Tumgik
#careerclassQLC
truegreys · 1 year
Text
Menu Sarapan dalam Bertahan Hidup: Episode Satu
Aku tak berniat kabur, tapi setelah kulewati hari-hari sepi setelah berhenti dari pekerjaan yang kujalani setengah hati, aku merasa baiknya memang begitu.
Kutelusur lagi hidupku yang carut-marut. Apakah semua dimulai dari bagaimana bapak memaksaku menapaki jalan yang sebenarnya tak kusuka. Atau karena orang yang kukira bisa kusandarkan bebanku padanya, ternyata masih membawa sekoper masa lampau yang membuatku terluka? Atau aku saja yang begitu tidak kompeten?
Ya. Barangkali itu.
Pagi itu perutku bergemuruh. Warung nasi hanya berbeda beberapa gang dari kosanku. Aku ingin berhemat, tapi terlalu lelah mencuci beras, menanak nasi, bahkan memikirkan teman makannya. Kudatangi warung nasi itu. Ada yang tak biasa dari hari-hari sebelumnya. Tertulis, ‘Hari ini jual bubur’. Ganjil, tapi tetap kudatangi. Kududuk di hadapan etalase yang memisahkanku dengan Ibu Warung Nasi.
“Kenapa jadi jual bubur, Bu?” tanyaku.
“Ini, loh, suamiku masak nasi terus kebanyakan airnya. Daripada dibuang, ya, dijual saja.” Jelasnya dengan nada antusias. Hebat sekali dia, antusias tiap kali berhapan dengan pelanggan dan mengubah hal yang bukan keinginannya menjadi hal yang lebih berharga. Kuharap aku menjadi dia.
Semangkok bubur itu tersaji di hadapanku. Nasi yang sudah menjadi bubur, harfiah, bukan hanya peribahasa. Berbagai topping tergeletak begitu saja di permukaan bubur. Kutambahkan beberapa keping kerupuk di atasnya. Kubanjiri dengan kecap karena bagiku rasanya akan lebih luhur. Tak kuaduk, tentu saja. Kubiarkan beberapa saat meski perutku sudah cukup keroncongan. Tak mau kubakar lidahku dengan bubur panas.
Waktu sesaat itu berubah menjadi waktu penuh tanya. Apa aku adalah bubur ini? Tak lagi aku bisa memutar waktu, sudah terlanjur, dan hanya perlu dibumbui? Mungkin, ditambah beberapa hiasan agar lebih menggugah selera? Apakah hidupku bisa lebih mudah jika aku menjadi bubur ini?
“Makasih, Bu, buburnya gak dibuang.” Ujarku kepada Ibu Warung Nasi. 
Kulahap suap demi suap hingga tandas sambil kuusap air asin di pipiku yang mengalir saat kuucapkan terima kasih.
Ibu Warung Nasi–barangkali karena melihatku menangis–menaruh sekotak tisu di hadapanku sambil memberikan surat selebaran dengan tulisan merah metalik yang cukup menarik perhatianku.
Bersambung.....
76 notes · View notes
Text
Perjalanan ke 5
Pertanyaan kapan menikah sudah menjadi sangat familiar untuk perempuan yang sudah memasuki umur 25+. Apalagi saat memasuki nuansa lebaran. Rasanya semua harus sesuai standart masyarakat setempat.
Umur 25 tahun harus sudah menikah, harus sudah punya anak, umur 30 tahun sudah punya rumah dan kendaraan pribadi, apalagi didukung dengan aktifnya sosial media rasa membandingkan diri sendiri dengan pencapaian orang lain begitu semakin kuat.
Dewasa rasanya begitu komplit dengan segala bentuk problematikanya. Kita dituntut mampu beradaptasi untuk mengikuti segala situasi yang ada.
Rasanya begitu jahat sekali melabeli seseorang tanpa pernah tau cerita yang sebenarnya. Sudah umur 27 tahun belum menikah karena terlalu pilih-pilih, umur 28 tahun belum menikah karena sibuk sekolah, ngapain sekolah tinggi-tinggi kalau nantinya jadi ibu rumah tangga.
Yang berkomentar tidak tahu mungkin saja dia saat ini belum menikah karena sedang menata kembali hidupnya, yang mengalami trauma pengkhianatan dari orang terdekatnya.
Siapa yang tau dia sibuk bekerja dari pagi sampai malam karena ada yang dia tanggung biaya hidupnya seperti ibu dan adiknya.
Ah rasanya mudah sekali berkomentar tanpa pernah bertanya apakah dia baik-baik saja dengan hidupnya. Mungkin banyak yang dikorbankan seperti waktu bersenang-senangnya bersama teman seumurannya hanya karena tuntutan kehidupan.
Siapa yang tidak mau hidup baik-baik saja, punya keluarga yang lengkap dan hangat. Punya pekerjaan yang bagus, menjalani kehidupan yang santai dan berkecukupan. Punya pasangan yang setia. Dikaruniai anak yang lucu-lucu
Tapi lagi-lagi itu semua pemberian dari Allah yang mampu kita ikhtiarkan tapi yang menentukan hasil akhir hanya Allah.
Tetap semangat ya, bagaimanapun keadaannya kehidupan kamu harus tetap berjalan.
12 notes · View notes
faizaalbi · 1 year
Text
Ep.5
5 tahun kemudian.
"Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan peri kemanusiaan.
Saya akan menjalankan tugas saya dengan cara yang terhormat dan bersusila, sesuai dengan martabat pekerjaan saya.
.
.
.
