Tumgik
#baca
tiktoks-repost · 1 year
Text
216 notes · View notes
tetramodal · 11 months
Photo
Tumblr media
Crestone View Acrylic on canvas 8x10". Charles Morgenstern, 2023. The San Juan Mountains seen from Crestone, Colorado.
59 notes · View notes
herricahyadi · 10 months
Text
“Lagipula di rumah kelas menengah kita, mana ada sebuah kamar yang menyediakan buku?”
- Goenawan Mohamad, Pada Masa Intoleransi.
42 notes · View notes
Text
Tumblr media
Buenos Aires
20 notes · View notes
Text
BACA
If you have any faith in humanity, you will believe me when I say that BACA is real.
Baca- or Bikers Against Child Abuse- is a worldwide charitable nonprofit, which focuses on helping children overcome their fears and escape their abuser.
The people for this organisation are simply bikers who believe in a better future, and have the motto 'No Child Deserves to Live in Fear'. They do any number of things, such as accompany a child to the court case against their abuser or to the home. They make the child feel safe and accepted, give them a 'biker name' and a vest with the logo.
They can be found all over the United States and Europe, as well as other places.
It's things like this that make you realise how amazing humanity can be sometimes. Yes, it shouldn't have to exist, but they do so much amazing work.
16 notes · View notes
dreaminginthedeepsouth · 11 months
Link
Tumblr media
Bikers Against Child Abuse was founded in 1995 by a Native American child psychologist whose ride name is Chief, when he came across a young boy who had been subjected to extreme abuse and was too afraid to leave his house. He called the boy to reach out to him, but the only thing that seemed to interest the child was Chief’s bike. Soon, some 20 bikers went to the boy’s neighborhood and were able to draw him out of his house for the first time in weeks.
Chief’s thesis was that a child who has been abused by an adult can benefit psychologically from the presence of even more intimidating adults that they know are on their side. “When we tell a child they don’t have to be afraid, they believe us,” Arizona biker Pipes told azcentral.com. “When we tell them we will be there for them, they believe us.”
Links the International BACA Chapters: United States Canada Australia Belgium Denmark Germany Spain France Italy Netherlands Iceland Austria Greece New Zealand Portugal Sweden United Kingdom Switzerland B.A.C.A’s Byline: “Keepers of the Children.”
30 notes · View notes
jinggabells · 2 months
Text
Tumblr media
"Menyesal akan membuatmu sedih, tapi itu membuatmu mengingat masa-masa baik"
2 notes · View notes
kagitpecetenotlari · 3 months
Text
Tumblr media
2 notes · View notes
lilanathania · 4 months
Text
Sihir Buku
Ada banyak berkat yang saya rasakan dalam hidup. Salah satu yang paling saya syukuri adalah orang tua yang memperkenalkan dunia imajinasi dan sihir buku sedari dini.
Tumblr media
Salah satu kenangan masa kecil yang paling membekas adalah bagaimana setiap bulan kami pergi ke Gramedia. Di toko buku itu, papa dan mama akan membiarkan saya memilih satu buku favorit untuk dibeli. Bayangkan seorang bocah cilik yang asik menjelajahi rak-rak tinggi dengan jajaran buku dongeng. Bagi saya, 'menara' buku berwarna-warni itu sama menariknya dengan es krim dan permen. Kami selalu menghabiskan waktu berjam-jam di sana, menikmati kebersamaan walau terpisah di lorong kesukaan masing-masing. Saya selalu ndlosor di lantai bagian buku-buku anak, membaca sebanyak mungkin sebelum memilih satu yang layak dibawa pulang. Kala itu, membeli buku sebulan sekali adalah sebuah kemewahan yang sangat dinanti-nanti.
