Tumgik
#pete focter
mampirminum · 3 years
Text
Memoar untuk Para Lelaki Tua: Yang Terbuang, Mati, dan Tak Berarti
Tumblr media
I
KEBIMBANGAN dan ketidaktentuannya, dari sisi kepribadiannya yang peragu, mendadak lenyap. Sinar matanya mulai berapi-api. Sifat nekat dan keberanian mulai bermunculan dalam benaknya.
Kini benaknya selalu dipenuhi dengan impian tentang mantel yang suatu saat akan menjadi miliknya. Dengan mantel barunya, dan membuang mantel lamanya yang penuh tambalan, Akaky Akakievich merasa semakin naik derajat. Seolah-olah ia telah kawin lagi dan seakan-akan hidupnya tidak sendirian.
Ia merasa punya teman hidup yang menyenangkan, yang mau berbagi rasa dengannya. Teman hidupnya bukan lain adalah mantelnya yang dibuat dari katun dan wol yang tebal serta kain yang kuat sehingga mampu bertahan selama sisa hidupnya.
Dengan mantel barunya, Ia merasakan telah menentukan tujuan hidupnya. Akaky akan menjadi semakin tekun bekerja.
Walaupun, di kantor tempatnya bekerja, tak ada seorang yang menghormatinya. Ketika Akaky lewat, para pegawai rendahan sekalipun, tak mau berdiri. Mereka tetap duduk, bahkan tak mau memandangnya. Seolah-olah Akaky adalah seekor lalat yang terbang melintasi ruangan.
Para pegawai junior menertawakannya. Mereka kerap menceritakan lelucon yang bersifat merendahkan tentang diri Akaky.
Meskipun bekerja sebagai penyalin teks non-partikelir, Akaky hidup dalam keterbatasan. Ia hanya berpenghasilan 400 rubel dalam setahun. Dan enam bulan yang lalu, dia telah berbicara dengan penjahit Petrovich mengenai mantel baru.
Untuk menggantikan mantel lamanya yang tipis dan tak bisa diperbaiki lagi, Petrovich mematok harga 80 rubel. Penjahit itu telah mendiskon 50 persen, dari harga asli 150 rubel. Namun, 80 rubel pun adalah tarif yang melebihi kemampuan Akaky.
Akaky tetap ingin mantel baru. Ia memutuskan untuk mengurangi pengeluarannya hari demi hari setidaknya selama satu tahun.
Ia akan mengurangi teh di pagi hari, mulai berjingkat agar sol sepatunya tak mudah menipis, dan jika ada pekerjaannya yang dia bawa ke rumah, ia akan mengerjakannya di pemilik rusun tempatnya tinggal. Ini dia lakukan agar bisa menghemat lilin.
Setelah dua-tiga bulan Akaky merasakan kelaparan, Direktur tempatnya bekerja memberi tunjangan. Akaky mendapat 60 rubel. Kini, ia sudah mengantongi 80 rubel dan siap ke Petrovich.
...
Hari itu, entah hari apa bagi Akaky Akakievich menjadi hari paling menggembirakan selama hidupnya, karena Petrovich akhirnya menyerahkan mantel baru tersebut.
Petrovich memberikan mantel tersebut di pagi hari, bahkan sebelum Akaky berangkat ke kantor. Mantel itu bisa dikatakan diserahkan pada saat yang tepat, karena hawa dingin membeku mulai terasa bahkan tampaknya semakin memburuk.
Pelabuhan Kota St. Petersburg menjadi musuh menahun bagi seseorang yang hanya mendapat upah 400 rubel pertahunnya ini. Musuh itu tak lain adalah angin dingin dari utara.
II
DI BUMI sisi lainnya, di Pelabuhan Havana, sesosok nelayan tua baru saja berlabuh. Pak Tua itu pulang dengan perahu tanpa hasil buruan.
Hanya gulungan tali, tombak seruit dan layar yang telah digulung yang bermukim di perahunya. Bahkan layar perahu yang telah bertambal karung-karung tepung itu tampak seperti bendera kekalahan abadi.
Banyak nelayan mengolok si Pak Tua. sebagian yang lain, nelayan-nelayan yang lebih tua, memandang kepadanya dan merasa turut bersedih.
Segala sesuatu yang ada pada Pak Tua telah tampak tua, kecuali matanya. Kedua matanya memiliki nuansa warna yang sama dengan warna lautan. Mata itu tampak bersinar riang serta tak tertaklukkan oleh apapun.
"Semua orang bisa menjadi nelayan pada bulan Mei," sebut Santiago, nama Pak Tua itu.
Hari itu, entah hari apa di bulan Mei, Pak Tua pergi lagi ke arus perairan teluk. Ia berniat akan memancing jauh ke tengah, di tempat angin berubah arah.