Saya ikrarkan Sumpah ini dengan sungguh-sungguh dan dengan mempertaruhkan kehormatan diri saya."
Setelah melafalkan sumpah dokter dan acara selesai, aku keluar ruangan. Aku mencari dimana orang tuaku.
Ketika sosok papa dan mamaku terpotret oleh mataku, aku segera berjalan menuju mereka dan memeluknya erat.
Keduanya membalas pelukanku sambil berbisik, "Papa dan mama bangga sama kamu, Nai."
Medengar bisikan itu, penglihatanku menjadi buram penuh dengan air mata. Tapi aku tetap menahannya.
"Makasih banyak Pa, Ma, sabar punya anak kayak Nai."
Cekrik, suara shutter kamera terdengar. Kami mengurai pelukan dan menoleh ke arah suara. Dia adalah sahabatku, Saka. Dia tersenyum lebar khasnya, dan menatapku.
"Selamat, Nai."
"Alhamdulillah. Akhirnya bisa nyusul juga.", balasku.
The End.
8 notes · View notes
ariekdimas · 1 year
Text
Cerita Pradipta: Hilang Arah (bagian 4)
Tumblr media
Hujan mulai turun. Yang aku suka dari hujan adalah aku bisa menangis sepuasnya tanpa diketahui oleh orang lain.
Namun, mengapa dibenakku ketika turun hujan itu identik dengan kesedihan? Bukankah hujan membawa keberkahan dan memberi kehidupan?
Adanya kehidupan berarti ada kebahagiaan.
Jadi ingat waktu kecil dulu, ketika rintik gerimis turun Aku malah sengaja keluar rumah untuk berhujan-hujanan. Semakin deras semakin bahagia rasanya.
Mungkin terkadang kita harus menjadi anak kecil untuk dapat tumbuh menghadapi masa dewasa. Seorang anak kecil yang berani, penuh mimpi, penuh eksplorasi dan tidak takut salah.
“Hhhaaa..”*Pradipta menghela napas panjang lalu tersenyum*
Lucu.. Aku terlalu menunduk kebawah sampai lupa bahwa dulu ingin melakukan banyak hal hebat untuk digapai.
Jika aku coba mengangkat kepalaku mungkin aku bisa melihat arah tujuanku kembali. Tapi mampu kah aku untuk berlari mengejarnya?
[Bersambung...] © Ariek Dimas
7 notes · View notes
devvyapriani · 1 year
Text
Metafora #1
Sebuah cerita bersambung tentang #quarterlifecrisis
Tumblr media
#1 Banting Tulang
Rupanya senja sudah menyapaku, sinarnya menyirami sepeda motorku yang sedari tadi terparkir di sana. Kukira hari ini bumi lambat berputar, hingga hariku berjalan lebih lama. Harusnya aku sudah tiba di kostku sejak tadi. Meski sebenarnya aku hanya menjalani hari seperti biasa, ditambah melamun di sepanjang jalan, pun mengobrol dengan beberapa teman. Ditambah lagi salah arah jalan, kaukira lampu merah ini cuma satu dan menuntunku ke arah yang hanya itu? Hingga aku harus putar balik sambil meracau hingga lupa diri.
Bagiku menyenangkan sekali bisa meracau sendiri sambil berkendara di jalanan kota besar ini. Tapi ampun, aku masih kalah dengan panas yang disajikannya. Jaket yang kukenakan sepertinya tidak mampu lagi menahan sinar UV yang sepertinya bukan hanya A dan B, tapi sudah sampai Z. Ini panas, bukan hanya dari atas, juga dari bawah! Pun bukan hanya gerah, tapi aku ingin marah. 
Kuberhentikan motorku di depan warung makan sederhana ini. Seperti biasa, aku lupa makan. Bukan hanya karena banyak pikiran, tapi selera makanku juga berantakan. Belum lagi berat badan yang mengalami penurunan, bukan mau kurus— ini aku saja yang tidak bisa menggendut! Selalu itu alasanku ketika teman-teman bertanya pola diet yang kujalani. Mungkin salah satu penyebabnya  adalah ini yang hampir maghrib aku baru ingat mengisi perut, ini makan siang tau buka puasa? 
“Bu, bebek gorengnya satu ya!” Pintaku pada Bu Yanti, langganan makan siangku oh maaf ini sudah sore. 
“Oke, mbak.” Tangan bu Yanti langsung cekatan mempersiapkan menu untukku. “Tumben baru datang jam segini mbak? Puasa toh?” Bu Yanti sangat perhatian sampai hapal jadwal makanku. 
“Kebetulan lembur bu, sambil tersesat tadi.” Jawabku. 
“Bisa tersesat juga ya mbak, kan udah 5 tahun di sini.” Ujarnya lagi. 
“Lampu merah bu! Aku salah arah, belum lagi aku sambil melamun.” Tambahku. 
“Waduh, mikirin apa mbak? Jodoh?” Tanyanya penasaran. 
“Sedikit sih Bu. Banyakan mikirin hari ini aku hidupnya gini-gini aja. Bosen bu.” Akhirnya sepiring bebek sudah di depanku. 
“Iya ya mbak. Aku sih juga kadang gitu. Bosen. Tapi kalau mau dituruti bosennya, aku ya nggak bisa hidup juga mbak. Jadi ingat anak di rumah, biar semangat banting tulangnya, biar nggak bosen.” Ujarnya lagi sambil terus menerus menggoreng. Ya, aku hampir tidak pernah menyapanya dalam kegiatan lain, selain menggoreng.
