Tumgik
#Lelaki tua dan laut
yusmi030602 · 8 months
Text
“Ada rasa, cinta Dan cita di sini
Oleh: Fazlur Rahman Maloko
(Ajju)
Tumblr media
Mimpipun kadang aku tak berani
Sederet langkah hanya aku ayungkan antara bibir pantai Dan halaman rumah
Aku tau,
Aku hanya anak nelayan Yang sekedar tau tentang asinnya laut Dan teriknya panas
Pagi itu.
Kala matahari menderang, suara ombak memecah
Bertanda, aku aba Dan para nelayan akan kembali bersua dengan samudera
Meliuk mendayu dengan biduk kecil melawan arus gelombang tak menentu
Aku masih takut bermimpi.
Sinar siang memecah kepalaku
Mengiris kulit, menyengat membakar sekujur tubuh
Aku tak peduli, ini hidup kami
Yang tak harus mati oleh keluhku
Ku pandang wajah tua renta itu
Sosok lelaki pemberani
tak gentar dengan buasnya samudera
Kadang ku meneteskan air mata, menangis memecah dada.
Entah sampai kapan ku biarkan dia berjuang melawan hidup.
Pagi, siang hingga malam
Bibir pantai tanah ini tak pernah sepi
Kami bersorak ria, memendam haru
Kala sekeranjang berkah bendayuh lembut di kepala perempuan lusuh itu.
Dia Ibuku. Ku panggilnya Amma/mama
Ku bisik diriku.
aku terlahir dari Rasa Dan Cinta di tanah ini
Mereka mengajariku tentang arti nafkah Dan berkah
Bahwa selembar rupiah itu ada dimana-mana.
Membuat citaku kutenggelamkan dalam samudera
Aba, amma
Aku masih takut bermimpi
Mimpi untuk setiap doa yg kalian usahakan
Mimpi untuk menyelimuti dingin mu
Mimpi untuk meneduhkan tubuhmu dari sengat matahari
Mimpi soal menenangkan renta mu di kasur yg empuk
Aku takut karena rasa dan cinta
Petang itu, ku kabari pada alam
Ku tatap senja itu perlahan menghilang
Saat malam akan tiba Dan sore mulia menepi
Saat itu ku keluhkan kesah ku pada setiap butir pasir yg ku genggam…
Sukses itu harapan, dan cita, Yang ada karena Rasa Dan cinta.
Aku yakin,
Tanah ini, laut ini
menyimpan banyak cita Yang belum ditunaikan
Di setiap ujung perahu-perahu itu menancap sejuta harapan
Dalam setiap tatapan ada banyak mimpi Yang harus di urai
Mama, Aba
Aku anak mu
Yang ingin bertoga wisudah di depanmu
Ingin melabuhkan perahu itu pada harapan
Mendekatkan tatapmu pada mimpi
Mengurai cita tumbuh di tanah ini
Ku mohon doamu menjadi penasehat jalanku
Subuh itu
tangis haru tak terbendung
Kata terbata-bata dalam nasehatmu
Langkah terbata menjinjing koperku
Lemah tanganmu menepuk ku
Mendekati bibir pantai itu
Kau menatapku, melepas ku perlahan
Menuai citaku
setalah kau ajarkan aku tentang rasa dan cinta
Ku teguk telaga laut yg asin itu
Asin yg tak asin
Sebagai bingkisan ku untuk berjuang
Langkah kananku menginjakan biduk ini
Perlahan ku berjarak
Kain lusuhmu kau biarkan basah mendayu
Sedihku pecah, kala matamu mulai meleleh
Cita itu ku bawa
Cita itu ku genggam
Assalamualaikum kota daeng
Ucapku terbata,
anak nelayan yg hijrah
Dari tempat gersang Yang keras aku terlahir
Citaku membawaku ke sini
Ku kira ada desah ombak di sini
Teriakn suara pagi yg khas disni
Ternyata hanya klakson kendaraan Yang saling bersahutan
Aku seperti asin,
tapi memang aku bau asing
Ditengah wewangi kota Yang padat
Cita itu
Masih tertata rapi dalam genggaman
Tetap ku tulis dalam setiap tapak kaki
Akan ku coret di setiap dinding-dinding kelas.
Agar dunia tau, aku adalah anak pana tanah ini, anak pana doa emma, aba
Kisah citaku mulai ku arungi
Adzan Subuh menampar mataku
Menarik ku dari tidurku
Membawaku menjemput pagi di kota
Sejenak ku tunaikkan doaku di atas sajadah
Ku harap doa membantuku dalam citaki
Suar bising mesin dimana-mana
Bunyi sentakan kaki dan teriakan saling bersahutan
Hari pertamaku berjuang
ku tertawa dengan air mata dan Bisikku..
TUHAN, ternyata tak ada meja makan di sini
Meja makan yg biasa dipenuhi sarapan pagi hingga makan malam
Kota memang ramai
Ku kenakan kemeja lusuh ku
Menjinjing beberapa buku
Tak peduli dengan gaya kota
Perlahan ku menyusur lorong Demi lorong
Setelah ku teguk sisa air semalam
Agar keringatku tak dingin karena kelaparan
Oto bemo (kami menyebutnya) PT PT
Membawaku pada tempat menyulam citaku
Dari balik kaca mobil itu
Ada begitu banyak cerita hidup Yang akan menemaniku nanti
Satu Demi satu bait ku tuliskan
Berharap menjadi satu narasi
Bismillah.. Ucapku lirih
Ku sentakan kaki di kampus ini
Haru, sedih, senang dan takut
menjadi perang batin yg saling bersahutan
Langkah demi langkah
Ku arahkan pandanganku sekeliling gedung mewah ini
Citaku segera di mulai.
Di tempat kering gersang ku berasal
Wewangi pas-pasan dengan selentingan amis ikan
Logat Yang kasar menyasar dalam setiap Tanya Yang bersahutan
“SAYA DARI FLORES, Lamakera
Yang kadang ditimpali dengan candaan dan tawa
Kelas itu ramai dengan tawa
Sahutku…Aku harus tetap hidup dalam gerombolan suara mayor.
Aku tak malu dengan fisik ku
Tak malu pula dengan isi dompetku
Sejak kapan benda itu mengatur sejarah manusia.
Cita itu harus ku sulam
Menyulam potongan-potongan isi kepala
Menjadi satu narasi yg diharapkan
Hari berlalu berganti bulan
Aku mulai dewasa dengan kehidupan kota
Terbiasa menatap ruang tanpa meja makan
Terbiasa meneguk air sisa semalam
Terbiasa menangkal tawa kawan kelas
Aku mulai terbiasa mama, Aba
Sulaman cita ku awali dari derita
Derita mendayung biduk(sampan)
Hingga menggenggam pena
Derita memeluk laut
Hingga merangkul kertas Demi kertas
Derita merangkai anyaman tali
Hingga serangkai tulisan dalam cerita
Aku Dan merah putih seragamku
Hingga kini
aku berdiri di sini seperti tanpa batas antara kita
Dengan selembar kertas ini Yang masih penuh terisi dengan doa-doa dari emma aba
Aku masih sama
Sama seperti dulu
Anak nelayan, bau asin, bau ikan asin
Yang coba menyulam cita dan harapan
Anak pelaut Yang mencoba mengajak harapan menemui aba, Emma dam tanah ini.
Anakmu minta maaf
Masih banyak doamu Yang kami abaikan
Terima kasih Emma, Aba
Dan terima kasih untuk Tanah ini.
Gowa, 7 April 2020
2 notes · View notes
moonsieure · 2 years
Text
Day 22: Begin Again
Kalau dilacak seperti ini, jadi jelas terlihat kalau aku telah melewatkan banyak hal. Ada jeda antara hari ke-9 sampai ke-22 yang menahanku untuk tidak menuliskan apa yang iya-iya di sini.
Ada yang terlewatkan. Ada yang harus dikorbankan.
Ternyata kenikmatan dan privilese untuk bisa mengakses internet 24/7, memantau kehidupan lelaki Korea yang setiap kabarnya selalu bikin hatiku melonjak gembira, sampai waktu luang untuk sekadar membaca email dan membalas pesan ... semua jadi begitu mewah ketika tak terjangkau.
Barusan kusempatkan diri untuk menengok akun Instagram Aan Mansyur dan dalam suatu postingan ia menulis, "Kita adalah layang-layang. Dan kita tidak pernah mengerti angin."
Kira-kira begitulah. Dua puluh hariku di tanah orang, begitu jauh dari rumah, terpisah laut serta ribuan jarak dengan orang tua dan sanak saudara, aku bisa bilang: baik-baik saja.
Dalam arti, karena memang tidak ada tempat dan waktu untuk menangis, sepanjang hari aku tidak menangis. Mulanya aku mau menulis, "tersenyum" atau "gembira" tapi toh, aku sedang berusaha untuk jujur pada diriku sendiri. Bahwa negasi "tidak" tak perlu "tidak". Aku perlu meningkatkan kejelian terhadap perasaan-perasaan yang merasuki diriku, apalagi ini jurnal pendewasaan diri yang mungkin tidak akan terulang lagi.
Ini tentang perkedel rinuak yang gurih yang diam-diam mencuri perhatian lidahku—tapi maaf, sate madura masih nomor satu dan rendang asin tak pernah jadi pilihanku.
Ini tentang derap jejak langkah yang suaranya kian menjauh tapi aku tetap dapat melihat sosoknya menghilang di ujung gang. Bajunya kadang tetap sama, semoga dia mencucinya dengan baik.
Tempat Buya ini begitu disayangi matahari, aku disiram sepenuh-penuhnya setiap hari. Anginnya entah muson dari Australia atau dari mana—aku butuh kamu sebagai guru Geografiku, tapi jejakmu sudah terhapus bersama jutaan buku di perpustakaan Alexandria, sementara aku masih mendekam di Agam menunggu Bukittinggi membuka cabang bioskop baru agar aku dan kawan-kawanku bisa menonton Love & Thunder.
Oh, barusan aku dengar dia terampil dalam sesuatu yang aku tidak. Semoga senantiasa dapat menyebar kebermanfaatan.
Aku sedang mempertimbangkan untuk mengunduh Tumblr di hape (lagi). Ada beberapa yang harus dikorbankan, semoga yang ini, tidak.
2 notes · View notes
raratubulkis · 2 months
Text
LAUT ARAFURU, TIGA PULUH, DAN MEMORI ACAK YANG HUH!
Jauh sebelum hari ini tiba, saya membayangkan bahwa suatu hari, kota yang bising itu mungkin akan saya tinggalkan. Saya tidak perlu mengumpat setiap pagi karena macet, tidak perlu berhemat untuk bisa mengunjungi cafe baru ala-ala selebgram, dan mungkin bisa sok keren dengan hidup mandiri dari penghasilan sendiri.
Lalu harapan itu pelan-pelan membayangi saya. Saya lulus kuliah ketika kota yang setiap pagi itu dibanjiri klakson, menjadi sepi melompong dan dipenuhi ketakutan. Berita duka menjadi bahan obrolan media. Orang-orang percaya bahwa nyawa bahkan lebih berharga daripada segala yang dipunyainya saat itu. Saya bahagia, wisada daring, meski bapak sedikit kecewa karena sudah membayangkan akan silaturahmi ke kampus yang menjadikannya sarjana tiga puluh tahun yang lalu -kampus pertama yang saya datangi semasa bayi, sembari menemani bapak berfoto memakai toga- namun digagalkan oleh keadaan saat itu.
Namun, bukan itu inti cerita ini.
Beberapa tahun setelah hari itu, saya tidak mampu mengurai inci demi inci setiap peristiwa yang membawa saya menuju dataran laut Arafuru. Saya berpisah dengan orang-orang baik yang memperlihatkan saya keindahan laut Banda, namun saya pun bertemu dengan orang-orang baru di belahan timur lainnya. Saya pikir, semuanya akan sama saja. Merantau dan beradaptasi, melepas dan menerima, sedih dan bahagia. Namun ternyata, setiap perajalanan selalu punya kisahnya sendiri. Setiap tualang, punya kembaranya sendiri. Dan begitulah akhirnya saya melewati angka tiga puluh tahun di kota kecil yang jauh dari gedung-gedung tinggi ini.
Saya yang semasa esde sangat pemberani, kini setiap mendengar sesuatu berisik di malam hari merasa was-was karena pernah hampir kebobolan maling menjelang pukul dua belas dini hari. Saya yang saat itu asik mendengar musik pengantar tidur, tidak sadar bahwa jendela belakang kami sudah diketuk-ketuk orang asing. Untungnya saat itu saya tidak sendiri. Saya yang gemetar sambil menangis karena dibayangi tangan si maling di sela terali besi jendela dan teman saya sembari mengacak-acak ponsel mencari nomor yang bisa dihubungi. Kami mendekap di balik pintu kamar dengan harapan si maling tidak masuk. Tragedi itu berakhir setelah rombongan penjaga pos kamling datang bersama kawan kami yang lain, disusul beberapa pak polisi berseragam lengkap dengan senjata-senjatanya. Sejak hari itu saya menyadari, bahwa semakin saya dewasa, semakin kecil nyali saya menghadapi kepahitan. Tapi kenyataan tetaplah kenyataan yang harus dipertaruhkan.