Sedikit dewasa, buku-buku yang saya baca semakin tebal. Dari puluhan halaman bergambar menjadi ratusan lembar penuh tulisan. Dari dongeng di negeri fauna menuju kisah perjalanan penyihir, penunggang naga, dan kisah romantis remaja. Harga buku kesukaan pun semakin tak murah. Berkali-kali saya takut membawa buku yang mahal ke hadapan orang tua saya. Namun, respon mereka selalu sama, "Buat buku, tidak apa-apa!" Pola pikir ini kemudian saya terima sebagai warisan yang sakral. Untuk ilmu pengetahuan, imajinasi, dan wawasan, tidak ada kata mahal.
Suatu ketika di bangku SMA, saya pergi ke mall dengan beberapa teman perempuan. Mereka asik membeli jepit rambut, bando, dan aksesori wanita. Saya hanya melihat-lihat sambil berpikir, sayang ya beli begini kalau jarang dipakai. Tak sabar menunggu mereka, saya bergeser ke toko buku yang berada tak jauh dari situ. Setelah memilih beberapa novel, saya membayar dan kebetulan teman-teman yang sudah selesai dari toko aksesori bergabung di kasir. Salah satu mendekat dan berkata dengan kaget, "Ya ampun! Lila, kamu belanja buku banyak banget! Mahal ya sampai ratusan ribu!"
Memori itu terpatri jelas sekali di benak saya. Betul juga ya? Mau beli jepit kurang dari 20 ribu saja saya sayang. Namun kemudian saya pergi ke toko buku dan menghabiskan uang hampir 10x lipat untuk tiga buah buku :)) Di kala itu saya sadar betul bahwa papa mama telah sukses meracuni anaknya dengan dunia literasi.
Layaknya sebuah kisah cinta, perjalanan saya dengan buku tak selalu berjalan mulus. Usai lulus kuliah, saya merasa sangat jauh dari buku. Saya masih suka menulis dan membaca artikel-artikel pendek, tetapi sangat jarang membaca novel dan karya sastra panjang. Berbagai alasan saya bisikkan ke diri sendiri, kamu sudah bekerja, sekarang kamu perlu membaca report - bukan novel, kamu sibuk aktivitas lain sehingga tak ada waktu. Dari beberapa novel sebulan menjadi satu novel per bulan, lalu beberapa novel per tahun.
Entah mulai kapan, membaca menjadi sesuatu yang hanya bisa dilakukan di waktu-waktu spesial. Saya tak lagi mencari waktu untuk membaca, tapi membaca ketika ada waktu. Hal ini terjadi selama bertahun-tahun, dan saya selalu kesulitan untuk kembali menumbuhkan rasa cinta tersebut.
Belakangan, saya mencoba menjauhkan diri dari media sosial. Platform ini memunculkan banyak dampak negatif dan menyerap terlalu banyak energi serta emosi (saya membuat tulisan tentang media sosial di sini jika Anda tertarik membaca). Perlahan-lahan, saya memaksa diri membaca buku.
Rasanya ternyata sangat emosional. Saya menemui buku pertama yang membuat saya menangis dalam lima tahun terakhir. Buku pertama yang membuat mata saya pedas karena begadang - terlalu penasaran dengan akhir cerita. Buku pertama yang membuat saya tak sabar membaca seri kedua dan ketiganya. Buku-buku lanjutan dari kisah-kisah masa kecil yang dulu begitu saya cintai. Saya merasa seperti orang yang menemukan kembali cinta pertamanya. Sesuatu yang terasa begitu melegakan, menenangkan, dan menggembirakan. Nyaman.
Saya kemudian juga memahami bahwa rating buku sangatlah penting. Hal ini sangat terasa ketika membaca ulang buku-buku dengan target pembaca dewasa yang dulu saya lahap ketika masih SD atau SMP. Ternyata, buku-buku itu memberikan warna dan makna yang begitu berbeda. Apa yang dulu membingungkan atau terasa begitu abstrak, sekarang dapat saya maknai dengan jelas. Kutipan yang berkata 'You never read the same book twice' memang benar adanya. Membaca karya apik memang terkadang butuh lebih dari sekali agar tak ada inti sari yang terlewat.
