang yang memahami itu. Dan jikalaupun ada, sama halnya, berapa orang memahami tapi tak kunjung mengamalkan
Tapi, tahukah kalian?
Seburuk apapun, atau setidaknya baiknya apapun itu. Tak akan pernah ada kakak yang menyakiti adiknya, sama halnya ibu yang tak ingin anaknya merasa sakit.
Sehebat apapun kalian, serendah apapun diri dan jiwa kalian, tapi, apakah ada yang mampu menawarkan cinta dan kasih sejati.
Sekencang aku berlari, setegap apapun aku berdiri, setinggi apapun imajinasi, aku sendiri hanya manusia. Baik-buruk selalu mengitari,
Aku sama sekali tak mampu berjalan dengan kaki sendiri.
#15 Rajab 1442, Jumat
0 notes
aiyasmina · 3 years
Quote
Many Things
We Can Know Many Things, Than We Can Say, Let Alone Write -Pollini-
Senin, 4 Rajab 1442
#thanks prof
0 notes
aiyasmina · 3 years
Photo
Tumblr media
Belajar itu tak mengenal usia, bukan? 
Fight, ughteaa...
0 notes
aiyasmina · 3 years
Quote
Tula Zaman & Suhbatul Ustadzi
Kita sedang bertumbuh, hanya benih yang ingin segera bertunas
0 notes