Saya mengakhiri segala bentuk pencarian dan pelarian hati saya, kepada lelaki yang menemani saya melewati masa-masa berharga sejak awal petualangan baru ini dimulai. Dia lelaki baik, yang kadang-kadang menyebalkan, tapi sekaligus berani menemui kedua orang tua saya. Lelaki yang berani mempertaruhkan dirinya untuk menemani saya melewati setiap angka dalam hidup ini. Saya tidak pernah menjanjikan dia pelangi, dia pun tidak pernah menjanjikan saya matahari. Tapi sejauh yang saya miliki saat ini, saya bersyukur dia menjadi teman hidup saya.
Saya mengalami masa adaptasi, setelah terbangun dan menyadari bahwa di kamar yang dulunya hanya untuk sendiri, kini harus berbagi. Dari yang mulanya belanja untuk sendiri, sekarang untuk diri dan suami. Dan ini bukan hal yang mudah. Bukan tentang saya atau dia belum siap, tapi karena segala yang baru memang tidak harus buru-buru. Saya tidak harus pandai memasak semua yang disukai lidahnya, dia pun tidak harus selalu bisa memahami cuaca dalam diri saya. Saya tidak harus sepakat dengan semua gagasan dalam kepalanya, dan dia juga tidak harus selalu setuju dengan keabsuran ide-ide saya. Sederhananya, kami tidak perlu sepakat bahwa semua bentuk meja adalah persegi panjang dan eskrim yang lezat tidak perlu disendok melainkan langsung dijilat. Kami terkadang kuyup dan kebasahan. Di lain waktu, kami tertawa di antara pelangi. Jika itu menjadi takaran awal kegilaan, maka kemungkinan besar kami berdua saling menggilai satu sama lain. hahaha...
Saya mendengar banyak cerita baru dari mahasiswa berbeda setiap harinya. Kadang berisi kegetiran, kadang pula berisi semangat, dan bahkan terkdang berisi kemalasan. Mereka datang dari berbagai pelosok, meraba-raba nasib dan angan-angan yang mudah diterbangkan angin. Terkadang saya iba, namun saya tidak bisa memungkiri betapa menyebalkannya menghadapi mahasiswa yang izin sakit kepala di saya, tapi izin sakit perut di dosen lainnya pada hari yang bersamaan. Mungkin terkadang yang sakit bukan diri, tapi pikiran-pikiran kita. Dan mungkin, saya pernah seperti itu.
Jauh sebelum hari ini tiba, saya membayangkan bahwa suatu hari, kota yang bising itu mungkin akan saya tinggalkan. Tapi, saya tidak pernah menyangka bahwa laut Arafuru, usia tiga puluh, akan dipenuhi dengan kisah-kisah acak yang huh!
0 notes
naufal-portofolio · 3 months
Text
The Old Man and the Sea oleh Ernest Hemingway: Ulasan Buku
2011
Tumblr media
Senang bisa baca novel tipis ini. Meski bentuk fisik bukunya ringan, tapi ceritanya nggak seringan seperti yang terlihat. Konfliknya nggak bisa dibilang sederhana, tapi perjuangan (dan konflik batin) tokoh utamanya ini emang complicated banget. Gue suka novel Hemingway yang ini. Gue nggak heran deh, bisa dapet Nobel Sastra. Kudos!
Tapi, maap maap ya, kalau gue me-review-nya kurang bagus untuk karya sekelas Nobel kayak begini. Buku ini gue baca pas masih jadi mahasiswa semester... aduh, lupa. Pokoknya tahun 2011. Review-nya pun udah gue tulis di note FB saat itu ( https://www.facebook.com/notes/naufal-rm/novel-of-the-day-the-old-man-and-the-sea-belajar-kehidupan-dari-lelaki-tua-yang-/10150294058284554 ). Well, inilah review gue...
Novel of The Day: The Old Man and The Sea, Belajar Kehidupan dari Lelaki Tua yang Mencari Ikan di Laut
Selasa, 10 mei 2011
Review kali ini masih membahas buku—tepatnya novel. Kalau edisi terdahulu membahas tentang novel sastra (kontroversial pula), sekarang gue juga meresensi novel ber-gendre sastra (sok iye ya, gue? berat amat bahasannya sastra aja. hahaha). Tapi, novel yang satu ini nggak sembarang novel, loh. Karena eh, karena banyak mendapatkan banyak penghargaan bergengsi dunia. Asik, dah.
Kali ini, gue bakal me-review The Old Man and the Sea-nya Ernest Hemingway (btw, kita singkat TOMATS aja, ya. biar hemat kata. lagian unyu juga kan, singkatannya? hehehe). Yeah, ada yang udah tau? 
Sebenernya, banyak kalangan sastra yang berpendapat, kalau bukunya yang satu ini nggak sepenuhnya bisa diklasifikasi sebagai novel karena masalah jumlah halaman. Boleh percaya atau nggak, buku ini tebalnya "cuma" 148 halaman. Untuk jumlah halaman sebanyak itu emang susah banget menyebut karya kesembilannya ini sebagai novel. Ada juga kalangan yang beropini, kalau karya Hemingway yang satu ini cocoknya dibilang sebagai novela alias novel pendek. Namun, dalam penulisan ceritanya, penulis yang juga merupakan wartawan di Amerika ini menuangkannya seperti bentuk cerita pendek namun ditulis panjang. So, ada juga yang bilang, TOMATS ini sebagai cerpen panjang. Agak pusing ya, karena banyak penyebutannya? Ahey. Tetap semangat, malih!
Novel terbitan Serambi ini kurang lebih menceritakan perjuangan seorang lelaki tua yang berusaha untuk mendapatkan ikan di laut lepas. Tentu aja hal ini nggak mudah. Banyak halangan dan rintangan. Buat ukuran nelayan kayak tokoh utama di novel ini aja, mencari ikan di laut itu masih sulit. Apalagi buat kita yang masih awam banget masalah tangkap-menangkap ikan. Dijamin jiper kalo diajak ke tengah laut buat nangkep ikan. Hehehe.
Novel best seller ini intinya mengisahkan lelaki tua bernama Santiago yang bersahabat baik dengan remaja lelaki bernama Manolin. Sebagai seorang nelayan, Santiago emang udah dianggap sepuh oleh orang-orang di sebuah perkampungan nelayan di salah satu pinggir pantai Kuba. Yap, setting cerita di sini emang ada di Kuba yang kebetulan juga tempat di mana penulisnya menghabiskan waktu untuk menuliskan kisah ini.
Kemudian, Santiago juga banyak diejek oleh rekan nelayan lainnya di tempat tinggalnya itu karena kerap tak pernah membawa hasil ikan dari setiap usaha penangkapan ikannya di laut. Ya, Santiago kerap gagal menangkap ikan selama 84 hari berturut-turut sebelum penangkapan besarnya untuk mencari ikan raksasa. Lelaki tua itu memang terobsesi sekali untuk memburu Ikan Marlin Raksasa (ehem, nama ikannya mengingatkan gue sama salah seorang temen gue di kampus juga, nih). Di saat nelayan seusiannya yang udah sangat tua memutuskan untuk pensiun dan tidak melaut lagi, Santiago justru tetap melaut dan berusaha mencari ikan (walaupun jarang dapat). Sudah tua, namun masih saja macam-macam dalam berlaut. Untungnya, ada Manolin yang setia menyemangatinya dan sering membantunya melaut (meskipun anak muda ini jarang ikut Santiago melaut bersama. hanya sesekali di awal-awal dan itu pun langsung terhenti karena orangtuanya tidak mengizinkannya untuk berlayar kembali bersama lelaki tua itu agar tidak ketularan sial). 
Nah, perjuangan luar biasa lelaki tua itu dalam usaha menangkap ikan raksasa tersebut lah yang menjadi main story di buku ini. Masalahnya, doi berusaha seorang diri loh, dalam menangkap ikan tersebut di laut lepas.
Gue kagum dengan novel ini karena emang cara bertuturnya yang enak dan mudah dipahami. Mengalir dan seolah kita yang membaca diajak untuk tenggelam dalam kisahnya. Memukau dan penuh optimisme. Bahkan, jangan heran kalau kita seolah turut merasakan hawa asinnya pantai Kuba dan ikut terombang-ambing di kapal kecilnya Santiago. Ya, Hemingway memang juara sekali dalam membuat narasi yang melenakan dan memudahkan imajinasi pembaca mengikuti adegan demi adegan yang terjalin di cerita ini.
Banyak pakar sastra yang mengklaim bahwa ini adalah karya terbaik Hemingway semasa hidupnya. Yap, gue setuju banget. Penulis legendaris asal Amerika ini terbukti menyabet Hadiah Nobel Sastra 1954. TOMATS yang terbit pada 1953 itu emang memiliki keistimewaan tersendiri sehingga banyak yang memuja. Salah satunya lewat penuturan naratifnya yang keren banget. Hal ini membuat cerita yang satu ini nggak bosen untuk diikuti sebelum selesai dan menutup buku. Gue aja nggak butuh waktu lama untuk melahap cerita amazing ini. Sehari juga cukup. Believe it or not, nggak ada bab di buku ini (seperti yang lazim ditemui di novel-novel seperti biasanya). Gaya berceritanya beneran kayak cerpen. Langsung. Bahkan, nggak ada tuh, penanda yang menunjukkan pemotongan alur yang kerap menggunakan tanda bintang (*). Makanya, kisahnya emang nggak bakal bisa lepas sejak pertama kali baca sampai ending-nya. Seru banget, sih.
Selain itu, novel yang juga memenangkan Pulitzer Prize 1953 untuk kategori fiksi dan Award of Merit Medal for Novel dari American Academy of Letters ini emang diunggulkan karena kelihaian Hemingway dalam seni bercerita. Kelebihan lain dari TOMATS adalah filosofi di balik ceritanya. Perjuangan yang pantang menyerah dalam mencapai tujuannya itulah yang mengajarkan kita betapa kesabaran, ketabahan, dan kegigihan dalam mengarungi cobaan hidup tak akan berakhir sia-sia.
Well, seolah penulis yang juga pernah menjadi tentara saat Perang Dunia Pertama ini ingin mengungkapkan bahwa kita tidak boleh menyerah dalam menjalani hidup. Jangan cepat putus asa dalam menghadapi cobaan yang menimpa kita. Karena segalanya bisa kita lalui jika kita menghadapinya. Jika kita mau berjuang melawannya. Kemudian, penulis juga ingin berpesan, jangan pernah give up dalam berusaha mewujudkan impian dan cita-cita. Sebesar apa pun cobaan mengadang dalam pencapaian untuk menggapai impian tersebut, kita tidak boleh menyerah.
Bahkan, setelah kita mendapatkan impian kita. Ternyata mempertahankannya sangatlah sulit dan tidaklah mudah. Semua hal ini tergambar jelas dalam novel ini. Makanya, gue memberi perumpamaan bahwa novel ini emang sebagai contoh dari kehidupan kita. Perjuangan lelaki tua dalam mencapai tujuannya menangkap ikan raksasa yang penuh rintangan seakan-akan menggambarkan juga kehidupan kita sebagai manusia pada umumnya, bahwa hidup ini memang seperti laut nan luas. Tak selalu tenang. Tapi, juga ada terpaan ombak cobaan yang senantiasa menemani. Kita sebagai manusia atau pelaut yang mengarungi lautan kehidupan harus siap menghadapinya. Dan, jangan juga menyerah karena sulitnya meraih ikan impian kita. Sesulit apapun mendapatkannya, yakinlah segala halangan tersebut bisa kita lalui dengan usaha keras. Meskipun tak selalu tercapai, yang terpenting kita sudah berusaha. Ya, hidup memang ada bukan untuk menyerah begitu saja. Tapi, untuk tetap diarungi dan tetap berusaha. Kira-kira, seperti itulah filosofi atau cerminan dari kisah di buku ini dengan kehidupan sehari-hari kita. Sungguh sangat bijak, ya?
Well, pada penasaran kan, apakah si lelaki tua berhasil mendapatkan Ikan Marlin Raksasa? Makanya, pada baca, deh. Hehehe. Sekali lagi, buat anak Untirta yang penasaran, bisa nih, dipinjam di perpus pusat kampus kita.
Dan, untuk menutupi review ini, seperti biasa gue memberikan penilaian menggunakan bintang. Yap, dari lima bintang, gue menilai The Old Man and The Sea layak mendapatkan empat bintang. Nilai yang nyaris sempurna ini karena kekuatan narasinya yang keren. Mantep, deh. Buktikan sendiri. Hemingway emang cihuy.
Selamat membaca, teman-teman!
nb.
sebenernya, gue fobia banget sama laut, hiu, dan paus. makanya, selama baca novel ini, gue kadang bergidik sendiri karena banyak alur yang sedikit-banyak menceritakan hewan-hewan laut. padahal, gue nggak lagi ada di kapal atau even di deket pantai. tapi, gue hampir mabok laut sendiri karena mengikuti cerita ini. untung narasinya bagus. jadi, fobia gue pun gue tahan-tahan. hehehe.
0 notes
fikramlolahi15 · 8 months
Text
𝗕𝗘𝗥𝗝𝗨𝗔𝗡𝗚 𝗠𝗘𝗟𝗔𝗪𝗔𝗡 𝗞𝗘𝗧𝗘𝗥𝗕𝗔𝗧𝗔𝗦𝗔𝗡 ✍️
Sejak jatuh sakit dan memilih untuk resign dari Bawaslu-HU, sebenarnya saya sudah ingin menulis riwayat ini, namun karena waktu juga kemampuan kesehatan (Nyeri disekujur tubuh, loos memory hingga mengalami kelumpuhan) sehingga saya belum berkesempatan untuk mengumpulkan serpihan-serpihan kata dari kisah 𝗕𝗘𝗥𝗝𝗨𝗔𝗡𝗚 𝗠𝗘𝗟𝗔𝗪𝗔𝗡 𝗞𝗘𝗧𝗘𝗥𝗕𝗔𝗧𝗔𝗦𝗔𝗡 ini.