Sambil mencerna bebek di hadapanku, kata-kata bu Yanti pun tercerna dengan perlahan. Jadi, harus punya alasan agar tidak bosan? Harus ada semangat agar kuat banting tulang? Bagaimana jika aku tidak memiliki keduanya?
Dan… sejak kapan bosan bisa membunuh seseorang? Aku tercekat. Jangan-jangan aku sedang di fase ini.
Bersambung.....
9 notes · View notes
setialrsti · 1 year
Photo
Tumblr media
Ketika Hidupmu Berada di Persimpangan - The End "Na, Kelanjutan kita gimana? Aku ga mau berlama-lama. Targetku bkn untuk pacaran, apalagi hanya sekedar dekat" Aku seketika terdiam membaca pesan dari mas Ali. Dia memang orang yg asik diajak ngobrol dan ga neko-neko, tp aku blm menemukan sesuatu yang membuatku merasa 'Klik' padanya. Kini, kepusinganku bertambah 1. Sepanjang malam aku berdoa, berharap aku bisa mengambil keputusan yg paling baik. Semakin hari juga aku semakin tdk nyaman dgn lingkungan kantor. Lalu, Aku bertekat mengajukan surat pengunduran diriku kepada pak Anwar, tdk ada pertanyaan apapun dari beliau. Bahkan beliau lgsg menyetujuinya. Apa lagi ini? Pikirku, jika semudah ini mengundurkan diri, berarti memang ini yang paling baik. --- Semakin hari, semakin pula aku merasa bersalah pada mas Ali. Aku tau ia berharap kepadaku, sayangnya aku blm berniat untuk memiliki hubungan yang serius dengannya. Sekarang, Aku sdh lebih tenang setelah meninggalkan pekerjaanku walaupun aku hrs jadi jobseeker lagi. "Ya Allah, maafkan aku kalau mas Ali jd pengalihan krn sebenarnya aku hanya merasa lelah dgn pekerjaanku" Aku lgsg teringat mas Ali. Makin tak tega aku padanya, tdk ada kenginan sedikitpun untuk menikah dengannya sampai detik ini. "Kamu gimana sm anak itu?" Tanya Mama tiba-tiba. Ah.. Mama memang sering kali melempar pertanyaan tiba-tiba. Mengagetkanku. Akhirnya aku jujur pada Mama mengenai mas Ali, tdk ada perasaan apapun padanya. Tdk ada kenginan untuk menikah dengannya. "Ya kalau ga mau bilang lah, kasian anak baik-baik cuma digantung" Mama ketus sekali kalau soal Mas Ali. Benar, kasihan mas Ali. Kebetulan sekali, mas Ali meminta izin untuk main kerumah besok. Keesokannya, "Mas Ali, aku minta maaf. Aku ga bisa untuk punya hubungan yg serius sama mas" Aku lihat betul raut wajahnya, ia menunduk, matanya seperti menahan tangis. "Gapapa Na, mungkin belum saatnya. Maaf ya Na kalau aku banyak salah" Kami kemudian bersalaman, saling melempar senyuman dan berusaha mencari topik obrolan lain untuk mencairkan suasana. Kini, aku akan memulai semuanya dari awal lagi. Karirku maupun percintaanku. #5CC #5ccday15 #careerclassqlc #bentangpustaka https://www.instagram.com/p/CoKj8VtStW9/?igshid=NGJjMDIxMWI=
8 notes · View notes
nonaatata · 1 year
Text
#05 : Lega
Aku sedang tidak ingin berdebat dengan siapa pun, termasuk Nendra. Mendengarkan penjelasan panjang lebar dari dokter tadi saja sudah sangat menguras tenagaku. Rasa-rasanya aku ingin pulang saja dan tidur sampai menjelang malam nanti. Tapi menolak ajakan Nendra adalah menguras energi dengan cara lainnya. Jadi untuk sekarang aku cukup mengikuti saja kemana kami akan makan.
Sembari menunggu Nendra memesan makanan kami, aku mengingat kembali apa saja yang disampaikan oleh dokter. Di tengah sedihku yang membuncah, aku merasakan kelegaan luar biasa. Aku tahu apa yang sedang terjadi padaku. Aku tahu kenapa hatiku nyeri sekali. Aku tahu kenapa aku menjadi begini. Aku tahu apa yang nanti harus aku lakukan. Latihan apa yang harus aku fokuskan. Meski ini keberanian awal namun aku bisa pastikan kalau aku bisa menggulung keberanian menjadi sebesar itu.
“Sudah,” Nendra duduk di depanku setelah menyelesaikan misi memesan makanan kami. “Kira-kira mau cerita tidak?”
Aku tersenyum, “Kalau besok saja gimana.”
Nendra tersenyum sembari mengumam “Kapan pun kamu mau.”
“Kamu gak mau cerita tentang yang kemarin?”
“Tanpa aku cerita sebenarnya kamu pun sudah tahu, Ta. Aku sudah selesai.”
Kemudian kami menatap makanan yang baru saja datang.
 Finish.
9 notes · View notes
alfinamusfira · 1 year
Text
Tumblr media
Aku berjalan dengan ragu menuju ruang dosen pembimbingku. Rasa sesak dalam dada kuhempas dalam beberapa kali helaan. Batinku lirih menyapa seluruh ruangan, “Hai i’m back! Please be nice!” Aku memulai kembali untuk melanjutkan skripsiku yang terbengkalai setelah hampir satu tahun. Sebuah keputusan yang didasari oleh permintaan Mama dan juga kejadian besar beberapa waktu lalu.
