Tumgik
adlenmeow · 11 months
Text
Terlalu Manis
- Oliver x Rhizu [Hetalia] -
Dengan lolipop yang disesap, Oliver tidak berhenti menyaksikan kelakuan Kuro—teman sekelas yang berbagi jadwal piket bersama. Benar, alih-alih membersihkan kekacauan kelas, mereka lebih suka tinggal sampai petang, kemudian bubar. Untuk apa? Untuk membuat kelas lebih kacau, agar besok ketua kelas terkena serangan jantung. Dalam kata lain, mereka sedang ingin berbuat onar.
Kelakuan ajaib Kuro selalu tampak jika tak ada seorang pun di sekitarnya, atau saat cuma berduaan dengan teman akrab. Oliver tidak merasa akrab dengan makhluk mesum di depannya ini. Ia cuma menyaksikan Kuro yang cekikikan dan bolak-balik keluar kelas, menunggunya duduk di meja untuk lekas ia tanyai.
"Ada hal menarik di luar?" Oliver mempermainkan bola permen di dalam mulut.
"Oh, itu hanya." Kuro mengusap bibir dengan ekspresi paling ingin Oliver timpuk.
"Bagilah, apa?"
"Ciuman." Kuro bersemu sembari menjawab.
"Hah?" Oliver bersyukur tidak pernah menganggap orang di depan sana sebagai teman.
"Begini, Ollie, bibir wanita itu berbeda satu sama lain. Ada yang tebal, tipis, bahkan di antaranya."
"Teruuuus?" Siswa rambut merah muda itu menyodorkan muka, berusaha memberi tampang paling tak berminat.
"Aku sudah merasai semuanya." Wajah sombong Kuro menambah kekesalan Oliver—ya hubungan pertemanan mereka selalu abu-abu seperti ini.
"Ya ya, terus? Kau mau mereview satu-satu?"
"Oh, untuk orang yang tak pernah berciuman? Tentu tak akan, aku tidak akan begitu ke teman." Kuro menaikkan salah satu ujung bibir.
Oliver menggigit hancur bola lolipop di mulut. "Karena aku bosan, lanjutkan saja kisahmu."
"Jika kisah, aku berencana ingin menyesap bibir seorang gadis. Kriterianya rambut pendek, warna pirang, dan ju—" Kuro terdiam saat Oliver tanpa suara mendekat, serta menaruh ujung bulpoin di tenggorokannya. "—des." Senyum Kuro memudar, lantas ekspresi galak tampil ke permukaan. "Aku tak mengincar Rhizu."
"OHHHH! YA BAGUS LAAAAH!" Manik bubblegum Oliver yang sempat ditempati titik merah menyeramkan, kini sirna. Ia kembali duduk sambil memeluk lutut. "Oh, terus-terus, siapa gadis itu?"
"Belum kutaklukan. Tapi aku jadi paham, kenapa kau suka sekali pada gadis judes."
Oliver mengusap kedua pipi sendiri dengan gemas. "Ah, itu, dia gak judes, kok!"
"Yakin? Cinta memang membutakanmu, ya."
"HEEE RHIZU-CHAN AKAN MEMBUTAKANKU?!" Oliver menjerit, membayangkan skenario horor—tapi ia suka itu, jadi ia terus membayangkannya. "Pakai apa, ya~ sendok?"
Kuro menghela napas, ia meraih pensil dan buku dari kolong meja. "Mau kugambar caraku ciuman?"
"Aku sih tidak tertarik, sungguh." Oliver acuh tak acuh meraih permen baru dari saku celana.
"Baiklah, aku akan membuat sketsa tanpa rupa. Kau anggap ini dirimu dan Rhizu."
"Nah~ kalau itu aku mauuuu!" Oliver memperhatikan tangan Kuro yang cekatan menari di atas kertas bersama pensil. Suara jam dinding berpadu dengan suara kasar Kuro saat menggambar. Oliver takjub pada hasil yang terlihat; dari cuma bulatan, menjadi garis acak, dihapus beberapa kali, kemudian menghasilkan pose dua insan menautkan bibir. Walau hanya sketsa botak semata.
"Aku buat tiga pose. Semoga kau tidak menagihku menyelesaikannya." Kuro membiarkan Oliver mengambil hasil coretan pensil.
Oliver diam begitu lama. Kuro menyesal telah memberikan gambar gratis—orang-orang selalu membayarnya dengan dollar dan memujinya bertubi-tubi.
"Kuro ..., lanjutin, dong. Dosa lho gak diselesaikan." Oliver menampilkan wajah gembira. Artinya ia suka?
"Kurang ajar." Kuro memandang galak, tampaknya fase memalukan Kuro sudah reda.