Seiring waktu berlari. Ditengah keterpurukan itu, kuatnya gemuruh serta gugatan-gugatan eksistensialisme dipodium diri, penolakan terhadap takdir dan nasib, rasa tak percaya tentang apa yang saya alami saat ini, datang silih berganti menyerang sisi batin.
Dalam situasi yang diliputi oleh gejolak badai psikologis, saya mencoba untuk menata hati, mengelola fikiran, mengendalikan ancaman dari berbagai rasa bosan dan frustasi, saya mulai mengumpulkan keberanian, mencoba merefresh daya ingat, mencumbui ampas kenangan yang masih tersisa untuk sekedar meriwayatkan pengalaman saya.
Dari pada saya terus menghabiskan energi memikirkan hal-hal yang dapat membawa dampak negatif dalam diri dan lingkungan keluarga, mungkin lebih baik saya membagun hal positif dengan cara membahasakan pengalaman dalam bentuk kata demi kata, terserah pada akhirnya ada orang yang TERIMA atau justru mereka MENOLAKNYA karna saya tetap percaya tentang sebuah ungkapan : "Yang terucap akan mudah lenyap yang tertulis akan selalu jadi pemanis", maka dari itu, saya hanya ingin berbagi cerita, karna tebal keyakinan saya bahwa : Selagi Muda kita UKUR jalanan, setelah Tua kita UKIR cerita.
Semoga cerita singkat ini bisa sedikit membantu dan menghibur mereka yang membaca terlebih kepada orang-orang yang sedang dalam masa pemulihan dan penyembuhan.
Seluruh dedoa kita langitkan, segenap ikhtiar kita bumikan. Yakinlah restu semesta bersembunyi pada hati yang ikhlas.
𝗣𝗮𝗿𝘁 𝟭
"𝗠𝗮𝗴𝗮𝗻𝗴 𝗱𝗶 𝗕𝗮𝘄𝗮𝘀𝗹𝘂-𝗛𝗨"
Ongen. Begitu saya dipanggil. Lelaki 38th. Anak ketiga dari lima bersaudara pasangan Om dan Tanta. Ayah dari Putri (9th) dan Putra (5th), suami dari seorang perempuan yang kebetulan berprofesi sebagai guru fisika bernama Nona (38th) yang sedari kecinya telah berdomisili di Madapolo. Halmahera Selatan.
Anak-istri saya menetap di Madapolo, sementara saya bekerja di Tobelo. Halmahera Utara. Kami hidup terpisah, setiap saat hanya menjahit rindu diantara laut, teluk dan selat. Sesekali memeluk diri sendiri. Konsekuensi Perkawinan lintas Kabupaten antar Utara-Selatan mengajarkan saya untuk lebih tegas dalam berbagi rindu, kumpul bersama keluarga menjadi barang mahal di tengah tuntutan hidup yang semakin monoton dan keras. Tidak seperti kebanyakan mereka yang sukses menerapkan konsep "Slow Living" dalam kehidupan tanpa ada kata eL De eR.
Awalnya, saya adalah seorang "Pegiat Hukum", namun oleh sebab tertentu, ditopang oleh rasa ingin tahu yang besar terkait dengan HUKUM PEMILU, saya kemudian mengikat diri sebagai pegawai kontrak dilingkup BAWASLU (Badan Pengawas Pemilu) Halmahera Utara, selanjutnya ditulis Bawaslu-HU terhitung kurang lebih sejak pertengahan tahun 2019.
Rasa ingin tahu itu tentunya bersumber dari rasa penasaran yang begitu besar, mengingat tidak terlalu banyak literatur yang tersedia terkait dengan Ilmu Hukum Pemilu, masih terbatasnya orang yang menulis dan membahas, belum tersedianya jalur di pelbagai universitas yang membuka program studi di fakultas menjadi sebab terbatas pula sumber informasi tentang Hukum Kepemiluan, sementara "Rekrutmen Politik" setiap lima tahun rutin dilaksanakan untuk menyeleksi kepada siapa tata-kelola negara ini nantinya dipercayakan.
Bukankah Re-Publik ini sedang giat-giatnya memperbaiki kualitas kehidupan bernegara menuju demokratisasi yang lebih beradab? Lalu melalui piranti apa kita menjelaskan dinamika politik-hukum yang sesungguhnya?
Ragu, duga dan sejumlah tanya misalnya, mendongkrak rasa penasaran saya untuk meleburkan diri dan bercibaku langsung secara empiris terkait isu-isu komparatif seputar perbedaan proses penanganan perkara antara "CJS" atau Criminal Justice System dengan "EJS" (Electoral Justice System).
Jika dalam proses CJS di setiap penanganan perkara selalu lebih menekan pada "Keadilan Substansial" maka dalam ranah EJS, 'Keadilan Prosedural" adalah hal yang paling utama, meskipun pada akhirnya kita sepakat bahwa dalam filsafat hukum banyak pakar masih terus memperdebatkan apa itu keadilan, tetapi prinsipnya kedua jenis keadilan itu baik substansi maupun prosedural harus berjalan pararel, tak ada yang saling mendahului terlebih bila dikaitkan dalam bingkai kehidupan bernegara, namun kadang kala hal yang tak terelakkan juga adalah hak konstitusional (substansial) seseorang sering digugurkan hanya karena persoalan syarat administratif (prosedural) tidak terpenuhi, atau sebaliknya.
Selain proses penanganan, penasaran saya juga tertuju pada otoritas kelembagaan, entah bagaimana sesungguhnya bentuk dari lembaga Bawaslu? Peradilan ataukah semi peradilan? Terlepas dari itu, faktanya, tak ada satu lembaga di Indonesia yang dapat kita jumpai entah itu peradilan atau semi peradilan atau diluar dari keduanya yang oleh Undang-undang diberikan kewenangan begitu "Super-Power-Full"nya seperti yang dimiliki oleh Bawaslu.
Hal mana dalam CJS, diketahui Polisi, Jaksa dan Hakim memiliki, tugas, fungsi dan wewenang yang terbatas. Polisi hanya pada Sidik dan Lidik, Jaksa melakukan Penuntutan sedangkan Hakim mengadili dan menjatuhkan hukuman. Sementara dalam EJS, Bawaslu diberi wewenang oleh Undang-undang untuk Memanggil dan Memeriksa layaknya Polisi, melakukan Penuntutan seperti Jaksa bahkan mengadili, meramu putusan dan menjatuhkan hukuman laksana Hakim. Mungkin berdasarkan alasan itu pula menjadi cukup alasan lembaga Bawaslu kemudian digadang-gadang oleh sebagian pihak sebagai "Election Court" (Peradilan pemilu) dikemudian hari.
Luar biasa.
Penasaran saya selanjutnya adalah perihal "Pemberian Keterangan Tertulis di Mahkamah Konstitusi". Entah sumber hukum dari mana saya juga tidak tahu namun yang jelas, prakteknya asas "Equality Before Of The Law" yang bermakna (semua manusia sama dan setara dihadapan hukum) seolah-olah dikesampingkan ketika diajukan dihadapan Mahkamah Konstitusi.
Betapa tidak. Keterangan tertulis Bawaslu dalam sidang Perselisihan Hasil Pemilu di Mahkamah Konstitusi, jika tidak dianggap berlebihan dapat dikata "derajatnya tiga tingkat" dibandingkan Pihak lain. Artinya apa? Mahkamah lebih banyak mendengarkan keterangan yang disampaikan oleh Bawaslu baru kemudian Pihak Pemohon, Termohon, Pihak Terkait dll.
Hal ini membawa kesan seolah-olah telah menjadikan Bawaslu sebagai satu-satunya sumber utama menggali informasi dan petunjuk mengungkap kebenaran formil dan materil. Sebagai sarana mempertebal yakin para Hakim. Sebagai Indera Keadilan, di mana Bawaslu kemudian menjadi mata, telinga, mulut dan kaki Mahkamah Konstitusi dalam Memeriksa, Mengadili dan Memutus Perkara Perselisihan Hasil Pemilu. Masalahnya. Sudah imparsialkah lembaga Bawaslu? Bagaimana jika tidak?
Dari hal-hal kecil di atas, setidaknya, terlihat gambaran betapa banyak tanya yang tak dapat dijawab hanya dengan buku dan diskusi. Hal itu juga menjadi sebab yang kuat saya tidak lagi "Legal Advis" sebagai "Pegiat Hukum" dan lebih memilih menjadi pegawai kontrak dilingkup Bawaslu-HU.
Kesibukan saya ditempat kerja yang baru itu telah menyita banyak perhatian, minat serta memotivasi saya untuk lebih memahami seluk-beluk, menimba dan menimbun Ilmu Hukum Pemilu, terlebih di lingkungan Bawaslu-HU yang selama ini saya yakini diisi oleh kumpulan orang-orang hebat. Dan karenanya, saya merasa senang diberi kesempatan menjadi bagian dari tim yang hebat itu.
Tercatat dua rezim Pemilu saya terlibat aktif, yakni pada Pemilihan Legislatif Tahun 2019 dan Pemilihan Kepala Daerah Tahun 2020.
Tetapi, dalam cerita ini saya hanya merekam sedikit riwayat pengalaman saya pada saat magang di lembaga itu khusus pada Pemilu Tahun 2020 ☯
ᴘᴜʟᴀᴜ ʙɪꜱᴀ, 06 ꜱᴇᴘᴛᴇᴍʙᴇʀ 23
#Coretantetelawas
FB : FIKRAM LOLAHI
IG : @fikramlolahi_
Twitter : @fikramlolahi15
Tumblr : @fikramlolahi15
*****Bersa...
Tumblr media
0 notes
hermavvan-blog · 1 year
Photo
Tumblr media
• CONGRATULATIONS • Your photo was chosen for us to repost ------------------------------------------ The best photo from IG @rustamawat • • • • • • LELAKI TUA BAJO Bersantai di balai kayu depan rumahnya, begitulah lelaki tua Bajo Berese sore itu. Rambut dan kulitnya mengisyaratkan bahwa ia telah menua bersama laut. Lokasi: Desa Bajo Bahari, Buton, Sulawesi Tenggara, Indonesia #GoDiscover #simPATIINNPH2016 #INNPH2016DailyPhoto #instasunda #mataponsel #lensaindonesia #instanusantara #instanusantarabuton #natgeo #natgeotravel #hipaae #INNPH2016 ------------------------------------------ Jangan lupa follow dan tag @_humaninterest di foto / video yang kamu upload. Gunakan hastag #_humaninterest Bila ada kritik atau saran silahkan tulis di kolom komentar atau DM mimin ------------------------------------------ https://www.instagram.com/p/Co1YI5PyXnV/?igshid=NGJjMDIxMWI=
0 notes
aeritsu · 2 years
Text
The Mermaid's Fate
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Aerith, Princess of Atlantis. Begitulah seluruh makhluk laut memanggilnya.
Lahir dari keturunan dewa Poseidon langsung, tak membuat dirinya menjadi tinggi hati. Aerith dikenal sebagai seorang Mermaid yang ramah, penyayang, dan juga tegas. Sedikit berbeda dengan kembarannya, Zale. Merman itu selalu bersikap ketus, acuh tak acuh, dan blak-blakan.
Karena itu, salah satu dari sekian alasan King Tritone, sang ayah, memilih Aerith sebagai penerus kekuasaannya dibandingkan sang putra sulung, Zale.
Alasan lainnya adalah karena Calypso, Duchess of Caribbean, memberitaukan ramalannya kepada sang Kakak, King Tritone, mengenai ksatria penyelamat Atlantis dan lautan di masa yang akan datang adalah sang putri sulung. Aerith dianugrahi seperempat kekuatan Dewa Poseidon dan putrinya merupakan makhluk kedua yang diberi anugrah langsung dari sang Dewa Laut.
Perjalanan Aerith untuk mencapai tujuannya tidaklah mudah, banyak rintangan yang harus ia lalui. Kehilangan lelaki yang sangat ia cintai untuk selamanya, termasuk kehilangan kedua orang tua dan juga saudara serta saudarinya dalam sekejap mata ketika dihari ia akan dinobatkan menjadi seorang Queen of Atlantis.
Kejadian itu terlalu cepat untuk dicernanya, terlebih ketika sang adik bungsunya, Aquene, yang menyuruhnya untuk segera pergi menjauh dari Atlantis. Tepat setelah Aquene membawanya lari dari kerajaan bersama dengan Dalton —pengawal pribadi Aerith, ia melihat kedua orang tuanya yang terbunuh tepat didepan matanya.
Aerith tidak dapat melihat siapa pelakunya, tapi yang ia ingat adalah makhluk itu memakai kalung yang tidak asing baginya. Setelahnya, Aerith kembali dibawa pergi oleh Aquene dan juga Dalton ke tempat yang lebih aman.
Namun, ditengah perjalanan. Mereka kembali dihadang oleh monster dan juga beberapa Siren yang mengejar mereka. Aerith terpisahkan dari Aquene, lagi, dia kembali kehilangan keluarganya.