Ya, sejak kejadian Nisa mengamuk waktu itu, Mama kembali bisa berbicara meski belum lancar. Papa juga akhirnya mengakui kesalahannya dan berjanji untuk tidak mengulanginya bahkan ia memutuskan untuk mengganti nomor teleponnya dan keluar dari semua grup teman sekolahnya. Papa memang lebih dekat secara emosional dengan Nisa, jadi melihat putri satu-satunya berteriak bagai orang kerasukan mungkin membuatnya takut dan menyadari kesalahannya. Aku meminta Mama dan Nisa untuk berkonsultasi dengan psikolog, dan syukurnya mereka setuju. Papa juga lah yang setia mengantarkan mereka berkonsultasi. Papa, berubah kembali menjadi dirinya dahulu.
“Loh mas Raka!” Sapa suara yang amat ku kenal.
“Eh ya Ra.”  Dari sekian banyak mahasiswa, kenapa harus kamu yang pertama kali ku kenal Ra. Batinku
“Wah lama ngga ketemu mas, aku juga nggak bisa ngehubungi mas Raka sejak waktu itu. Apa kabar? Mama gimana kabarnya? Mau ketemu bu Diana ya?”
“Iya Ra, fokus ngurusi Mama kemarin. Baru lanjut nih skripsinya.”
“Ah begitu, semangat ya mas!! Oiya, lusa aku seminar proposal Mas. Kalau luang datang ya??”
“Nggak janji ya Ra, tapi akan aku usahakan.” sahutku.Rara tersenyum dan pamit untuk menemui dosen pembimbingnya.
Aku mengamati punggungnnya yang menjauh, aku berandai-andai, jika waktu itu aku jadi menyatakan cinta, akan seperti apa hubungan kira sekarang Ra?
“Hai Raka! Welcome back! Sudah nunggu lama?” Suara Bu Diana mengagetkanku.
“Selamat siang Bu, belum kok bu.”“Oke, kita langsung bahas saja ya, saya sudah menerima email dari kamu kemarin, bab 4 sudah saya baca, ada beberapa hal yang perlu kamu perbaiki. Target saya 2 minggu ini kamu selesaikan sampai bab 5 agar kita bisa segera sidang. Siap kan ngebut ngerjainnya?”
“Siap bu!” Jawabku tegas.Sepulang dari bimbingan, aku pergi ke perpustakaan untuk melengkapi materi yang aku butuhkan. Aku bertekat kuat agar aku bisa lulus semeter ini dan ikut wisuda di tahun depan, sesuai permintaan Mama. 
Dunia memang sedang berbaik hati kepadaku, di perpustakaan pun aku bertemu dengan Rara, ia sedang berkutat dengan buku dan laptopnya, entah kenapa tanganku reflek untuk memotretnya, Rara selalu cantik dalam kondisi serius maupun bercanda.
-----------------------------------oo------------------------------------
Mama terlihat sumringah dibantu Nisa memakai kebayanya. Papa terlihat beberapa kali berdiri di depan kaca, membenarkan posisi jas dan dasinya. Sesuai janjiku, aku berhasil menyelesaikan skripsi dan sidang tepat waktu, hingga tibalah hari ini, aku akan wisuda.
Aku mengenakan dasi pemberian Rara saat sidang kemarin. Padahal aku tak memberitaukan siapapun jadwal sidangku, namun rupanya dialah orang pertama yang aku lihat di depan ruangan sidangku. Dia juga yang membantuku mengurusi yudisium dan pemberkasanku. Sayangnya kami tak bisa wisuda bersama, sebab kami berbeda gelombang kelulusan. Yang aku tau, dia akan wisuda di pertengahan taun nanti.
Prosesi wisuda berjalan dengan lancar, aku memang gagal menjadi wisudawan terbaik, namun melihat swafoto yang Papa dan Mama yang sedang tersenyum lebar di grup keluarga sudah cukup bagiku. Nisa dan Rino tak mau kalah, mereka menunggu di luar sembari makan es krim kesukaan Rino. Tak ada kebahagiaan yang lebih lengkap daripada melihat keluarga kami utuh kembali.
Acara wisuda telah selesai,saat keluar dari gedung aku melihat banyak wisudawan dengan kondisi beragam, ada yang membawa pasangan, ada juga yang berkumpul bersama teman-temannya, ada yang sedang diarak satu fakultas, namun ada juga yang berjalan sendirian. Aku mengajak Papa dan Mama untuk berfoto di studio saja, jadi kuminta mereka langsung menunggu di mobil sementara aku masih menemui beberapa rekanku. Kami mengobrol dan berfoto bersama, mereka memberiku beberapa bucket bunga.
Ketika hendak berpamitan, aku melihat nama Rara muncul di panggilan teleponku. Dia menanyakan dimana aku, apakah sudah pulang? Aku menjawab posisi dimana aku berada. Jantungku tiba-tiba berdegup kencang. Tak lama, suara Rara terdengar.
“Mas Rakaaaa, akhirnya ketemu juga!”
Dia menghampiriku setengah berlari, aku tersenyum kecil melihatnya.
“Pelan-pelan Ra.” ujarku
“Selamat ya sudah sarjana! Nih…” katanya sembari mengulurkan sebuah kotak kado.
“Wah, apalagi ini, kan kemarin sudah?”
“Ini, kemarin aku checkoutnya nggak barengan, jadi yang satu sampai duluan, yang satu telat haha. Yaudah aku kasih aja deh pas wisuda.” Jawabnya.
“Makasih lo Ra, repot-repot.”
“Tenang, nggak repot mas. Eh bentar, dasinya dipakai? Wahhh cakep ya ternyata.” Rara menyadari dasi yang aku pakai. Aku terkekeh.