Seorang dosen dan sahabat saya pernah berkata, "Membaca itu bukan hobby tapi habbit". Ada masanya membaca memang perlu dibiasakan sebelum lama-lama menjadi suatu hal yang akan kita rindukan ketika tidak dilakukan. Saya begitu bersyukur bahwa orangtua saya memperkenalkan pada dunia sejuta warna ini. Tanpa mereka, tak mungkin saya menjadi seorang pembaca seperti hari ini. Di dunia yang serba cepat dan instan, membaca adalah salah satu jalan keluar untuk kembali mendapatkan kenikmatan yang meresap secara perlahan. Suaka nyaman untuk melangkah di trotoar kata-kata menuju dunia imajinasi.
4 notes · View notes
sastrasa · 1 year
Text
Waktu usiaku sepuluh tahun, aku kira usia dua puluh lima tahun nanti, bakal keren banget. Pertama, pasti aku sudah lulus kuliah (S2 kalau bisa!) waktu itu cita-citaku jadi dokter dan aku ingin kuliah di Fakultas Kedokteran Institut Teknologi Bandung (sumpah ini, gak boong) karena dulu setiap hari Minggu, Mamaku selalu bawa aku ke Masjid Salman ITB itu. Jadi sejak hari pertama mamaku bawa aku ke sana (tepatnya ketika aku usia delapan, atau sembilan tahun ya?) Aku udah punya cita-cita luar biasa itu (yang sekarang aku jadi paham kenapa cita-cita itu enggak bisa terwujud). Lalu, tentu saja, dalam imajinasiku itu, di usia dua lima aku sudah menyandang gelar S2 kedokteran (yang akhirnya aku tahu kalau adanya kuliah spesialis). Kedua, aku pasti sudah menikah, mungkin punya anak satu (atau dua) dan punya sekolah! Meski emang enggak sync sama sekali, tapi selain jadi dokter aku ingin jadi guru juga! Dan punya sekolah yang lengkap mulai dari TK sampai Perguruan Tinggi. Ajaibnya, aku yakin banget semua itu sudah terwujud di usia dua lima-ku. Ketiga, aku sudah punya pekerjaan tetap (tentulah, jadi dokter dan punya sekolahan, kan?). Ke-empat, aku juga pasti sudah ibadah Umroh dan bahkan Haji! Ke-lima, aku juga pasti sudah berkeliling dunia dan Indonesia. Wah, bahagianya usia dua lima, yang jaraknya masih lima belas tahun lagi.
Lalu, waktu usiaku lima belas tahun (yang aku yakin sekali baru saja kemarin, tapi ternyata sudah sepuluh tahun lalu?), aku yang baru masuk SMA mulai disadarkan bahwa gak semua hal bisa terwujud. Dan yah, aku baru tahu kalau ITB gak punya Fakultas Kedokteran! Aku juga baru tahu kalau ternyata mustahil sekali bisa jadi dokter sekaligus punya sekolah di waktu yang hampir bersamaan. Bisa aja sih punya sekolah, asal bikinnya dari sekarang! Tapi aku yang usia lima belas itu sadar diri kalau sekarang gak bisa bikin sekolah karena belum punya ilmunya. Akhirnya, cita-citaku bergeser. Meski tetap ingin jadi dokter, tapi jadi astronot juga boleh, atau laborat? Ah, jadi desainer juga bisa banget. Diplomat juga oke banget. Duh, jadi apa ya? Pokoknya usia dua lima nanti aku sudah lulus S2, sudah menikah dan punya anak, titik!