Hal yang terakhir ia ingat adalah Dalton yang mencoba mendorongnya ke atas permukaan, sebelum Merman itu dihabisi oleh para monster laut. Setelahnya, semua menjadi gelap.
Aerith sangat bersyukur diberi kesempatan kedua oleh Dewa Poseidon. Ia dapat menikmati hidupnya kembali berkat seseorang yang tak dikenalinya menolong dirinya dari kegelapan tak berujung.
Meskipun ia harus kehilangan semuanya, tetapi dalam hatinya ia terus berucap syukur pada sang Dewa karena telah membawanya pada seorang pria yang kini ia anggap sebagai keluarganya sendiri. Walaupun mereka sangat berbeda, tetapi mereka saling menyayangi layaknya seorang adik dan kakak hingga detik ini.
View on Twitter
0 notes
senaapriani · 2 years
Text
Tumblr media
CERITA MALIN KUNDANG
Zaman dahulu kala ada sebuah cerita di sebuah perkampungan nelayan Pantai Air Manis di Padang, Sumatera Barat. Ada seorang janda bernama Mande Rubayah yang hidup bersama anak laki-lakinya yang bernama Malin Kundang.
Mande Rubayah sangat menyayangi dan memanjakan Malin Kundang. Malin kemudian tumbuh menjadi seorang anak yang rajin dan penurut.
Ketika Mande Rubayah sudah tua, ia hanya mampu bekerja sebagai penjual kue untuk mencupi kebutuhan dirinya dan anak tunggalnya. Suatu hari, Malin jatuh sakit keras, hingga nyawanya hampir melayang namun akhirnya ia dapat diseiamatkan-berkat usaha keras ibunya.
Setelah sembuh dari sakitnya ia semakin disayang. Mereka adalah ibu dan anak yang saling menyayangi.
[1/9 09.46]  : Saat Malin sudah dewasa ia meminta izin kepada ibunya untuk pergi merantau ke kota, karena saat itu sedang ada kapal besar merapat di Pantai Air Manis.
“Jangan Malin, ibu takut terjadi sesuatu denganmu di tanah rantau sana. Menetaplah saja di sini, temani ibu,” ucap ibunya yang sedih setelah mendengar keinginan Malin yang ingin merantau.
“Ibu tenanglah, tidak akan terjadi apa-apa denganku,” ujar Malin sambil menggenggam tangan ibunya.
“Ini kesempatan Bu, kerena belum tentu setahun sekali ada kapal besar merapat di pantai ini. Aku ingin mengubah nasib kita Bu, izinkanlah” pinta Malin memohon.
[1/9 09.46]  : Baiklah, ibu izinkan. Cepatlah kembali, ibu akan selalu menunggumu Nak,” kata ibunya sambil menangis.
Meski dengan berat hati akhirnya Mande Rubayah mengizinkan Malin untuk pergi. Kemudian Malin dibekali dengan nasi berbungkus daun pisang sebanyak tujuh bungkus,
“Untuk bekalmu di perjalanan,” katanya sambil menyerahkannya pada Malin. Setelah itu Malin Kundang berangkat ke tanah rantau meninggalkan ibunya sendirian.
[1/9 09.46]  : Hari demi hari terus berlalu, hari yang terasa lambat bagi Mande Rubayah. Setiap pagi dan sore Mande Rubayah memandang ke laut.
“Sudah sampai manakah kamu berlayar Nak?” tanyanya dalam hati sambil terus memandang laut.
la selalu mendoakan agar anaknya selalu selamat dan cepat kembali. Beberapa waktu kemudian ketika ada kapal yang datang merapat ia selalu menanyakan kabar tentang anaknya.
“Apakah kalian melihat anakku, Malin? Apakah dia baik-baik saja? Kapan ia pulang?” tanyanya.
Namun setiap ia bertanya pada awak kapal atau nahkoda tidak pernah mendapatkan jawaban. Malin tak pernah menitipkan barang atau pesan apapun kepada ibunya
[1/9 09.47]  : Bertahun-tahun Mande Rubayah terus bertanya namun tak pernah ada jawaban hingga tubuhnya semakin tua, dan kini jalannya mulai terbungkuk-bungkuk. Pada suatu hari Mande Rubayah mendapat kabar dari nakhoda yang dahulu membawa Malin, nahkoda itu memberi kabar bahagia pada Mande Rubayah.
“Mande, tahukah kau, anakmu kini telah menikah dengan gadis cantik, putri seorang bangsawan yang sangat kaya raya,” ucapnya saat itu.
“Malin cepatlah pulang kemari Nak, ibu sudah tua Malin, kapan kau pulang…” rintihnya pilu setiap malam.
Ia yakin anaknya pasti datang. Benar saja tak berapa lama kemudian di suatu hari yang cerah dari kejauhan tampak sebuah kapal yang megah nan indah berlayar menuju pantai.
[1/9 09.47]  : Penduduk desa mulai berkumpul, mereka mengira kapal itu milik seorang sultan atau seorang pangeran. Mereka menyambutnya dengan gembira. Mande Rubayah amat gembira mendengar hal itu, ia selalu berdoa agar anaknya selamat dan segera kembali menjenguknya, sinar keceriaan mulai mengampirinya kembali.
Namun hingga berbulan-bulan semenjak ia menerima kabar Malin dari nahkoda itu, Malin tak kunjung kembali untuk menengoknya.
Ketika kapal itu mulai merapat, terlihat sepasang anak muda berdiri di anjungan. Pakaian mereka berkilauan terkena sinar matahari. Wajah mereka cerah dihiasi senyum karena bahagia disambut dengan meriah.
[1/9 09.47]  : Mande Rubayah juga ikut berdesakan mendekati kapal. Jantungnya berdebar keras saat melihat lelaki muda yang berada di kapal itu, ia sangat yakin sekali bahwa lelaki muda itu adalah anaknya, Malin Kundang.
Belum sempat para sesepuh kampung menyambut, Ibu Malin terlebih dahulu menghampiri Malin. la langsung memeluknya erat Malin karena takut kehilangan anaknya lagi.
“Malin, anakku. Kau benar anakku kan?” katanya menahan isak tangis karena gembira, “Mengapa begitu lamanya kau tidak memberi kabar?”
[1/9 09.47]  : Malin terkejut karena dipeluk perempuan tua renta yang berpakaian compang-camping itu. Ia tak percaya bahwa perempuan itu adalah ibunya. Sebelum dia sempat berpikir berbicara, istrinya yang cantik itu meludah dan berkata,
“Perempuan jelek inikah ibumu? Mengapa dahulu kau bohong padaku! Bukankah dulu kau katakan bahwa ibumu adalah seorang bangsawan yang sederajat denganku?!” ucapnya sinis
Mendengar kata-kata pedas istrinya, Malin Kundang langsung mendorong ibunya hingga terguling ke pasir, “Perempuan gila! Aku bukan anakmu!” ucapnya kasar.
[1/9 09.47]  : Mande Rubayah tidak percaya akan perilaku anaknya, ia jatuh terduduk sambil berkata,
“Malin, Malin, anakku. Aku ini ibumu, Nak! Mengapa kau jadi seperti ini Nak?!”
Malin Kundang tidak memperdulikan perkataan ibunya. Dia tidak akan mengakui ibunya. la malu kepada istrinya. Melihat perempuan itu bersujud hendak memeluk kakinya, Malin menendangnya sambil berkata,
“Hai, perempuan gila! lbuku tidak seperti engkau! Melarat dan kotor!”
Perempuan tua itu terkapar di pasir, menangis, dan sakit hati. Orang-orang yang meilhatnya ikut terpana dan kemudian pulang ke rumah masing-masing. Mande Rubayah pingsan dan terbaring sendiri. Ketika ia sadar, Pantai Air Manis sudah sepi.
[1/9 09.48]  : Dilihatnya kapal Malin semakin menjauh. Ia tak menyangka Malin yang dulu disayangi tega berbuat demikian. Hatinya perih dan sakit, lalu tangannya diangkat ke langit. Ia kemudian berdoa dengan hatinya yang pilu,
“Ya, Tuhan, kalau memang dia bukan anakku, aku maafkan perbuatannya tadi. Tapi kalau memang dia benar anakku yang bernama Malin Kundang, aku mohon keadilanmu, Ya Tuhan!” ucapnya pilu sambil menangis.
Tak lama kemudian cuaca di tengah laut yang tadinya cerah, mendadak berubah menjadi gelap. Hujan tiba-tiba turun dengan teramat lebatnya
[1/9 09.48]  : Tiba-tiba datanglah badai besar, menghantam kapal Malin Kundang. Lalu sambaran petir yang menggelegar. Saat itu juga kapal hancur berkeping- keping. Kemudian terbawa ombak hingga ke pantai.
Esoknya saat matahari pagi muncul di ufuk timur, badai telah reda. Di pinggir pantai terlihat kepingan kapal yang telah menjadi batu. Itulah kapal Malin Kundang! Tampak sebongkah batu yang menyerupai tubuh manusia.
Itulah tubuh Malin Kundang anak durhaka yang dikutuk ibunya menjadi batu karena telah durhaka. Disela-sela batu itu berenang-renang ikan teri, ikan belanak, dan ikan tengiri. Konon, ikan itu berasal dari serpihan tubuh sang istri yang terus mencari Malin Kundang.
Kisah Legenda Malin Kundang ini memiliki pesan yang dapat diambil si Kecil, yaitu sayangi kedua orangtua saat susah dan senang, dan jangan melupakan jasa orangtua yang telah menyayangi dan mendidik dari kecil.
Itulah dongeng anak dari Sumatra Barat, kisah Malin Kundang, si Anak yang durhaka pada ibunya. Semoga bisa jadi pembelajaran ya untuk diceritakan ke anak-anak.
1 note · View note
mampirminum · 3 years
Text
Memoar untuk Para Lelaki Tua: Yang Terbuang, Mati, dan Tak Berarti
Tumblr media
I
KEBIMBANGAN dan ketidaktentuannya, dari sisi kepribadiannya yang peragu, mendadak lenyap. Sinar matanya mulai berapi-api. Sifat nekat dan keberanian mulai bermunculan dalam benaknya.
Kini benaknya selalu dipenuhi dengan impian tentang mantel yang suatu saat akan menjadi miliknya. Dengan mantel barunya, dan membuang mantel lamanya yang penuh tambalan, Akaky Akakievich merasa semakin naik derajat. Seolah-olah ia telah kawin lagi dan seakan-akan hidupnya tidak sendirian.
Ia merasa punya teman hidup yang menyenangkan, yang mau berbagi rasa dengannya. Teman hidupnya bukan lain adalah mantelnya yang dibuat dari katun dan wol yang tebal serta kain yang kuat sehingga mampu bertahan selama sisa hidupnya.
Dengan mantel barunya, Ia merasakan telah menentukan tujuan hidupnya. Akaky akan menjadi semakin tekun bekerja.
Walaupun, di kantor tempatnya bekerja, tak ada seorang yang menghormatinya. Ketika Akaky lewat, para pegawai rendahan sekalipun, tak mau berdiri. Mereka tetap duduk, bahkan tak mau memandangnya. Seolah-olah Akaky adalah seekor lalat yang terbang melintasi ruangan.
Para pegawai junior menertawakannya. Mereka kerap menceritakan lelucon yang bersifat merendahkan tentang diri Akaky.
Meskipun bekerja sebagai penyalin teks non-partikelir, Akaky hidup dalam keterbatasan. Ia hanya berpenghasilan 400 rubel dalam setahun. Dan enam bulan yang lalu, dia telah berbicara dengan penjahit Petrovich mengenai mantel baru.
Untuk menggantikan mantel lamanya yang tipis dan tak bisa diperbaiki lagi, Petrovich mematok harga 80 rubel. Penjahit itu telah mendiskon 50 persen, dari harga asli 150 rubel. Namun, 80 rubel pun adalah tarif yang melebihi kemampuan Akaky.
Akaky tetap ingin mantel baru. Ia memutuskan untuk mengurangi pengeluarannya hari demi hari setidaknya selama satu tahun.
Ia akan mengurangi teh di pagi hari, mulai berjingkat agar sol sepatunya tak mudah menipis, dan jika ada pekerjaannya yang dia bawa ke rumah, ia akan mengerjakannya di pemilik rusun tempatnya tinggal. Ini dia lakukan agar bisa menghemat lilin.
Setelah dua-tiga bulan Akaky merasakan kelaparan, Direktur tempatnya bekerja memberi tunjangan. Akaky mendapat 60 rubel. Kini, ia sudah mengantongi 80 rubel dan siap ke Petrovich.
...
Hari itu, entah hari apa bagi Akaky Akakievich menjadi hari paling menggembirakan selama hidupnya, karena Petrovich akhirnya menyerahkan mantel baru tersebut.
Petrovich memberikan mantel tersebut di pagi hari, bahkan sebelum Akaky berangkat ke kantor. Mantel itu bisa dikatakan diserahkan pada saat yang tepat, karena hawa dingin membeku mulai terasa bahkan tampaknya semakin memburuk.
Pelabuhan Kota St. Petersburg menjadi musuh menahun bagi seseorang yang hanya mendapat upah 400 rubel pertahunnya ini. Musuh itu tak lain adalah angin dingin dari utara.
II
DI BUMI sisi lainnya, di Pelabuhan Havana, sesosok nelayan tua baru saja berlabuh. Pak Tua itu pulang dengan perahu tanpa hasil buruan.