“Kalian mau difotoin bareng ngga?” tawar temanku tiba-tiba.
“Boleh boleh.” Jawab Rara.
Dia kemudian berdiri di sebelahku, kami berfoto berdua, untuk pertama kalinya.
Tak lama Mama menelpon, memberitahukan kalau si Rino sudah protes berat, lapar dan ingn pulang. Mama pun menyuruhku segera ke mobil.
Aku berpamitan kepada Rara dan rekan-rekanku.
Baru beberapa langkah, aku menoleh kembali ke belakang, ku lihat Rara juga sudah berjalan ke arah berbeda. Ingin rasanya hatiku berteriak, memanggil Rara dan memintanya ikut denganku. Namun sekuat hati ku tahan, saat ini, belum waktu yang tepat. Masih banyak yang perlu aku usahakan untuk diriku sendiri dan keluargaku.
“Ra, aku berdoa semoga Tuhan dengan segala rencana baiknya, bisa mempertemukan kita kembali, dalam keadaan yang sudah lebih baik, dan dalam keadaan aku siap melamarmu. Boleh tunggu sebentar lagi Ra?” batinku sembari memandangi punggung Rara yang perlahan menghilang tertutup keramaian.
EPILOG Aku meminta Nisa untuk mengantarkan kotak kado yang sudah aku sediakan untuk Rara. Kotak kado yang ternyata butuh waktu hampir 4 tahun untuk aku sampai ke pemiliknya. Nisa protes, meminta kotaknya sekalian saja ditaruh di kotak seserahan, namun aku menolak, dia harus tau sebelum acara kami dilangsungkan besok. “Nisa gojekin aja ya mas, capek tau ngurus ini, ngurus itu.” “Hmmm, yaudah deh boleh. Duh kasian adek mas capek, mau ditransfer berapa?” Nisa langsung sumringah, “Ih, kalau ada duitnya ya aku aja yang anter.” ucapnya bersemangat dan berangkat untuk mengantarkan kotak tersebut. Aku tertawa melihat kelakuannya. Nisa sudah mahasiswa saat ini, semester 4. Dia mengambil jurusan kedokteran, sesuai cita-citanya dulu. 
20 menit berlalu, Nisa belum tiba di tempat kami menginap, namun sudah ada telepon dari Rara. “Halo mas! Assalamualaikum! Ya ampun ini apa mas? Ini dari kapan buatnya? Niat banget sih.” cecar Rara. “Waalaykumussalam. Inget nggak yang waktu aku ajak kamu ketemu di Cafe Ruang Baca waktu itu? Hehe aku mau kasih itu Ra.” “Ih, mas Raka udah suka sama aku ya dari dulu kalau gitu?” “Ya ampun mas, ini so sweet banget lo. Aduuuh, akadnya nggak bisa dipercepat aja?? Sekarang yuk nikahnya mas!” Aku tertawa mendengar celotehan Rara, calon istriku.
”Ra, akhirnya kesempatan itu rupanya memang milikku, sedari awal. Tuhan dengan semua kuasaNya mengizinkan kita untuk bertemu lagi, makanya aku pernah bilang kan, kalau pertemuan kita bukan kebetulan biasa.”
19 notes · View notes
aalyafrst · 1 year
Text
What Will I be? (5)
"Kamu semester berapa to mbak?" tanya Bu Tin, dosen pembimbing Feifei, saat ia menemuinya.
"Sekarang semester sebelas, Bu," jawab Feifei dengan jantung berdebar.
"Disambi kerja atau gimana? Kok baru bimbingan lagi?" tanya beliau lagi.
"Enggak, Bu. Dulu sempat takut setelah lulus mau ngapain" jawabnya.
"Takut gak dapat kerja? Yang penting itu kamu lulus dulu. Selesaikan tanggung jawabmu di sini. In syaa Allah nanti rezeki akan ngikut. Ini ada sedikit revisi. Segera diperbaiki ya. Jangan ngilang lagi," nasihat Bu Tin.
"Hehe. Baik, Bu," jawab Feifei sembari nyengir.
"Sekalian urus persyaratan sidang ya. Besok revisi terakhir langsung daftar sidang aja."
Mendengar perkataan itu, jantungnya berdetak semakin cepat. Ia merasa belum siap. Tapi ia juga tidak berani menyangkal perintah dosennya.
Beberapa minggu berlalu, kini ia tengah berdiri di depan mengenakan jas almamater dengan ditemani pancaran sinar proyektor yang menampilkan layar laptopnya. Setelah dua minggu ia sempat menghilang lagi pasca bimbingan terakhir kali, akhirnya kini ia menjalani sidang.
Selama dua minggu itu, ia memberanikan diri bertanya pada sahabatnya. Memberanikan diri meminta untuk bantuan temannya. Ia juga memberanikan diri untuk bercerita ketakutannya tentang kehidupan pasca kampus. "Pasca kampus itu jangan dipikirin, toh nyatanya aku baik-baik saja walau belum mendapat pekerjaan tetap. Selesaikan dulu tanggung jawabmu, jangan jadi donatur kampus," ucap salah seorang sahabatnya yang sudah lama lulus.
Setelah menyelesaikan presentasi atas skripsinya, Feifei dapat menjawab pertanyaan mengenai skripsinya dengan lancar. Namun di akhir, ia tak lepas dari pertanyaan kemana ia selama ini. Kembali Feifei menceritakan ketakutannya di depan ketiga dosennya. Dan jawaban yang ia terima pun sama, "setelah kuliah gak usah dipikirkan. Yang terpenting kamu dapat gelar dulu nanti rezeki akan ikut, Mbak," ucap salah satu dosen pengujinya.