Wah, ternyata sepuluh-lima belas tahun lalu terasa begitu singkat, ya? Sekarang usiaku dua lima (baru lebih satu hari). Sudah melewati 9,125 hari di bumi. Dan, aku belum lulus kuliah (strata satu loh, bukan dua). Menikah? Aduh! Hilal jodoh saja belum terlihat. Anak? Banyak sih, anabul. Pekerjaan tetap? Jadi mahasiswa termasuk pekerjaan bukan ya? Tapi kata temanku mahasiswa itu pengangguran dengan gaya. Jadi, bayanganku soal usia dua lima meleset semua! Namun, ada satu pelajaran hidup yang sudah mulai kupelajari sejak usia sepuluh tahun: Kesadaran. Dan yah, kesadaran itu semakin menyadarkan.
Jadi, gimana dua lima kamu?
- Sastrasa
17 notes · View notes
slimsmuse · 7 months
Text
Tumblr media Tumblr media
4 notes · View notes
rifkisyabani · 1 year
Photo
Tumblr media
"Bacalah" Iqro', sebagai sebuah kata pembuka dari permulaan wahyu, telah menjadi landasan risalah peradaban. Dalam sejarahnya kata yang menjadi awal risalah ini --> telah mampu menginspirasi serangkaian AKSI yang berawal dari kesadaran dan perubahan mindset dalam sebuah komunitas, lalu menjadi "social movement" dan akhirnya membesar menjadi sebuah society hingga menjelma dalam sebuah negara. Nyatanya ini bukan sekedar membaca "huruf", tetapi juga kemampuan membaca kondisi, peristiwa hingga fenomena. Membaca literatur, lalu dilanjutkan dengan merenungi kondisi diri-internal, peristiwa dan rangkaian kejadian hingga fenomena-fenomena yang ada memberikan isyarat yang sangat jelas bahwa hal yang paling perlu dilakukan oleh kita yang ingin menghadirkan "perubahan" adalah dengan ilmu dan pengetahuan. Yuk, semangat membaca! Iqro'! #sketchnote #sketchnotes #draw #sketch #snote #coretanrifki #ilmu #iqro #baca #buku #visualnotetaking #dakwahvisual (at Lenteng Agung, Jagakarsa, Jakarta Selatan) https://www.instagram.com/p/CowVNiSLjFP/?igshid=NGJjMDIxMWI=
5 notes · View notes
Photo
Tumblr media Tumblr media
"OLD TOWN"
by Carlos Gonzalez
Trained at the Design Center in Maracay, Venezuela, Carlos Gonzalez now lives in LaBelle, Florida. In 2016 Pompano Beach Arts selected Gonzalez' design for the 98-foot wall facing the alleyway behind BaCA (the Bailey Contemporary Arts building). From archive photographs, historic sites, and existing landmarks Gonzalez created a colorful vision of the South Florida community: past, present, and future. 
LOCATION: 135 NE 1st Ave, Pompano Beach, FL
@carlosinocente_art/   @pompanobeachartsofficial/
9 notes · View notes
ulfarodia · 11 months
Text
Tumblr media
Yang sempet terlupakan karena pas awal baca malah lieur alias pusing wkwk. Terus belum dilanjutin.
Sampai ke hari ini, setelah serangkaian waktu berlalu. Mulai baca lagi karena butuh refreshing dari beberapa aktivitas di depan laptop. Terus nemu momen,
"Lohh ini dibahas nih di naskah pembelajar waktu itu, bahas kerajaan Islam ini, bahas tokoh a, b, dan seterusnya."
"Wah iya ini ditulis juga di naskah yang kemariin, bisa kali ya ini jadi buku sumber wkwk"
Padahal, awalnya beli buku ini waktu IBF sebatas termotivasi karena buku ini seputar sejarah dan yaa penulisnya bukan sembarang penulis.
Alhamdulillah. Mari lanjutkan membaca.
3 notes · View notes
Text
Tumblr media
2 notes · View notes
Photo
Tumblr media
Пастухи в окрестностях Вифлиема
3 notes · View notes