"Ayolah! Ayolah! Aku bisa memajangnya di kamar!"
Kuro menghela napas. "Kau lakukan saja ciuman dengan Rhizu. Lebih bagus ketimbang memandangi gambar."
"Kau bukannya selalu memandangi gambar ponsel pakai ekspresi cabul?" Oliver menyinggung soal hobi sampingan Kuro yang menyukai game simulasi kencan.
"Katakan, kenapa kalian belum ciuman?"
Oliver berpikir sebentar. "Karena kita bukan teman juga bukan pacar?"
"Hah?" Kuro tampak heran. "Kasihan, bahkan teman pun bukan?"
"Bukan! Tapi itu bukan masalah, mengikutinya dari waktu ke waktu, membuatku bahagia." Tebersit bayangan Rhizu yang selalu marah-marah jika Oliver keluar dari tempat persembunyian paling aneh: kolong meja kelas, depan pintu kamar mandi wanita, atau jendela apartemen.
Kuro lantas menyeringai. "Cium dulu Rhizu, nanti aku selesaikan request-mu."
"Oh?" Oliver berkedip-kedip.
Kuro menggeleng maklum. "Aneh-aneh saja. Stalker kau jabanin, nyium doang mikir-mikir."
"Bukan begitu, Kuro." Oliver menutupi setengah wajah dengan kertas sketsa. Semburat merah muda memenuhi wajah hingga ke telinga. "Kalau aku sampai tak berhenti, gimana?"
Kuro lupa, Kuro sangat lupa watak Oliver.
°°°
Kisah di atas merupakan pemicu, dan benar-benar Oliver lakukan keesokan harinya.
Di kelas yang sepi, Rhizu mencari-cari buku catatan. Sekarang sedang berlangsung ujian harian di lab. Praktikum tentang klorofil tepatnya. Gadis itu sudah mempersiapkan bahan demi hari ini, lalu buku catatan IPA-nya hilang?! Oh, sungguh momentum yang tepat untuk meneriakkan sumpah-serapah! Sayang sekali, nanti fokus dia hancur bila beremosi sekarang.
Oliver datang, menutup pintu kelas. Rhizu menoleh sekilas, mengabaikan kedatangan siswa itu beserta tanda cinta yang Oliver pahat dengan tautan jemari. Rhizu kembali fokus mengorek kolong meja—siapa tahu dia khilaf dan menaruhnya di situ.
"Mencari ini, Love?" Oliver melambaikan buku catatan putih. Sontak hal tersebut membuat atensi penuh Rhizu tertuju padanya.
"Sialan! Bisa-bisanya, kau?!" Oh, ups, ya, keluar juga kata-kata kasar.
Rhizu berlari mendekat. Dengan perbedaan tinggi yang jomplang—beda 21 sentimeter—membuat gadis itu tak sanggup meraih buku.
"Mau ini kembali, sayang? Berikan sesuatu dulu di sini." Seringaian Oliver begitu menikmati kesengsaraan Rhizu, tak lupa telunjuknya mendarat di bibir.
"Hanya itu?" Rhizu menghela napas, menatap penuh dendam.
"Yeah~ hanya itu." Jantung Oliver dibuat berdebar. Ternyata semudah ini mendapatkan ciuman Rhizu!
Namun, tidak, karena sudah kepalang kesal, yang Rhizu lakukan bukanlah mencium Oliver, melainkan menampar bibir lelaki itu dengan telapak. Bunyi nyaring yang menyakitkan hadir mengisi kekosongan kelas. Oliver terkejut, bukan hanya bibir yang perih, hidung juga kena. Alhasil, buku putih di tangan pun terjatuh.
Rhizu tidak membiarkan kesempatan ini berlalu begitu saja, bak atlit rugbi, ia melompat memeluk buku. Ugh, dadanya bertemu lantai dengan tidak mulus, sakit sekali. Cepat-cepat Rhizu bangkit, hendak kabur lewat jendela (mumpung tidak berada di lantai dua atau tiga). Akan tetapi, Oliver berhasil memeluk Rhizu dari belakang, tepat ketika kaki gadis pirang di sana menapaki sisian jendela.
"LEPASKAN! GILIRANKU SEBENTAR LAGI!" Rhizu mengamuk kala Oliver bawa ia ke tengah kelas.
"Kau mau kita ketahuan bermesraan di kelas, Manisku? Dengan berteriak begitu." Oliver terkekeh. Meski bibir dan hidung masih menyisakan warna merah yang berdenyut-denyut, ekspresinya sama sekali tak terganggu, justru tampak bersemangat.
Rhizu seketika itu bungkam, ia lempar buku ke sembarang arah, dengan sekuat tenaga memukuli tangan yang melingkari perut.