"Ah, akhirnya lulus juga. Setelah ini ngapain ya? Kerja atau refreshing? Apa ikut volunteer kayak Mbak Nai?" Feifei bermonolog setelah ia mendapat surat kelulusannya.
SELESAI
-alfrst-
Smg, 02-02-23
7 notes · View notes
tanyavanya · 1 year
Text
Tumblr media
Umur 24 tahun pun menjadi awal aku mencoba mencari tujuan hidupku, ditengah penyesalan, kemarahan yang masih belum bisa ku terima hingga saat ini.
Rasanya melihat anak muda seusiaku hidup dengan bebas seolah tanpa beban, kadang membuatku iri. Beban dipundakku terasa berat sekali setiap harinya ditambah beban pekerjaan yang lumayan.
Malam minggu ini Café rame seperti biasa. Ada hal menarik perhatian sejak tadi, yaitu seorang anak laki laki bersama lelaki tua sekitar umur 60 tahun. Dan setelah ku ketahui setelah mengantarkan pesanan ke meja tersebut, lelaki tua itu adalah Ayahnya. Café yang sebetulnya identic dengan kaum muda, namun ia justru membawa Ayahnya? Wow.
“Hei, kamu ngapain si ngeliatin customer itu terus? Nanti yang ada kamu diomelin customer itu lo karena risih diliatin mulu.” ucap Sinta, kawan kerja disebelahku.
“Ayah dan anak itu akrab banget ya. Gue jadi iri.”
“Yee, yaudah si tinggal bawa Ayah kamu kesini, susah amat.”
Ucapan Sinta tidak salah, karena dia memang belum mengetahui jika Ayahku sudah meninggal. Dan aku pun tidak berniat menceritakan kondisi keluargaku.
Setelah Café tutup, aku lekas pulang ke kost. Aku menyadari satu hal setelah melihat pemandangan Ayah dan anak tadi; pembicaraan yang hangat. Aku tidak pernah berbicara dan berdiskusi dengan Ayahku seakrab itu. Sampai bercanda dan tertawa seperti itu? Tidak pernah. Jadi tahu bukan, seberapa dinginnya rumah kami.
Makin aku memikirkannya, makin aku menyesal dan ingin meminta maaf. Ku pikir selama ini aku sudah memaafkan Ayahku. Namun ternyata aku hanya menaruh perasaan itu di bagian sudut hati yang terdalam dan tergelap, dimana aku yang memilikinya saja tidak menyadari perasaan itu.
Perasaan yang terus menerus menyalahkan Ayah atas semua sikapnya, yang menjadikan aku saat ini tidak mampu membangun tujuan hidupku sendiri. Ke arah mana aku harus berjalan?
=============
BERSAMBUNG . . .
10 notes · View notes
truegreys · 1 year
Text
Menu Sarapan dalam Bertahan Hidup: Episode Terakhir
Aku beruntung Bapak tidak melapor polisi karena hilangnya aku dari hidupnya selama tiga bulan penuh. Tak kusentuh semua media sosial yang biasa kugunakan. Nomor telfon yang lama, kuganti dengan nomor terbaru. Tak ada yang tahu kabarku, kecuali Marla.
Pagi ini, aku tak sarapan lagi. Obat yang minggu lalu diberikan oleh dokter berhenti kuminum di hari ketiga. Apa gunanya? Lagipula aku tak lagi punya tujuan. Mimpiku hangus terbakar waktu dan pilihan Bapak. Orang yang kupikir menyayangiku, ternyata hanya memedulikan hidupnya. Tidak lagi mungkin aku bertahan di hidup yang tak berarah ini.
Sebotol obat anti kejang, berisi 100 tablet, berdiri tegak di tengah meja belajar. Kubeli ia secara daring. Aku tak yakin dia asli, tapi, toh, tujuanku yang paling jelas adalah menegak semua butir sekaligus dan berharap terbangun di tempat paling indah.
Kusiapkan segelas penuh air mineral, kubuka botol putih itu. Apakah begini akhirnya? Apakah betul, hidupku yang selama ini kujalani sia-sia? Apakah aku bisa menyusul Ibu dengan cara menyedihkan seperti ini? Apakah Tuhan akan memaafkan dosaku? Apakah ini takdir yang Tuhan telah tentukan? Pertanyaan-pertanyaan itu berkelebat di kepalaku.
Saat hendak kuteguk 10 butir pertama dari 100 total butir, ada yang mengetuk pintu kosanku.
Satu ketukan.
Dua ketukan.
Tiga ketukan.
“Mila, kamu di dalam? Ini Bapak.”
Suara berat itu hadir tanpa undangan. Suara berat itu, yang kukenal selama seperempat abad hidupku, terdengar begitu nyata. Apakah benar suara Bapak? Ataukah ini hanya khayalanku belaka?
“Mil?” Terdengar lagi suara Bapak. Suara itu nyata.
Segera kumasukkan kembali tablet-tablet itu ke dalam botolnya dan kulempar botol itu ke laci terdalam meja belajar. Kubuka pintu dengan pandangan buram—dipenuhi air mata, yang tentunya segera kudorong ke sudut mataku. Kulihat Bapak berdiri dengan ransel bututnya sambil menjinjing sebuah keresek hitam.
Aku tak tahu bagaimana Bapak bisa tahu keberadaanku. Mungkinkah ia dapat telfon dari rumah sakit seminggu lalu? Mungkinkah Marla diam-diam memberi tahu Bapak?