Hanya gulungan tali, tombak seruit dan layar yang telah digulung yang bermukim di perahunya. Bahkan layar perahu yang telah bertambal karung-karung tepung itu tampak seperti bendera kekalahan abadi.
Banyak nelayan mengolok si Pak Tua. sebagian yang lain, nelayan-nelayan yang lebih tua, memandang kepadanya dan merasa turut bersedih.
Segala sesuatu yang ada pada Pak Tua telah tampak tua, kecuali matanya. Kedua matanya memiliki nuansa warna yang sama dengan warna lautan. Mata itu tampak bersinar riang serta tak tertaklukkan oleh apapun.
"Semua orang bisa menjadi nelayan pada bulan Mei," sebut Santiago, nama Pak Tua itu.
Hari itu, entah hari apa di bulan Mei, Pak Tua pergi lagi ke arus perairan teluk. Ia berniat akan memancing jauh ke tengah, di tempat angin berubah arah.
Beberapa hari di tengah Samudra Atlantik Utara, umpan Pak Tua disambar oleh marlin raksasa. Ikan itu menyeret perahu Pak Tua lebih jauh ke tengah samudra. Seseorang seharusnya tak sendirian pada usia tua mereka, pikirnya.
Marlin raksasa tak menyerang atau melakukan gerakan yang dapat menimbulkan dampak desktruktif pada perahu. Monster itu tidak tahu saja kalau makhluk yang dilawannya hanya seorang Pak Tua. Pak Tua yang renta dan kesepian.
Mungkin, aku seharusnya tidak menjadi nelayan, keluh Pak Tua dalam hati. Tapi itulah alasan kenapa aku dilahirkan.
"Ikan," serunya, "aku menicntaimu dan sangat menghormatimu. Tapi aku akan membunuhmu sebelum hari ini berakhir."
Mari kita berharap begitu, pikir Pak Tua.
III
Harapan pula yang membuat seorang guru musik tak pernah menyukai pekerjaannya. Ia merasa seakan-akan terjebak di sana.
Menjadi guru musik bergaji pokok, mendapat tunjangan dan jaminan kesehatan tidaklah cukup bagi dirinya.
Guru Tua itu punya rencana menjadi musisi jazz yang masyhur di kotanya. Itu jelas masih rencana untuk saat ini.
Guru Tua bernama Joe Gardner itu memupuk harapannya sejak ayahnya membawanya ke kelab jazz. Joe tak suka di sana, tapi ia melihat seseorang, entah siapa, memainkan sebuah akor dengan tempo seperempat.
"Lalu dengan minor," kata Joe pada para murid, "Lalu dia tambahkan suara dalam, seakan-akan dia menyanyi. Sumpah, tiba-tiba... seakan dia melayang dari panggung. Dia tenggelam dalam musik. Dia di dalamnya dan dia bawa kami bersamanya. Dan aku ingin belajar cara bicara seperti itu. Saat itulah aku tahu, aku dilahirkan untuk main musik."
Celananya yang berlubang jadi pertanda ia masih punya rencana bagi dirinya sendiri, bukan untuk orang tuanya.
Kemudian, kesempatan itu datang. Mantan muridnya yang kini bermusik dengan Dorothea Williams, musikus terkenal di kotanya, ingin mengajak si guru tua itu berkolaborasi di kelab bernama The Half Note.
"Aku tidak mau mati pada hari aku dapat kesempatan. Ini saatnya," serunya.
Namun, ia masuk dalam lubang gorong-gorong dan mati.
Aku tak boleh mati hari ini. Kesuksesanku baru dimulai, ucapnya di alam baka.
Pemimpi yang punya sekian rencana itu kini hidup dalam dunia yang tak ia rencanakan.
IV
Pada akhirnya, Kehidupan terkadang berengsek betul. Tragedi bukanlah mati, tapi terbuang. Akaky mati ketika baru punya harapan dan tujuan hidup dari mantel baru berharga 80 rubel. 
Di lain pihak, Pak Tua hanya membawa todak dan tulang-belulang dari marlin raksasa. Kemudian dia meringkuk dengan atau tanpa kebanggaan--tak ada yang tahu pasti.
Kuharap Pak Tua tak membenci dirinya sendiri atau menyesal, atau malu. Hidup adalah persoalan yang linear: sulit mendapat, sulit pula menjaganya. 
Si Guru Tua pun hidup kembali untuk memainkan pianonya dengan akor bertempo seperempat di depan khalayak dan membuat orang tuanya tersentuh.
Namun, ia baru menyadari bahwa hari yang telah ditunggu seumur hidupnya tak terasa berbeda dengan hari-hari lainnya.
"Aku dengar cerita tentang ikan,” mulai Dorothea. “Dia berenang ke ikan yang lebih tua dan mengatakan, 'Aku sedang mencari yang disebut orang sebagai lautan'.
'Lautan?' Kata ikan yang lebih tua. 'Kau berada di dalamnya'. 'Ini?' kata ikan muda. 'Ini air. Aku ingin lautan',"
Tak ada hal lain seperti kesedihan dan trauma yang bisa mengumpulkan ketiga orang dengan ceritanya masing-masing. Pun begitu juga dengan kita.
Terkadang, kita mengejar tujuan hidup untuk memberi inspirasi, namun sialnya kita jarang terinsipirasi.
Maka, jalanilah hidupmu hari ini.[]
-------------------------------
Akaky Akakievich adalah sosok yang diciptakan oleh Nikolai Gogol dalam cerita pendek berjudul “Si Hantu Mantel” pada 1842.
Santiago, atau si Pak Tua adalah sosok yang dikarang oleh Ernest Hemingway dalan novel berjudul “Lelaki Tua dan Laut” pada 1952.
Joe Gardner, si Guru Tua adalah sosok yang dibangun oleh Pete Docter dalam film animasi “Soul” pada 2020.
4 notes · View notes
tadikamesra · 2 years
Text
WP #49 TADIKA MESRA
WP kali ini ditulis oleh murid baru sekaligus pengenalan anggota baru Tadika Mesra, yeay! 🥳
Tumblr media
Terkadang rumah tidak selalu berbentuk bangunan, boleh jadi—kamu.
~~~~~~~~~~
Cinta Pengasingan
Dalam keindahan. Aku adalah
lelaki lumpuh tanpa rumah
Jika seekor burung, aku adalah
burung tanpa sayap
Jika seekor kuda, aku adalah
kuda tanpa kaki
Hanya kata-kata dipinjami
Bukan untuk dimiliki
Keluar dari isi kepala
buah imaji pikiran belaka
Sesering matahari bersinar
keraguan menahanku
Sesering kaki melangkah
ketakutan menghantuiku
Sekedar berdiri di depan pintu
rumahmu, suatu keindahan bagiku
Si Malakama, apakah kau
lahir dari sebuah ambisi
Hingga hati ragu lalu tertipu
Dahulu. Tanpa rumah
tak kutemukan kau disana
Di keriuhan dalam sepi
Di kebenderangan dalam gulita
Di laut tanpa gelombang
Di senja tanpa cakrawala
Kini. Kubungkus dengan rapi
dalam kotak sanubari
Segala yang telah terjadi
Semua telah terlewati, meniti
yang dialami dengan setiti
Kini. Kutinggali
ruang bagi para pejuang
Lain ibu lain ayah
Bak saudara tak sedarah
@barakelana
~~~
Rumah itu dahulu, selalu terbuka untukmu. Menjadi tempatmu pulang, kala duniamu sedang berlaku tak menyenangkan.
Rumah itu dahulu, menjadi saksi bisu dari perasaanku padamu yang tak pernah tersampaikan dengan berterus terang.
Rumah itu dahulu, selalu penuh rindu setelah kepergianmu. Rindu yang dengan tabahnya menunggumu pulang, hingga petang terbenam lebih dari seribu malam.
Waktu telah mengubah rumah itu menjadi rumah baru. Tak ada lagi sisa-sisa tentangmu disana. Rindu yang menunggu itu telah tercabik-cabik terbelah. Harapan yang menggantung itu telah berterbangan ke antah berantah.
Kini percuma kau menunggu di depan beranda itu, berharap agar pemiliknya menyambutmu dengan tatapan yang sama seperti seribu purnama lalu. Sebab takkan ada yang pernah membukanya lagi. Karena pemiliknya telah berpindah tempat ke lain hati.
@kkiakia
~~~
Aku harap rumah itu seteduh dan senyaman pelukanmu, tak perlu semegah istana Raja Salman yang penting aku dan kau didalamnya merasa aman.
Rumah itu sederhana, yang penting kita berdua bisa menatap senja ketika sore menyapa.
Aku dengan kopiku yang kau buat dengan asmara, kamu dengan teh manismu yang kau seduh dengan cinta.
Banyak impian akan terukir disana, anak-anak, masa tua ataupun esok kita akan dipanggil langit dengan cara seperti apa, aku tak memperdulikannya, asal berdua bersamamu aku merasa lebih berwarna. @by-u
~~~
Pengen pulang, padahal udah di rumah.
Pengen beli rumah, tapi nggak punya uang buat cicilan.
Bisa kan kalo kamu jadi rumahku, aku jadi tanggamu? Biar kita sepasang jadi Rumah Tangga. @worldofneptune
~~~
Perjalanan Surga Kelimaku
Sejak kecil aku beranggapan tempatku tinggal adalah bentuk nyata dari surga
Dimana semua hal yg aku ucapkan saat itu keesokan harinya setelah aku bangun pasti ada di depan mataku
Sampai aku berpikir tuhan menitipkan tangan malaikat kepada orang tuaku
Namun itu tak berlangsung lama
Dibawah rezim yang mulai amburadul
Krisis besar terjadi menggerogoti sedikit demi sedikit, dan itu mulai berdampak kepada keluargaku
Pada saat itu aku berpikir kedamaian surgaku seketika berubah menjadi neraka
Sebuah teror menghantuiku berulang-ulang hingga keluargaku memutuskan untuk berpindah kesebuah desa, yg nantinya disanalah surga kecil keduaku berada
Awalnya aku kebingungan dengan bahasa
Ku anggap itu bahasa surga lain yg belum aku mengerti
Hari demi hari kebiasaan mereka membuatku tertawa setiap harinya
Dari situlah aku mengenal permainan yg menyenangkan dan selalu membuatku bersyukur aku pernah mengalaminya
Mengenal rumah baru dan tempat baru mengangkatku menjadi orang yg baru
Dari anak kota yg manja berubah menjadi anak desa yg bersemangat untuk bermimpi jauh
Lalu aku berpikir bahwa kehidupan di desa memang adalah hal terbaik untuk tumbuh sebelum akhirnya menjadi dewasa
Belajar, bermain, dan berbudaya menjadi anak desa merupakan bekal yg sehat untuk nantinya disuatu hari aku pindah lagi ke kota
Dan akhirnya itu terjadi, aku pergi ke kota untuk memulai tujuan dan mimpiku
Bersama dengan pemikiranku aku terheran
Nampak gila rupanya pergaulan di kota
Surga ketiga aku menyebutnya
Tahun-tahun yg gila aku alami seketika
Aku yg polos tergerus arus yg deras oleh sebab salah bergaul
Permainan salah-benar selalu kumainkan
Setiap malam menjadi peristiwa hilang kesadaran
Memang menyenangkan hidup di surga itu tapi rasanya hampa
Banyak hal aku dapatkan namun aku lebih banyak kehilangan
Aku terjebak dalam kekosongan bertahun-tahun, sampai pada akhirnya seseorang menariku oleh tangan hangatnya disaat aku benar-benar kedinginan
Perlahan-lahan aku mulai berbalik arah dan kembali ke kehidupan manusia
Bersama dengannya aku menjalani hari terbaik sepanjang hidupku
Aku dibawa oleh kesenangan dan petualangannya berkali-kali sampai pada akhirnya aku jatuh cinta terhadap rumah baruku ini dan menamainya surga keempatku
Masuk di tahun keenam, sudah banyak petualangan yg kita lalui dengan sedikit di bumbui asmara, aku bahagia untuk sementara
Namun bencana maut adalah hal yg tak terduga dan itu sangat mengerikan
Sang penyelamatku pergi mendahuluiku, berpetualang sendiri menemukan tempat baru yg di yakininya adalah rumah barunya (surga sesungguhnya)
Sulit untuk mengikhlaskan, tapi aku harus lakukan
Aku tenggelam disaat-saat waktuku kosong
Mulai terbawa kembali ke pemikiran sempitku bahwa tuhan tidak adil, selalu merenggut rumahku, surgaku di dunia berulang kali
Sempat aku mengurung diri dan berpikir hidup ini sangat berat
Mungkin mati sekarang lebih indah dari pada mati besok
Namun aku dikejutkan dengan satu dobrakan pintu
diujung cerita tamparan keras dari seorang ayah menyadarkanku
Bodoh....