Beberapa hari di tengah Samudra Atlantik Utara, umpan Pak Tua disambar oleh marlin raksasa. Ikan itu menyeret perahu Pak Tua lebih jauh ke tengah samudra. Seseorang seharusnya tak sendirian pada usia tua mereka, pikirnya.
Marlin raksasa tak menyerang atau melakukan gerakan yang dapat menimbulkan dampak desktruktif pada perahu. Monster itu tidak tahu saja kalau makhluk yang dilawannya hanya seorang Pak Tua. Pak Tua yang renta dan kesepian.
Mungkin, aku seharusnya tidak menjadi nelayan, keluh Pak Tua dalam hati. Tapi itulah alasan kenapa aku dilahirkan.
"Ikan," serunya, "aku menicntaimu dan sangat menghormatimu. Tapi aku akan membunuhmu sebelum hari ini berakhir."
Mari kita berharap begitu, pikir Pak Tua.
III
Harapan pula yang membuat seorang guru musik tak pernah menyukai pekerjaannya. Ia merasa seakan-akan terjebak di sana.
Menjadi guru musik bergaji pokok, mendapat tunjangan dan jaminan kesehatan tidaklah cukup bagi dirinya.
Guru Tua itu punya rencana menjadi musisi jazz yang masyhur di kotanya. Itu jelas masih rencana untuk saat ini.
Guru Tua bernama Joe Gardner itu memupuk harapannya sejak ayahnya membawanya ke kelab jazz. Joe tak suka di sana, tapi ia melihat seseorang, entah siapa, memainkan sebuah akor dengan tempo seperempat.
"Lalu dengan minor," kata Joe pada para murid, "Lalu dia tambahkan suara dalam, seakan-akan dia menyanyi. Sumpah, tiba-tiba... seakan dia melayang dari panggung. Dia tenggelam dalam musik. Dia di dalamnya dan dia bawa kami bersamanya. Dan aku ingin belajar cara bicara seperti itu. Saat itulah aku tahu, aku dilahirkan untuk main musik."
Celananya yang berlubang jadi pertanda ia masih punya rencana bagi dirinya sendiri, bukan untuk orang tuanya.
Kemudian, kesempatan itu datang. Mantan muridnya yang kini bermusik dengan Dorothea Williams, musikus terkenal di kotanya, ingin mengajak si guru tua itu berkolaborasi di kelab bernama The Half Note.
"Aku tidak mau mati pada hari aku dapat kesempatan. Ini saatnya," serunya.
Namun, ia masuk dalam lubang gorong-gorong dan mati.
Aku tak boleh mati hari ini. Kesuksesanku baru dimulai, ucapnya di alam baka.
Pemimpi yang punya sekian rencana itu kini hidup dalam dunia yang tak ia rencanakan.
IV
Pada akhirnya, Kehidupan terkadang berengsek betul. Tragedi bukanlah mati, tapi terbuang. Akaky mati ketika baru punya harapan dan tujuan hidup dari mantel baru berharga 80 rubel. 
Di lain pihak, Pak Tua hanya membawa todak dan tulang-belulang dari marlin raksasa. Kemudian dia meringkuk dengan atau tanpa kebanggaan--tak ada yang tahu pasti.
Kuharap Pak Tua tak membenci dirinya sendiri atau menyesal, atau malu. Hidup adalah persoalan yang linear: sulit mendapat, sulit pula menjaganya. 
Si Guru Tua pun hidup kembali untuk memainkan pianonya dengan akor bertempo seperempat di depan khalayak dan membuat orang tuanya tersentuh.
Namun, ia baru menyadari bahwa hari yang telah ditunggu seumur hidupnya tak terasa berbeda dengan hari-hari lainnya.
"Aku dengar cerita tentang ikan,” mulai Dorothea. “Dia berenang ke ikan yang lebih tua dan mengatakan, 'Aku sedang mencari yang disebut orang sebagai lautan'.
'Lautan?' Kata ikan yang lebih tua. 'Kau berada di dalamnya'. 'Ini?' kata ikan muda. 'Ini air. Aku ingin lautan',"
Tak ada hal lain seperti kesedihan dan trauma yang bisa mengumpulkan ketiga orang dengan ceritanya masing-masing. Pun begitu juga dengan kita.
Terkadang, kita mengejar tujuan hidup untuk memberi inspirasi, namun sialnya kita jarang terinsipirasi.
Maka, jalanilah hidupmu hari ini.[]
-------------------------------
Akaky Akakievich adalah sosok yang diciptakan oleh Nikolai Gogol dalam cerita pendek berjudul “Si Hantu Mantel” pada 1842.
Santiago, atau si Pak Tua adalah sosok yang dikarang oleh Ernest Hemingway dalan novel berjudul “Lelaki Tua dan Laut” pada 1952.
Joe Gardner, si Guru Tua adalah sosok yang dibangun oleh Pete Docter dalam film animasi “Soul” pada 2020.
4 notes · View notes