Dalam beberapa detik, kami saling memandang dengan mata yang sama-sama berkaca-kaca. Aku tak tahu harus bilang apa.
“Bapak bawa sarapan. Ayo makan.” Katanya dengan suara bergetar.
Kupersilakan Bapak masuk. Yang kutahu selanjutnya, sarapan yang dibawa bapak membuatku bertahan hidup.
Setidaknya untuk hari ini.
Tamat.
11 notes · View notes
Text
Perjalanan ketiga
Namanya Raya, perempuan berhati baik yang selalu menjadi pendengar baikku. Pertemanan yang sudah memasuki angka ke 7 tahun rasanya sudah cukup untuk kami saling mengenal dan percaya.
Kali ini bukan tentang ceritaku tapi kisah raya. Perpisahan bapak dan ibunya masih menjadi topik utama pada masalah hidupnya. " ca rasanya setahun ini berat banget ya, bisa bertahan dari hari ke hari saja sudah anugerah banget buat aku" katanya waktu itu.
"Sudah tidak ada back up apa-apa lagi dari orang tua, mau ini itu, butuh sesuatu dan harus dipenuhi sendiri itu rasanya berat ya ca". Air matanya sesekali tidak dapat dibendungnya
Hai ra walaupun saat ini kita jarang ketemu tapi aku yakin kamu bisa melewati beban berat ini. Ingat ya ra, kamu pernah bilang ke aku, kalau takdir Allah itu baik.
Kamu lagi mau naik level makanya Allah uji kamu, bukannya setelah kesulitan ada kemudahan. Walaupun kita udah jarang komunikasi apalagi bertemu karena kesibukan masing-masing, tapi aku tau kamu orang baik dan aku selalu berdoa semoga kamu selalu dikelilingi orang-orang baik dan ditemukan oleh orang baik juga.
11 notes · View notes
faizaalbi · 1 year
Text
Ep.3
Sepulang dari kampus, aku mandi, dan mengeringkan rambutku yang basah. Kemudian aku duduk di depan meja belajar.
Kebiasaanku adalah menguncir rambutku yang panjang sebelum memulai belajar ataupun bekerja. Aku mulai menyisir rambut dengan jariku dan mengumpulkan rambutku dari bagian kiri, atas, kanan, dan yang terakhir bagian bawah. Aku melingkarkan karet rambut yang sudah kugenggam, dan setelah ketat membiarkan rambutku terjatuh menyentuh punggungku.
Aku membuka laptop dan notes untuk mencatat. Siap untuk mencari tau.
Untuk mengetahui apakah benar-benar suka dengan ilmunya adalah mendalami ilmunya.
***
Tak terasa jam dinding sudah menunjukkan pukul 13.36.
Aku bernapas lega. Rambutku yang tadinya terkuncir ketat setinggi mata, kini sudah longgar dan menurun. Buku catatanku yang awalnya kosong, kini sudah terisi dengan coretan pulpen yang berisi istilah-istilah yang tidak kupahami dan pemahamannya.
Walaupun sudah belajar sekian lama, rasa lelah tidak terasa. Hatiku terasa ringan, senang, lega, bangga telah belajar sampai sejauh ini. Seakan-akan akhirnya berjumpa dengan teman lama yang sangat dirindukan.
Ini yang aku mau.
Ini yang aku suka.
Sebelum tidur, aku berwudhu untuk sholat istikharah untuk memantapkan hati.
Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa perkara ini baik bagiku dalam bagi agamaku, kehidupanku, akhir urusanku, duniaku, dan akhiratku, maka takdirkanlah hal tersebut untukku. Mudahkanlah untukku dan berkahilah ia untukku. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa perkara tersebut jelek bagi agama, kehidupan, akhir urusanku, duniaku, dan akhiratku, maka palingkanlah aku darinya dan palingkanlah dia dariku. Takdirkanlah yang terbaik untukku apapun keadaannya. Sesungguhnya Engkau Yang Maha Bisa atas segala sesuatu.
****
Aku menjalani hari seperti biasa. Kuliah seperti biasa, pulang seperti biasa. Aku bertekad untuk membicarakan ini saat makan malam.
Harum makanan memasuki kamarku. Aku berjalan keluar kamar dan memasuki dapur, berniat untuk membantu ibuku memasak. Setelah selesai menyiapkan makan malam, aku memanggil ayahku untuk turun dan makan bersama.
Makan malam dimulai. Tapi mulutku tak kunjung memulai bicara. Aku berkata dalam hati, ayuk mulai. Ayuk mulai. Sekarang.
Aku meletakkan sendok diatas piring.
"Pa, Ma. Aku mau ubah karir boleh?"
Mendengar apa yang aku tanyakan, tangan mereka langsung terhenti. Bunyi ketukan sendok dan piring tidak terdengar lagi. Mereka terdiam.
Ayahku meletakkan sendoknya, diikuti oleh ibuku. Ayahku menatap mataku dan bertanya,
"Kamu yakin?"
"Yakin pa." Jawabku.
"Udah sholat istikharah?"
"Udah pa."
"Kalo gitu coba aja."
Segampang itu? Sepercayanya itu sama aku?
Ya Allah terima kasih, Engkau telah memberikan papa dan mama sebagai orang tuaku.
9 notes · View notes
fanicahya · 1 year
Text
Pilihan Hidup (1)
Dua hari lagi adalah hari kelulusanku di bangku kuliah. Butuh waktu 5 tahun untuk menyelesaikan studi dengan jurusan yang sesungguhnya bukan sesuai yang aku inginkan. Tanggung jawabku kepada orang tua selesai sudah.