Satu kata yang mengubah hidupku sampai sekarang
Lambat laun waktu membimbingku sekali lagi untuk kembali menemukan rumah baru
Pulang dengan hati hancur ke rumah lamaku yakni adalah orang tuaku
Dari semua hal yg ku anggap surga, orang tualah surga ternyaman, rumah terhangat
Sebelum aku berpindah lagi dan mencari rumah baru, aku belajar lagi memaknai hidup
Tentang bagaimana aku menemukan rumah baru
Ceritaku dimulai dengan izin tuhan
Perjalananku singkat atau panjang itu tergantung bagaimana caraku berkembang
Fase dimana aku merasa buntu adalah tanda sbentar lagi surga kelimaku akan menjadi cerita lain kehidupanku
Sebab aku meyakini satu hal
Tuhan menciptakan surga mutlak dalam tujuh tingkatan, begitupun di dunia
Terlepas itu benar atau salah biarakan tuhan yg menilai
Karena sejatinya manusia hidup untuk berpindah-pindah, meski dengan pemaknaan yg berbeda-beda
Pesannya jika sudah menemukan rumah yg nyaman untuk mengantarmu ke rumah yg abadi, maka jaga dan rawatlah rumah itu sebaik-baiknya.
@teguhherla
~~~
Kepada, sepasang sayap bermata jernih;
Senyum pertamamu seolah menggambarkan tenang saja, aku tidak perlu lagi ketakutan.
Pelukmu memberitahukan, aku boleh menjadikanmu tempat ternyaman, terbuat dari atap yang tidak akan mengalami kebocoran dengan dinding yang mampu menghalau segala badai.
Tutur katamu mengisyaratkan jika aku boleh mencintaimu layaknya rahim yang telah membawaku ke dunia meski yang sebenarnya kau lahirkan adalah ia, si gagah dengan hati selembut kapas.
Dan kini aku senang, sebab telah berani menyebutmu sebagai rumah baruku, Ibu.
@langitawaan
~~~
Kau tinggalkan syahdu di ruang sendiri;
Sayup, banyak lalu lalang di luaran dengan penuh dahaga berburu kesenangan.
Aku memperhatikan sekeliling, sering kali menyapa punai yang seperti tak pernah jemu racau berkicau.
Ini bentukan ruang tunggu yang di nanti sejak dulu. Senyap, sepi, tapi penuh bahagia yang tak palsu.
Kau bilang perihal ruang yang hidup, sekalipun hanya ada satu manusia yang menghuninya.
Ruang yang dengannya kau dapat menjadi bagian diri dengan tanpa tapi, pun dengan tanpa menirukan orang lain sebab malu membawa hakikat diri.
Bercengkrama dengan bayang sendiri, mencermati dari kepala hingga ujung kaki, lama kau fahami jika apa yang dicari nyata dapat kau temukan kala sendiri.
Kau juga bilang, tentang banyak sajak yang kau tinggalkan dalam ruang yang saat ini aku tempati, penuh gurau dan nasehat dari tinta manis yang kau tinggalkan di selesah tempat tidur belakang.
Sajak yang mencengkram, menusuk hingga ke ulu, mengingatkan yang sempat aku lupakan, dan mengeja bagian diri yang sempat aku sukar temukan.
Ini, ruang yang katamu penuh cinta dan kesetiaan.
Ruang yang katamu adalah tempat bebas untuk memahami.
Juga ruang yang katamu adalah tempat sebaik-baiknya saat kau menghuni.
Di ruang ini, aku melihat dengan jelas, bagaimana jejak-jejak beradu dan menemukan tempat untuk mencintai dengan syahdu.
@ilmibiaa
~~~
Banyak rumah baru yang kutemui di sepanjang perjalanan.
Saling bekejaran menampilkan keindahan yang ada didalamnya.
Seakan menjamin semua kebahagian tanpa kurang barang sedikitpun.
Kata orang—tunggu apa lagi?
Kata orang—semua sudah terjamin tinggal duduk manis sambil bersantai riang.
Tapi dari mata dan hati, semua kata orang seperti angin lalu yang tak kenal waktu.
Bukankah lewat mata bisa menceritakan segalanya?
Diantara sekian banyak rumah baru sampai dengan yang termewah,
Tak kutemukan sedikit pun tenang kecuali di dalam rumahmu.
Rumah baru yang justru kutemui pada titik pemberhentianku.
Rumah baru yang terlihat sederhana dari luar, didalamnya justru merasakan keistimewaan yang tiada tara.
Semua penuh rasa dan makna yang tidak bisa kutemukan di rumah baru manapun.
Sebab bagiku, sebaik-baik rumah bukan lagi masalah lama atau barunya sebuah rumah.
Justru sebaik-baik rumah ialah rumah yang benar-benar menjadi tempat kita kembali pulang tanpa memikirkan lagi arah jalan pulang.
Rumah baru bukan lagi soal arah dan berapa lamanya waktu yang bisa terjamah.
Rumah baru bukan juga soal kebahagiaan yang harus terjamin dengan selalu tanpa kenal lelah.
Bukan!
Rumah baru adalah rumah yang bisa menerima kita setiap waktu tanpa ada lagi kata ragu.
Tak peduli mau sebahagia dan sehancur apa kita tiba.
Tak peduli mau cerah membiru atau bahkan gelap mengabu suasana hati kita.
Rumah baru akan tetap menjadi baru dengan semua rasa yang beradu menjadi satu.
Kurasa, itulah sebaik-baik perawatan agar rumah tetap kukuh seperti baru.
Namun Allah..
Apakah pantas jika aku menyebutnya dengan sebutan rumah baru? sedang didalamnya—masih dengan orang yang lalu.
Semoga!
Semoga rumah baru yang sudah sejak lama direpotkan dengan pulang pergi kehadiran kita—
Benar-benar menjadi rumah kita bersama sampai tua, sampai tutup usia kita berdua.
@aksara-rasa
~~~
Aku pernah menjadi asing saat menjelajahi  sang waktu.
Diriku terhempas tanpa arah dan tujuan.
Merasa hampa dalam waktu yang cukup lama.
Namun seketika berubah saat kau hadir dan menunjukan rumah baru bagiku.
Kau tuntun aku pada sebuah jalan untuk memulai semuanya lagi.
Dan kau juga yang membuatku percaya bahwa jutaan tempat yang aku kunjungi tanpa dirimu adalah bukan rumah.
Setiap kisah akan menjadi cerita tapi setiap tempat belum tentu menjadi sebuah rumah
@kevinsetyawan
~~~
Kamu datang menawarkan tempat untuk ku berteduh, membagi resah juga kisah.
Katamu, "pulanglah kesini, jadikan aku sebagai rumah barumu. Untuk melepas gundah, juga membagi senang dan duka."
Aku tergoda. Kunikmati betapa hangatnya rumah baru ini. Setiap sudutnya tidak ada lagi kenangan yang memuakkan.
Namun ternyata rumah baru ini tidak cukup kuat. Ia hancur ketika diterpa badai.
Lalu sekarang, harus kemanakah aku pulang?
@icaicaica
~~~
Perkenalkanlah aku, Willy. Orang yang kalian anggap stabil emosinya. Tak pernah terlihat marah. Ceria dan tertawa padahal aslinya sandiwara. Tak peduli pada konfrontasi jiwa sendiri. Empati pada masalah teman-temannya. Pribadi yang hangat dan pandai bergaul. Apalagi? Oiya, tak pernah terlihat menangis. Aku hanya memendam semua yang ku amati dan ku rasa seorang diri. Menutupi luka dengan canda dan selalu ada untuk mereka. Mengubur luka nestapa sendiri. Iya, sendiri. Kalau pun ku bagikan sedihku, amarahku, masalahku, apa ada yang kan peduli? Sebagaimana peduli ku pada mereka? Sebagaimana caraku menanggapi celotehan mereka -yang kadang menyayat-? Tidak.
Aku bahkan tak tahu apa mereka layak ku jadikan rumah tempatku membuang gundah. Aku bahkan tak tahu (si)apa yang layak ku jadikan rumah atas berton-ton emosi yang biasa ku lahap sendiri. Mereka bilang, kita adalah keluarga. Hei.. layakkah ku sebut keluarga sedangkan mendengarkanku pun tak bisa!
Apa ada rumah yang hadirkan tenang saat berteduh? Rumah yang bisa tumbuhkan rindu saat ku jauh? Rumah yang berikan nyaman saat berkeluh? Rumah yang tenteram sepanjang waktu? Rumah yang damai di tiap sudut? Rumah yang irama nadinya hadirkan candu?
Kalau ada, dimana rumah baru yang harus ku tuju itu?
@itsmerina
~~~
Ruang Kelas Tadika Mesra, 12 Februari 2022.
93 notes · View notes
rullercoasterr · 2 years
Text
Rongsokan Kompas
Ada banyak jalan di ambang surup kota-kota yang masih terlihat pening, satu persatunya mengeraskan gedung -gedung tinggi yang dimadu keladi dan petisi
Aku berjalan diantaranya menjarah marka yang berat ber-inang tali di sepatuku, lalu aku berdiri di selasar nomor satu
Naik mimbar paduka diindera anak buah tangga, sepertinya aku sudah sampai di lantai ke-seribu
Diatasku ada besi yang ditanam keatas langit, memang seperti itu ulah rongsokan kompas menelanjangi kakiku kemari
Bahkan aku diselatan-kan pada gerombolan lelaki berkerah tinggi yang memukul tebing-tebing sisi timur tugu
Mereka meneriaki benda mati, celakanya haus menang dari kesepian, tak ada nama mereka di redaksi tempo hari, paling kan segera ditanahkan oleh garis tepi frustasi kataku
Aku ingin tertawa dan menangis antara bodoh dan pedar, kompas ini mengasingkanku melampaui sudut di siku persimpangan jalan
Barat membisingkan risau selanjutnya, tapi kakiku terluka oleh kaca yang dihantam pemuda di celah penyeberangan jalan,
Katanya belajar mendengki, belajar yang tuan tua tak petuahkan. karena hatinya ialah tersangka tragis kecelakaan batin katanya,
Seperti ini kah isi naluri manusia? Tamak membenamkan laut di antara berat dadanya tapi menolak membuka gerbang maut
Parahnya, malah sengaja menggemakan bahwa kematian akan lebih baik daripada arteri kecil yang kehilangan dirimu,
Bahkan aku menjadi hara pada akar-akar yang membusuk di pematang bantaran. Katanya tidak punya dinding untuk membuat mural hari-hari kehilangan
Tapi sebelumnya mereka menjadi harum di ujung periuk, Hingga akhirnya digagahi oleh gundah akan "esok kita mau makan apa?"
"Untuk minta tolong saja tak sempat", katanya
Usai itu aku dipulangkan ke utara, dibawah pohon diluar rumah membicarakan cinta yang masi muda, aku harap dia tak akan diranggas api atau gergaji suatu saat nanti
Begitulah ulah liar manusia kan-nyatanya?
Tapi yang penting aku sudah dirumah ibu,
Aku sudah dirumah ayah
Nadi pada lengan kota yang sama, dari kompas rongsokan menuju tahanan di sela jantung pakis yang terlalu tinggi dan menjadi tawanan seperempat naluri
Yang kusebut di kotaku sendiri,
Oleh-oleh empati akan kupelihara menjadi rayap untuk ego yang terlalu kolot
Ayah ibu aku minta rongsokan kompas lagi
Jalan-jalan madya di kota  ini akan kutandatangani diatas materi.
Akan kutujukan pada Tuhan di langitku jauh sana, untuk mengirimkan gerbong-gerbong yang kosong
Agar kereta bahagia tak akan terlewatkan lagi
10 notes · View notes
dioramadilla · 2 years
Text
JAMAN
Lelaki itu duduk di pantai yang dingin. Kapal-kapal seolah terbaring sana sini. Sembari menunggu Magrib tiba, dermaga menghias muka dengan rona jingga dan merah muda.
Tumblr media
Di kota ini, sedikit lebih jauh dari peradaban. Jangkar-jangkar terbentang lepas. Udara bergemuruh datang dari barat. Ombak-ombak terdengar gaduh, berapa lama lagi?
Berapa lama lagi langit mengijinkan benda-bendanya timbul? Berapa lama lagi anak-anak akan percaya pada pembicaraan para orang tua? Berapa lama lagi, kain-kain dijemur di halaman? Berapa lama lagi, bumbu dapur dipetik langsung?
Lelaki itu memandang jauh ke arah fatamorgana. Laut dan langit bertemu, bercumbu dan merangkul. Jauh dari ujung sana, nampak Sengkuni muncul. Tergopoh-gopoh membawa serat Joyoboyo,
"Amenangi zaman edan, nak ora melu edan ora keduman (Memasuki zaman gila, kalau tak ikut-ikutan gila tak akan kebagian)." Sengkuni sesenggukan, tangannya di angkat tinggi-tinggi.
"Luweh becik Kurawa kalah ing ngajeng ingsun tinimbang ingsun melu edan ing zaman meniko (Lebih baik Kurawa kalah di depanku, dari pada aku mengikuti kegilaan di jaman ini)." Ia mulai meraung, hingga suaranya hilang tertelan deru mesin dari jauh.
Lelaki itu diam. Barangkali ia hendak merupa Sengkuni, yang rela masuk neraka sebab kecintaan pada tempat yang ia pijak.
1 note · View note
tuanpoetry · 4 years
Text
Varsha Karuarindu
Oleh @aksamoksa​ dan @tuanpoetry
Tumblr media
Semestinya tidak begini, Juni, harusnya menjadi bulan yang panas dan membakar. Karena tepat bulan ini, matahari berada di sekitar garis balik lintang utara. Juni kali ini lain, berbeda! Memasuki bulan ini, hujan begitu deras dan berani menumpah-luruhkan dirinya, kontras dengan yang tertulis di buku pelajaran; harusnya ini musim kekeringan, musim kemarau.