Bisa-bisanya Oliver memandangi Rhizu dengan lucu, seperti gemas ke hewan peliharaan.
"Lepaskan aku! Aku tak punya waktu untukmu!" Rhizu segera menoleh, dia geram sekali diejek!
Oliver belum sempat berujar, lehernya tiba-tiba jadi korban cekikan. Ya, Rhizu pelakunya. Tidak seperti gadis lain, Rhizu kalau malu akan melakukan serangkaian pukulan ganas. Terkhusus untuk Oliver, mencekik merupakan serangan membela diri paling kejam yang ia miliki.
Oliver tersenyum bahagia, meski paru-parunya kembang-kembis seperti mau mati, dia menikmati momen ini. Oh, Rhizu mencekiknya! Akhirnya Rhizu tidak mengabaikan! Rhizu lantas merasa jijik, segera ia lepas cekikan: berhubung pelukan Oliver sudah longgar.
Gadis pirang judes itu berlari lagi. Oliver memang baru saja dicekik, tapi cekikan Rhizu terasa seperti gelitikan. Dengan cekatan, Oliver meraih tangan Rhizu. Mohon maaf saja, ia akan berbuat kasar demi tujuan. Rhizu memekik sakit, bukannya dilepas, Oliver malah mencengkeram pergelangan yang satu lagi. Posisi mereka kini: saling memunggungi, dengan punggung Rhizu menempel ke dada Oliver. Cengkeraman tangan Oliver sangat kuat, bahkan terasa perih.
"Oliver!" Rhizu menepis rasa sakit yang dirasa: ia tetap memberontak. Dia tak mau ada nilai bolong di rapot nanti!
"Iya? Ya?? Ya, ya?? Apa?" Oliver tertawa girang. Mereka menabrak meja dan kursi, kemudian terpeleset buku: Oliver yang menginjaknya, kini mereka jatuh terduduk bersama. Rhizu menduduki salah-satu paha Oliver.
Kegaduhan yang sempat menjadi melodi di kelas, kini senyap. Mereka saling berpandangan. Oh, bukan situasi romantis, sayangnya. Rhizu dengan pandangan muak, sedang wajah Oliver menyiratkan binar-binar tidak sabar.
"Aku akan meladenimu nanti. Kelas kita sedang ulangan harian. Kau memang tidak takut nilai jelek apa?!" Rhizu lelah sekali, negosiasi mungkin berefek bagus.
Oliver cekikikan di tempat, kemudian menggeleng. "Berikan aku ciuman dulu, nanti kulepaskan. Ayo!"
"Najis!"
"AAAAAH! JANGAN GITUUUU!" Oliver tampak riang gembira jika hinaan datang dari Rhizu.
Rhizu tahu, memberontak akan menyakiti tangannya lebih dari ini. Jujur saja, pergelangan terasa perih, dan pria yang menjeratnya kini tak akan pernah melepaskan ia bila keinginannya tidak tercapai.
Lelah sekali, Rhizu lelah sekali.
Oliver menunggu, menunggu bak pemenang. Sesekali ia ciumi pipi Rhizu.
"Hentikan, sialan. Satu ciuman dan aku bebas." Rhizu mendesis bak ular, tak sudi ia berkata begini, namun bagaimana lagi? Biasanya, Oliver tidak pernah mengganggu pada jam pelajaran.
"Oke~" Oliver mulai mendekatkan wajah.
Rhizu mencicit lagi sebelum jarak antar wajah mereka terkikis. "Aku membencimu. Mati saja sana!"
Oliver menyahut saat bibir mereka bersentuhan. "Aku mencintaimu. Mati bersamaku, ya!"
Kemudian, ciuman itu terlaksana.
Mata Oliver setengah membuka, menikmati ciuman pertamanya dengan khidmat. Beda dengan Rhizu, yang mulai memberontak saat pergerakan bibir Oliver terlalu liar.
Tautan bibir itu segera terlepas ulah Rhizu yang tak mau diam.
Memabukkan, satu ciuman yang ringan namun membuat Oliver dapat merasakan dekatnya cakrawala. Terlebih, ia membeku melihat rona merah memenuhi pipi Rhizu.
Menggemaskan. Terlalu manis.
"Da-dasar, orang edan!" Rhizu melepaskan diri, sebelum kembali ke lab, ia pukul kepala Oliver lumayan keras.
Oliver kini sendirian. Pukulan Rhizu tidak mengganggunya sama sekali. Pria itu melamun cukup lama. Perlahan ia memeluk lutut dan menenggelamkan wajah disela-sela kaki.
"Ga-gawat, gawat, gawat gawat gawat gawat, gawat!! Aku ingin lagiii!"
end
0 notes