"Bu, lusa Hendra wisuda, apakah ibu sudah sehat dan bisa menghadiri upacara wisuda?" tanya Hendra pada ibunya yang 3 bulan lalu pulang dari rumah sakit
"InshaAllah nak, semoga besok ibu sudah lebih enakan ya"
"Baik Bu, jika memang tidak bisa datang tidak usah dipaksakan" jawab Hendra
(Hari esoknya)
"Hendra, maaf sepertinya ibu tidak begitu mampu untuk datang, ibu masih lemas" "Tidak apa-apa Bu, ini bukan masalah yang besar. Ibu istirahat saja dirumah"
Tok tok tok... (Bunyi pintu)
Hendra pun membuka pintu, didapati ayahnya pulang dari dinas. Ayahnya lekas membersihkan diri dan menemui istrinya. Ibu Hendra menceritakan bahwa esok adalah hari kelulusan Hendra dan ia tidak dapat menghadiri karena badan masih belum fit. Tanpa diminta Ayah Hendra menawarkan diri untuk menghadiri upacara tersebut.
"Hendra, besok ayah yang menghadiri upacara kelulusanmu ya, biar ibumu istirahat dirumah" "Baik ayah" jawab Hendra singkat
(Esok hari)
"Sudah siap? ayo kita berangkat" ajak Ayah Hendra
Hari ini Hendra sangat rapih dengan baju toga dan dasi kupu-kupu hitamnya. Rambut juga sangat rapih. Sungguh berbeda dari Hendra yang biasa. Hendra pun berpamitan dan mencium ibunya dan lekas masuk ke dalam mobil.
(Di dalam mobil)
Sudah 30 menit, hening tidak ada pembicaraan. Kemudian sang ayah pun membuka pembicaraan.
"Di gedung apa nanti?"
"Di Aula Ganesha Yah"
"Setelah lulus, rencanamu mau kerja dimana? Ayah ada kenalan yang anaknya kerja di perusahaan minyak terbaik di Ibu Kota. Jika mau nanti ayah kenalkan biar kamu ada gambaran apa aja yang perlu disiapkan" saran dari Ayah Hendra
"Tidak usah Yah, Hendra mau di kota ini saja menemani ibu. Lagi pula Hendra mau fokus mengembangkan bisnis dan workshop" jawab Hendra singkat
"Bisnis apa si? workshop gambar gambar yang gak jelas itu? Udah dicoba dulu aja, nanti Ayah kenalkan sama anaknya temen Ayah. Kerja itu yang jelas jelas aja yang memang udah menjamin. Kamu harusnya bersyukur masih Ayah bantu, ini juga untuk kebaikan kamu" cerocos Ayah Hendra
"Terserah Ayah saja" jawab Hendra ketus
[BERSAMBUNG]
9 notes · View notes
chocohazel · 1 year
Text
Cerita Sendu (5. End)
"Ndu, mungkin menurutmu ini mendadak. Tapi tidak buatku. Selama sepuluh tahun ini, bagiku kamu tidak benar-benar hilang, aku mengamatimu lewat Anja, lewat tulisan-tulisanmu, lewat buku yang kamu baca, dan semuanya"
Diamku membuat Laut melanjutkan pembicaraan. Bagaimana mungkin? Kupikir sepuluh tahun berlalu aku dan Laut sudah benar-benar menjadi orang asing. Bukankah Laut yang delapan belas tahun lebih suka Nala dibandingkan aku? Apakah selera manusia bisa melandai drastis sebab dimakan usia?
"Tapi selama ini aku tidak menunggu kamu, Laut. Jika kamu mengira aku menunggumu sebab hingga saat ini aku sendiri, kamu salah. Aku benar-benar hanya sedang fokus pada diriku, maksudku kondisiku memaksaku untuk fokus pada diriku"
"Tahu, aku tahu lebih banyak dari yang kamu bayangkan. Termasuk tentang Ayah dan Ibu"
Anja pengkhianat!
"Tapi, kenapa aku? Maksudku, bukankah dunia terlalu luas untuk melabuhkan hati ke orang yang kamu temui saat SMA? Apalagi ke aku?"
"Walau butuh waktu lama, hari ini aku datang, Ndu. Kamu kenal aku kan? Aku tidak mungkin datang jika tanpa keyakinan. Aku jatuh cinta dengan caramu berpikir dan aku yakin ingin menetap di dalamnya. Sepuluh tahun ini aku selalu berandai bagaimana jika sepuluh tahun lalu aku memilih persimpangan yang berbeda, apakah sepuluh tahunku akan lebih berwarna sebab bersamamu. Kamu tidak perlu hilang dan pindah kota sebab ulahku. Aku tidak buru-buru, kamu bisa mengamatiku sedetail yang kamu mau, bahkan kamu boleh membalasku dengan membuatku menunggu lebih lama." Laut melanjutkan.
Sampai di usia dua puluh delapan tahun, aku sering berkhayal tentang bagaimana rasanya jika suatu hari aku diminta menemani sepanjang sisa usia oleh seseorang. Aku membayangkan menerima sebuah ajakan serius yang diucapkan di sebuah taman hijau penuh bunga atau di sebuah restoran mewah dengan iringan musik romantis seperti di film-film. Sementara hari ini, untuk pertama kali, aku mendapatkannya di sebuah kedai mie ayam spesial rasa masa lalu.
Semoga sepuluh tahun cukup untuk membuat kisahku dan Laut berakhir bahagia.
6 notes · View notes
nithata · 1 year
Text
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
3 notes · View notes