Sudah terasa – terutama ketika aksara ini tertoreh kata demi kata – udara dingin menyelusup ke sum-sum tulang, mekanisme tubuh mengolah dirinya sendiri supaya tetap terjaga dalam kehangatan. Kali ini pikiranku sedang membeku karena dingin. Tapi hatiku, aih! Kini dia tengah hangat-hangatnya. Ketika ricik hujan luruh dari rahim semesta, kebekuan yang mengudara nyatanya mencairkan kenangan jiwa. Dalam hal ini, hujan adalah paradoks yang lucu serta jenaka.
Tatkala langit bocor, dan gerombolan bulir hujan menyerbu bumi, keganjilan hujan bulan Juni bukan lagi petaka bagiku yang kebingungan ini. Sebab rerumputan di belakang rumah telah dia basuh, sebab dia memberikan nyawa kepada bunga yang nyaris layu di pekarangan taman, dan barisan pohon yang mulai langka di perkotaan, bisa bertahan hidup dari bencana kekeringan. Meski hujan tidak juga sepenuhnya berkah – seringkali dia berlaku jahil. Betapa kerap seseorang dengan waktu yang singkat mendadak jadi sentimental karenanya.
"Pernahkah kau bercakap-cakap dengan hujan?"
Ada setetes bulir, bagian dari hujan bulan Juni, yang begitu istimewa bagiku. Ketika teks ini tengah berjalan, dia tersangkut tepat di jendela kamar. Seketika kudengar riciknya seperti membisik: "aha! Kutemukan kau!"
Akupun menjemput sebutir hujan yang baru saja menyusuri pengembaraan panjang. Kubawa dia masuk, kujamu dia bak raja – segalibnya kita menjamu tamu sesuai sunnah rasul. Kuseduh kopi, dan memantik api, menyalakan sebatang marlboro merah di kamar kost sempit ini. Sudah kusiapkan hati dan imajinasi sebagai proyektor, dan hujanpun berhikayat, lalu jiwaku tenggelam dalam ingatan hujan.
"Sebelum jatuh disini, aku tengah terombang-ambing dalam ketidakjelasan waktu dan ruang. Awalnya aku dan teman-temanku lain berhimpun dalam sebuah gugusan awan. Kami kadang membentuk awan menjadi sebuah pola, agar elok dipandang, dan membangkitkan gairah berimajinasi anak-anak. Kadang kami meniru wujud gajah, kadang kuda, kadang burung."
Ketika itu hujan berkisah dengan amat teduh, matanya aktif menyisir langit-langit ruangan seakan merekonstruksi balok demi balok ingatan yang menyenangkan itu. Aku sendiripun teringat masa kecil. Sehabis mengejar layang-layang yang putus, aku dan teman-temanku gemar membaringkan diri di rerumputan. Sembari melayangkan tatap ke arah awan, dan mengukir garis demi garis imajinasi, membentuk ruang dan waktu pada dunia yang serasa hanya milik kita sendiri.
Hujan melanjutkan kisahnya. Kali ini dengan agak murung dan menundukan muka,
"Tapi demi bersauh kemari, kerapkali tidaklah mudah. Aku harus menguap dan mengembun berkali-kali; tersuling dari laut asin menjadi awan mendung atau merembes dari kawanan awan ketika terjadi turbulensi di udara, hingga ditarik oleh gravitasi bumi; aku harus mengalami siklus yang disebut kondensasi secara terus menerus."
"Kadang aku dan kawan-kawanku terpaksa mengerubuni birai-birai karang. Seketika itu kami harus meminta maaf padanya, karena telah meruncingkan wujud mereka sehingga terlihat menakutkan di mata para nelayan."
"Di lain waktu, bila cuaca sedang tidak bersahabat. Kerapkali kami dinilai ganas dan kejam. Misalnya ketika angin sedang kencang, langit terlihat muram dan sedih, turbulensi di udara menjadi-jadi, halilintar menggeletar; badai tidak terhalangi lagi. Tidak ayal, langit penuh huru-hara bagai orchestra alam semesta. Rumah warga amblas dikarenakan banjir menggusur suatu pemukiman, lalu lintas perkotaan mengalami macet total, bayi-bayi polos menangis sekuat-kuatnya hingga membuat kami bergidik gemetar. Acapkali ketika itu terjadi, kami biasanya dijadikan objek kutukan serta sumpah serapah. Padahal di ujung dunia lain, dimana pedesaan dikelilingi gurun tandus, kami biasanya dipuja bahkan disembah layaknya berhala."
"Manusia memang membingungkan," hiburku pada bulir hujan yang syahdu itu.
"Manusia suka menanam laut dalam proyek reklamasi, alibinya supaya kota tertata rapi dan elok dilihat. Disisi lain, begitu banyak sampah yang menggunung di sudut-sudut kota pun perkampungan, gorong-gorong sudah penuh dengan bau busuk dan bacin akibat ulah manusia. Kita begitu tidak peduli dengan perubahan iklim serta pengaruhnya terhadap proses simbiosis umat manusia serta keberlangsungan ekosistem. Tetapi kita mengutuk apa yang dibalas alam atas ulah kita sendiri. Manusia memang menggelikan. Dan kau, hujan, tidak perlu sedih. Terkadang kami pantas menerimanya."
Setelah bulir hujan itu lega karena aku bisa memahami posisinya, dia kembali melanjutkan hikayat,
"Perjalanan ini menyita waktu sangat panjang dan melelahkan bagiku. Proses kondensasi terus menerus begitu menyiksa. Sekarang aku mengerti, bahwa metamorfosa ulat menjadi kupu-kupu, adalah proses yang sangat menyakitkan. Transformasi bentuk, dari uap ke cair dan sebaliknya, adalah proses perubahan metamorphosis yang melelahkan dan menguras tenaga."
"Di sela-sela petualanganku, seringkali aku dihibur oleh sekawanan hujan yang sama-sama membawa pesan untuk tuannya. Seringkali senja yang semburat memancarkan bahasanya lewat pendar-pendar keemaasan dan berwarna jingga kekuning-kuningan di hamparan laut, sembari menceramahi: 'akupun tau, selaku pembawa pesan gembira maupun duka, kesetiaan menanggung amanah adalah sebuah kehormatan bagi makhluk kosmos sepertiku. Maka hapus kesedihan di wajahmu hujan. Tetaplah maju, sampai kepada alamat yang kau tuju'."
"Terkadang aku juga terlibat percakapan dengan para nelayan. Saat itu kebetulan aku menyatu dengan perairan. Setelah capek bermain dengan gulungan ombak yang berkejaran, aku menghampiri seorang lelaki tua berbadan legam dengan caping dikepalanya. Dia tengah asyik menjaring ikan di tengah samudera, dia berceloteh pelbagai perkara kehidupan: 'aku akan bersauh, kemanapun ikan pergi berenang, meski itu sejauh menempuh horizon, hingga layar sampanku tenggelam dalam pandangan bibir pantai. Dan tidak ada secuilpun getir bersemayam dalam batinku. Sebab aku tahu, kecintaan akan rumah, menuai harga atas ikan yang kutangkap demi keluarga, adalah pedoman sejati bagi pengembara lautan manapun.' Tutur kakek berbadan legam dan bercaping itu."
Seraya memekarkan senyum dipipinya,
"Aku percaya, bahwa rindu adalah kompas yang tidak mungkin berdusta. Dan doa-doa senantiasa jadi suar penerang perjalanan menuntun ke arahmu. Hari demi hari, aku mengembarai belantara samudera dan pulau-pulau Nusantara untuk mengantarkan pesan padamu."
"Ketika aku membagi kisahku pada semesta, mereka langsung memahami perasaanku. Mereka juga mahfum, betapa menyakitkan rindu yang tak terbalas dan tak bernama. Sebagaimana semua makhluk merindukan haribaan sang Pencipta. Semestapun menyalakan simfoninya, meletakan rindu sebagai komposisi utama dalam teater universal alam raya. Tugasku hanya menyesuaikan tarian dengan irama. Dan rindu yang kubawa sebagai pesan, ialah peta perjalanan menuju ke pucuk tujuan."
"Aku hanyalah setetes hujan, yang bereinkarnasi dari air yang tumpah di mata seorang perempuan yang menunggumu. Aku adalah sebutir air asin yang lahir dari hati yang rapuh dan rikuh karena diterkam rindu yang tajam, diluapkan oleh jendela matanya, sembari gemetar menggenggam doa yang hendak dia serahkan kepada Tuhan, 'tolong bantu dia, untuk cepat pulang',katanya, 'aku rindu dia, Tuhan'."
"Bagaimanapun juga kita tidak mungkin bisa mengelak. Bahwa air mata yang tumpah karena laranya merindu, jauh lebih asin dari samudera; jauh lebih pahit dari kopi tanpa gula. Barangkali aku yang tumpah dari balik bilik dadanya, adalah bagian dari hati yang tersayat pedih: Tatkala ruang dan waktu bersekutu, terciptalah skenario konspirasi. Rindu mendadak menjelma jadi silet, dia mengiris kalbu. Meski bukan darah yang mengucur, tapi aku."
"Lalu aku tersimpuh di lantai. Ketika fajar tiba, sedikit hangat cahaya sudah cukup membantuku menjelma jadi uap, lalu mencari celah menyelinap keluar rumah, agar kemudian bersatu dengan sekawanan awan, yang membawa berita rindu dari Riau, ke Sulawesi Utara."
Sebulir hujan telah selesai dengan kisah perjalanannya. Sebulir hujan telah sampai pada ranum yang dituju rindu, telah sampai pada hati yang teriris syahdu. Sebulir hujan yang dingin memelukku hangat. Mengirimkan peluk untuk peliknya dunia seorang anak manusia yang hatinya hanya mencintai seorang wanita. Wanita yang sering ku sebut candu untuk canda yang jarang bertamu. Wanita yang sering ku sebut raga tanpa hati. Jiwa yang ingin sekali ku hidupkan kembali. Bahkan ketika wanita itu menyakiti, aku tetap kembali. Aku bergumam kecil pada hujan,
"ia adalah aku, cerminan diriku, sebagian dirinya adalah aku, ada aku didalam dirinya yang entah bagaimana bisa kutemukan tanpa sengaja, seperti semesta memang sudah merencanakan ini jauh sebelum kami dilahirkan."
Setelahnya, bulir hujan itu melanjutkan pesan rindu terakhir dari tuannya.
"Tatkala pada suatu waktu aku menelisik lebih dalam pada dada yang menimang rindu itu. Kau tidak pernah tahu, mungkin saja hanya cinta yang bisa begitu rumit. Beda bagi seorang raga bertubuh mungil itu. Aku membawa rindu tapi aku tahu tak hanya itu yang ia simpan rapat-rapat. Aku minta untukku bawa namun ia menolak. Ia menangis. Menyayat-nyayat nadir yang biru ke permukaan epidermis. Kata perempuan itu 'Cukuplah rindu ini kau bawa padanya. Cukuplah kasih ini kau sampaikan padanya. Cukuplah peluk ini kau antarkan padanya. Bagian selain dari rinduku untuknya, biar aku saja. Cukup aku saja..'"
72 notes · View notes
rinochii · 3 years
Text
Pamit.. (draft cerpen yg mengendap bertahun2 :))
Senja yang meraung-raung. Menyesakkan dada. Menitikkan air mata saat mengingat esok sosokmu tak akan ada lagi disini. Bukan pergi, aku lebih suka menyebutmu menghilang. Menghilang dari pandanganku dan juga dari hatiku. Mungkinkah? Semoga Tuhan berbaik hati memberikan izinnya.
Aku melemparkan pasir laut di sekitar kakiku sekenanya. Senja yang harusnya menyejukkan mata, malah menumpahkan air mata yang tak habis-habis. Apakah cukup waktu yang tersisa untuk sekedar mengucapkan selamat tinggal? Yang bahkan kamu tak tahu sebegitu tersiksanya aku dengan jarum jam yang terus bergerak. Ah, kamu memang tidak pernah tahu apapun. Tidak dengan degup jantungku yang berdetak seribu kali lebih kencang saat berdiri di sisimu. Tidak juga dengan lariku yang terkencang sampai ke pantai ini begitu aku dengar kabar kau akan merantau ke seberang dunia sana. Apalagi dengan kuncup perasaan yang bersemi tumbuh sepanjang pertemanan kita delapan belas tahun ini. Kau tidak tahu apa-apa.
Aku sering mengutuk takdir perjumpaan kita. Yah, sesama anak nelayan miskin di tempat yang kecil ini pasti tinggal menunggu waktu saja bagi kita untuk bertemu. Lingkaran takdir ini mencekikku. Hahh… aku masih saja tanpa bosan membuang pasir-pasir ini seakan-akan ingin membuang seluruh perasaanku ke laut. Melupakan memori dan kenangan yang selama ini sudah terjalin kuat di setiap syaraf otakku. Sempat aku berpikir untuk melarikan diri dari bayanganmu yang selalu ada di setiap jengkal pesisir ini. Tapi kemana? Kalau arah saja aku buta, bagaimana aku bisa menjauh dari persembunyian nyamanku?
-o-
“Selamat tinggal Nila, semoga suatu saat kita bisa bersua kembali,” ucapmu dengan menggulung senyum tulus paling ceria yang pernah aku lihat selama aku berteman denganmu.
Aku tak bereaksi. Tak tersenyum sedikitpun apalagi melambaikan tangan penuh ceria. Bukan ini yang aku inginkan, bibirku mendesis getir.
Tapi kau tetap tak tahu apa-apa. Bahkan hingga beberapa jam sebelum kau sempurna menghilang dari daratan ini. Kau sempat menatapku sekilas dengan heran, namun hanya sekilas. Sebab sedetik kemudian kau sudah sibuk bercengkrama dengan teman-teman lain yang heboh mau meminta oleh-oleh atau sekedar berkirim surat sesampai kau disana.
Tatapan sedetikmu tadi tak lepas dari ingatanku. Sedikit kesal, aku berjalan meninggalkan kerumunan yang tengah merayakan kepergianmu sebentar lagi. Tak ada yang mengikuti langkahku dan memang aku berharap demikian. Karena perasaan ini tersimpan rapat di dasar lubuk hati tanpa ada seorang pun yang tahu. Cuma aku seorang dan mungkin selamanya akan seperti itu.
Dengan rasa lelah yang luar biasa aku rasakan, walau seharian ini aku tidak ikut membantu mengasinkan ikan tangkapan bapakku, aku duduk bersandar di pohon kelapa. Menikmati panasnya pantai siang hari yang tetap saja tak sepanas hati dan pikiranku saat ini.
“Melihat apa Nila?” suara itu serentak membuatku terkejut.
Aku menoleh tak percaya. Kau sudah duduk nyaman disebelahku dengan senyum polosmu itu.
“Kau bahkan tak menjawab ucapan selamat tinggalku tadi. Apa kau marah karena kau ingin pergi juga dari kampung kita?” kau berceloteh lagi, tapi aku tetap diam.
“Tenang saja Nila, kalau kau ingin pergi, aku berjanji akan membantumu. Asal kau bilang padaku saja,” nada ceriamu yang tak hilang makin membuat hatiku perih tersayat-sayat.
Berusaha kutepis semua perasaan sedih itu dengan bermain pasir sekenanya. Aku menatapnya dalam-dalam lalu membangun gunung pasir dan menghancurkannya. Kau tertawa kecil dan langsung bergabung denganku mempermainkan pasir tanpa kau tau bahwa hanya pasirlah tempat dimana aku bisa melampiaskan semua kekesalanku padamu.
Pasir pantai, tolong sampaikan padanya bahwa aku tak ingin dia pergi kemana-mana.
Tolong sampaikan padanya bahwa aku telah memedam perasaan ini sekian lamanya.
Tolong sampaikan padanya bahwa tak ada yang lebih membahagiakanku selain bercengkrama dengannya.
Kalimat itu terus aku dengungkan dalam hati berharap doa diam-diam itu akan merubah kenyataan. Bahwa mungkin Tuhan punya kuasa yang entah bagaimana caranya hingga dia mengubah keputusannya. Bahwa mungkin saja dia tidak akan pergi.
Permainan pasir pun berlanjut ke bibir pantai, menuliskan sesuatu kemudian hilang ditelan ombak dan tertawa sesudahnya. Kembali kulihat guratan senyum di wajahmu dan sorot mata teduh yang kusimpan rapi dalam memoriku, sembari masih berdoa dalam diam. Tuhan, jangan ijinkan dia pergi..
-0-
Doa yang sedari tadi terus aku bisikkan lirih, rupanya tak cukup kuat untuk mencegahmu pergi. Di pinggir pantai pulau kecil ini, kepergianmu membuat banyak orang turut memberikan salam perpisahan mengetahui kau takkan kembali dalam waktu yang singkat. 
Merantau.
Satu kata keramat itu adalah sebuah berkat bagi para pemuda dan pemudi yang ada di pulau kecil ini. Kehidupan yang terlalu sederhana disini adalah salah satu alasan dari sekian alasan lain generasi muda ingin angkat kaki dari dataran ini, melanglang buana ke pulau seberang yang terlihat lebih gemerlap dan lebih menjanjikan kehidupan yang layak.
Tapi tentu saja, kesempatan merantau tidak dimiliki semua orang. Hanya segelintir orang yang bisa pergi dari sini, dan lebih sedikit lagi yang akhirnya pulang dengan keberhasilan. Tak jarang para pemuda yang sudah merantau, kembali hanya karena tak tahan ditempa kehidupan terlalu keras di luar sana.
Terlalu banyak pengorbanan yang harus dilakukan sebuah keluarga untuk sekedar memberangkatkan anaknya mengadu nasib ke pulau seberang. Ongkos pergi, biaya hidup sampai mendapat pekerjaan yang layak, kehilangan pekerja untuk membantu pekerjaan rumah dan ladang, dan penantian yang tak berujung akan kepulangan buah hatinya. Itulah alasan utama kenapa aku tak pernah berfikir untuk pergi meninggalkan bapak, mamak dan adik-adikku. Aku tak tega, egois merantauku hanya akan menghancurkan hidupku dan keluargaku.
Namun kisah awang berbeda. Lelaki yang kusukai sejak aku mengenalnya sepuluh tahun yang lalu, memang memiliki nasib lebih mujur daripada kebanyakan orang. Kisah hidupnya memang mengharu biru tetapi perjalanannya selalu diiringi dengan kejutan-kejutan yang tak terduga.
“Kembali dari rantau kau harus sukses lay!” ujar Pak Banar, tetangga sebelah rumahku.
“InsyaAllah Udak, mohon doanya lah jangan putus buat awak” sahut awang dengan riang sembari terus bersalaman dengan penduduk yang memenuhi bibir pantai, turut melepas kepergian dirinya.
“Jangan lupa sholat lima waktu dan kabari keluarga kau disini ya wang,” pesan Buya Madi, guru ngaji kami di surau.
“Siap Pakcik, InsyaAllah ndak awang tinggal tiang agama awak,” tangan Awang bergerak cepat salim pada Buya yang dibalas pelukan erat dari Buya Madi.
Abang Salim, teman sepermainan kami namun berumur lebih tua mendekatiku, “Wahai Nila, kenapa muka kau pucat pasi? Apa ada yang belum terucap dari bibirmu pada pemuda yang hendak merantau ini?”
Aku terkejut bukan kepalang. Awang memandangku penuh pertanyaan. Abang Salim dan yang lainnya tersenyum penuh arti. 
“Ndak lah bang. Kenapa pula mukaku masam? Kau bergurau je sukanya” jawabku sambil menutupi raut wajahku yang salah tingkah.
“Sehat-sehat Nila.. nanti lama kita tak jumpa” Awang mengulurkan tangan untuk menjabatku, yang tentu saja kubalas dengan jabatan juga.
“Iya wang, semoga kau sukses disana ya” ujarku lirih.
Setelah momen pelepasan ini usai, kapal Awang mulai melepas jangkar dan bergerak mengarungi laut lepas. Pandanganku kosong menatap kepergian kapal itu hingga hilang ditelan laut. Satu per satu penduduk pulang untuk kembali bekerja di ladang atau mengerjakan pekerjaan rumah. Namun aku masih tertahan di pesisir pantai ini, menutup rapat-rapat kesedihan dalam hatiku dengan diam dan berusaha agar tidak ada air mata yang menetes.
Akhirnya kau pergi.. sambil membawa senyum termanismu menghilang dari pandanganku. Aku turut senang salah satu mimpimu akhirnya tercapai.
Selamat tinggal awang, selamat jalan kisah cinta dalam diamku..
Sampai berjumpa lagi entah kapan.
-0-
4 notes · View notes
jusella94 · 3 years
Text
Lelaki itu Ayahku
Sejak kepergian mama, lelaki tua itu menjadi lebih kuat dari sebelumnya. Air matanya selalu Ia tahan, sakitnya dia pendam, rasa kehilangannya dia abaikan, hanya itu yang ia lakukan demi mengajarkan anak-anaknya untuk tetap kuat. Karena dia tau, lemahnya dia adalah lemahnya anak-anaknya, dan kuatnya dia adalah kuatnya anak-anaknya.
Dan siang ini, aku  melihatnya berdiri temenung  dengan tangannya memeluk jendela feri. Matanya menghadap ke laut, aku melihatnya sesekali mengusap matanya yang sedari yadi berkaca-kaca. Aku bisa membaca pikirannya, aku bisa mengerti perasaannya. Dia mencoba tegar, walau hatinya menangis.
Beberapa hari kemarin dia menaikin feri yang sama, mengantarkan mama ke kota untuk berobat ke dokter. Dan hari ini, dia akan kembali ke rumah tanpa mama, karena mama sudah dipanggil sang Ilahi. Lelaki tua itu adalah ayahku. Lelaki yang kata mama dia selalu kasar, bukan karena tidak sayang dengan anak-anaknyaknya, tapi karena dia ingin anak-anaknya menjadi yang terbaik. Namun sejak mama tiada, setiap kata yang keluar untuk kami selalu dengan nada yang lembut, mungkin karena dia berpikir, dia akan Memainkan karakter mama. Lelaki yang kata mama selalu mengeluh dan manja jika sakit, tapi sejak mama tiada, tak pernah aku dengan ayah mengeluh bahkan jika dia merasa lelah dan tidak enakan.
Dia adalah ayahku, yang terkuat, yang terhebat.
#30dwcjilid29
#day 17
2 notes · View notes
negarajiv · 4 years
Text
“Manusia Bisa Dihancurkan, Tapi Tidak Bisa Dikalahkan”
Ini kedua kalinya aku selesai membaca novel The Old Man and The Sea karya Ernet Hemingway dalam edisi terjemahan bahasa Indonesia-nya. Dulu, waktu pertama kali membacanya, dalam bentuk buku fisik yang aku beli di Gramedia sekitar tahun 2008, aku bingung. Aku kurang mampu mengikuti gaya bahasa yang terdapat di terjemahan tersebut. Imajinasiku tidak begitu mampu membangun latar dan narasi dengan tepat. Aku menyelesaikan novel tersebut tanpa begitu menikmatinya.
Edisi yang aku baca itu adalah edisi yang diterjemahkan oleh Yuni Kristianingsih Pramudhaningrat:
Tumblr media
Kutipan yang aku jadikan judul di atas dalam edisi bahasa Inggris berbunyi seperti ini:
“A man can be destroyed but not defeated.”
Kutipan ini saja sudah menunjukkan bagaimana novel ini mengajarkan mengenai perjuangan hidup sekeras apapun. Banyak yang bilang jika kebijaksanaan yang Hemingway hadirkan di dalam novel kecil ini adalah kebijaksanaan yang lahir dari kehidupannya yang keras. Ibarat kata, Lelaki Tua itu adalah dirinya sendiri, dan benar, kemudian dia hancur sebagai manusia. Dia menolak kalah dan memilih untuk hancur ketika memutuskan untuk menghabisi dirinya sendiri dengan senapan serbu.
Tragis.
Aku menikmati semangat yang buku ini bawakan, dan semangat itu semakin terasa saat aku membaca buku ini untuk kedua kalinya.
Untuk memudahkan imajinasiku menangkap latar suasana, aku iseng mengetik judul novel tersebut di YouTube dan akhirnya menemukan video animasi mengenai novel tersebut yang aku rasa sangat keren dan sangat membantu imajinasiku menyerap novel ini dengan lebih baik:
youtube
Saat melihat-lihat Google Play Book selepas membaca novel ini (oh ya, aku membaca kedua kalinya ini menggunakan versi e-book yang dijual oleh Google), aku menemukan bahwa ternyata ada edisi terjemahan lain dan penerjemahnya adalah salah seorang penyair terbaik Indonesia yang baru berpulang beberapa saat yang lalu: Sapardi Djoko Damono. Aku akhirnya memutuskan untuk membeli edisi tersebut setelah membaca-baca halaman awal mendapati kualitas yang lebih baik. Edisi ini diterbitkan oleh Gramedia dalam rangkaian “Seri Sastra Dunia”. Seri ini menghadirkan karya-karya terbaik para pengarang kelas dunia. Aku bermimpi mengoleksi semua seri ini suatu saat nanti.
Tumblr media
Buku Lelaki Tua dan Laut dapat terlihat di sudut kiri bawah. Desain sampul seri ini menarik hatiku. Judul-judul yang terpampang di foto di atas belum menampilkan semua judul seri yang totalnya berjumlah 27 buku tersebut.
Menikmati sastra bukan hanya memperkaya jiwa dan bahasa, melainkan juga menelusupkan kedalaman pemaknaan ke dalam hati. Pemaknaan yang dalam ini mampu hadir meski dalam bentuk karya yang tidak terlalu panjang, seperti novel ini, atau bahkan dalam cerita-cerita pendek seperti karya-karya Kafka. Pemaknaan yang dalam semacam ini yang sedikit sekali aku lihat dalam karya-karya pengarang Indonesia. Terlebih para pengarang yang populer belakangan yang menurutku hanya menang di marketing karena mampu menggaet begitu banyak pembaca dengan cerita-cerita yang dangkal dan sekadar menjual kutipan-kutipan statusable yang sok bijak yang keluar secara klise dari mulut tokoh-tokohnya.
Hanya beberapa pengarang Indonesia yang aku rasa punya pemaknaan yang dalam, dan rata-rata cenderung kurang populer. Pengarang yang punya pemaknaan dalam namun juga cukup populer aku rasa dapat dihitung jari. Kalau harus menyebut aku hanya akan menyebutkan dua nama: Eka Kurniawan untuk prosanya dan M Aan Mansyur untuk puisinya.
8 notes · View notes